Chapter 10: Gilead (2)

 

Setelah selama ini nggak pernah sakit meski tiap pagi kalap makan daging, apa sekarang dia benar-benar bakal tersedak cuma gara-gara teh? Tenggorokannya panas, Eugene batuk keras sambil menepuk dadanya.

Tapi wajar aja kalau dia kaget dengan apa yang baru dia dengar barusan.

Kerajaan Magic Aroth punya lima Magic Tower: Red, Blue, Green, White, dan Black.

Kurang dari tiga ratus tahun lalu, Black Tower bahkan belum ada. Tapi Tower(menara) itu berdiri setelah adanya sumpah misterius antara Sang Hero dan para Demon King, dan ratusan tahun sudah berlalu sejak saat itu.

Padahal, jumlah Black Mage yang sudah Eugene penggal di kehidupan sebelumnya jelas lebih dari seratus orang. Tapi sekarang profesi itu dianggap terhormat. Setelah adanya Sumpah antara Hero dan para Demon King, para Black Mage juga bikin kesepakatan khusus dengan Hero. Lama-kelamaan, pengaruh mereka cukup besar sampai bisa mendirikan Magic Tower mereka sendiri di Aroth.

Bagaimanapun, berbeda dengan Black tower, Red Tower sudah ada sejak tiga ratus tahun lalu.

“Kau baik-baik saja?” tanya Lovellian dengan wajah khawatir, menatap Eugene.

“Ah, ya. Aku ti-maksudku, aku baik-baik saja,” Eugene berdeham.

Dia cuma nggak sengaja menghirup teh gara-gara kaget. Tapi karena semua orang menatapnya, rasa malunya malah makin jadi. Eugene berdeham lagi, lalu meraih serbet di dekatnya. Belum sempat dia bersihkan tumpahan teh di meja, Lovellian mengetuk jarinya, dan taplak meja yang basah langsung kering seketika.

Itulah Magic.

“Sepertinya kau sangat kaget.”

“Ya, begitulah….” Eugene menurunkan tangannya dengan senyum canggung. Saat-saat kayak gini, usianya yang masih muda memang jadi keuntungan.

Kalau dia dari Red Tower… berarti dia muridnya Sienna.

Meski sebenarnya, Lovellian bukan murid langsung Sienna. Kalau Eugene nggak salah ingat, murid langsung Sienna itu adalah Master nya master nya Lovellian. Tapi meski berbeda beberapa generasi, baik Lovellian maupun Sienna Sang Bijak sama-sama pernah jadi Kepala Magic Tower, Red dan Green.

Nggak heran, tiga ratus tahun lalu Sienna bisa jadi Kepala Green Magic Tower termuda sepanjang sejarah Aroth. Dia adalah rekan Vermouth Sang Agung, sekaligus Archwizard yang bisa membunuh naga maupun Demon King. Tak terhitung mage yang datang ke Green Tower berharap bisa jadi muridnya.

Selain itu, Sienna juga banyak menorehkan prestasi selama masa jabatannya. Dia melahap semua buku magic di Aroth, membetulkan kesalahan yang ada, bahkan menulis ulang. Dia juga nggak pelit ilmu. murid tower lain, bahkan Kepala tower lainnya, pernah mendapat bimbingan langsung darinya.

Ketika masa jabatannya berakhir, banyak mage yang pernah diajar Sienna akhirnya duduk di posisi penting di tower masing-masing. Ajarannya tetap diwariskan sampai sekarang. Bahkan dua mage terkenal yang menganggap diri mereka murid Sienna kini jadi Kepala Red dan Green Tower.

Jadi, Master dari Master nya Lovellian… adalah murid Sienna.

Kalau dipikir-pikir, kecil kemungkinan Lovellian pernah bertemu langsung dengan Sienna. Tapi tetap saja, Eugene nggak nyangka bisa ketemu seseorang yang punya hubungan dengan “teman lama”-nya.

Kalau dia dari Red tower, berarti spesialisasinya magic pemanggilan.

Dan magic pemanggilan itu juga salah satu spesialisasi Sienna. Bahkan rumah yang mereka tinggali selama perjalanan dulu juga salah satu pemanggilan Sienna.

“...Kau tadi bilang namamu Eugene, kan?” suara Gilead terdengar.

Meskipun jadi pusat perhatian lagi, kali ini Eugene nggak terlalu kaget. Dia nggak sampai tersedak teh. Eugene cuma menoleh ke arah Gilead dan mengangguk ringan.

Sudah kuduga, suatu saat dia pasti akan memanggilku.

Sejak pertama bertemu di depan mansion, Eugene sudah merasakan tatapan halus Gilead yang terus mengawasinya.

“Aku dengar cerita cukup banyak dari Tanis,” ucap Gilead sambil menimbang-nimbang.

Mendengar itu, Cyan langsung menggigit bibir bawahnya dengan kasar. Tapi Gilead hanya mengangkat tangan, menepuk lembut bahu Cyan seakan menenangkan.

“Anakku… dia sudah menghina kau dan juga ayahmu,” kata Gilead tenang.

“Benar, tapi saya tidak menyimpan dendam,” Eugene duduk tegak, suaranya mantap. “saya sudah melampiaskan semua yang saya rasakan pada saat duel.”

“Kau bahkan menang di duel itu,” Gilead menekankan.

“Kalau pun saya kalah, saya juga nggak akan menyimpan dendam. Itu hanya berarti saya terlalu lemah untuk melindungi kehormatan saya, dan karena itu saya wajib menanggung hinaan itu,” jelas Eugene.

“Kau jauh lebih dewasa daripada anakku,” Gilead tersenyum kecil.

Pat.

Dengan tepukan terakhir di bahu Cyan, Gilead melanjutkan, “Cyan.”

“...Iya,” jawab Cyan pelan.

“Ayah tidak malu karena kau kalah. Tapi ayah malu karena kau menundukkan kepala, tak berani menatap ayahmu hanya karena kau merasa malu dengan kekalahanmu.”

“...” Ciel diam saja.

“Ayah dengar duel itu dimulai karena kau yang menghina dia. Tapi meski sudah kalah, kau bahkan tidak minta maaf pada Eugene.”

“I-itu….”

“Cyan. Kau membawa nama Lionheart. Itu berarti kau adalah keturunan dari Great Vermouth. Untuk hidup sesuai dengan darah yang kau warisi, kau harus bisa menghormati kehormatan orang lain, sama seperti kau menjaga kehormatanmu sendiri.”

Padahal si brengsek Vermouth itu sendiri nggak pernah peduli kehormatanku.

Sambil berpikir konyol seperti itu, Eugene melirik wajah Cyan. Karena kepribadian kembar itu cukup busuk, dia mengira ayah mereka juga akan sama menyebalkan. Tapi ternyata Gilead terlihat jauh lebih waras daripada yang dia kira.

Katanya dia sudah tiga tahun tidak pulang.

Tiga tahun itu waktu yang lama buat anak sepuluh tahun, sekitar sepertiga umur mereka.

“...Aku minta maaf,” akhirnya Cyan mengaku, hidungnya tersendat dan matanya berkaca-kaca.

Dia menangis bukan karena benar-benar menyesal, tapi karena merasa dipaksa minta maaf itu nggak adil. Eugene langsung bisa menangkap kebenaran itu, tapi dia nggak mempermasalahkannya. Dia juga nggak pernah berharap permintaan maaf yang tulus dari Cyan sejak awal.

Gilead pun tahu anaknya nggak tulus. Tapi kalau dia singgung di sini, pembicaraan bisa jadi terlalu panjang.

Jadi Gilead mengalihkan topik, “...Maaf harus bilang ini, tapi Eugene, aku tidak mengenal ayahmu.”

“Itu wajar. Bahkan saya mengakui keluarga saya berasal dari desa terpencil,” jawab Eugene santai.

“Jadi, kau belajar semua kemampuanmu dari ayahmu?”

“Dia hanya mengajarkan dasar-dasar. Sisanya, saya berlatih sendiri.”

“Latihan macam apa yang kau lakukan?”

“Saya hanya berlatih dengan pedang kayu dan tombak kayu… Karena ada larangan dari Upacara Pewarisan Darah, jadi saya hanya boleh pakai senjata latihan.”

“Artinya, kau tidak punya siapa pun yang bisa mengajarimu.”

“Di wilayah saya ada beberapa ksatria juga, tapi tidak ada yang cukup bagus untuk layak jadi instruktur saya.”

“Begitu rupanya.”

Gilead termenung beberapa detik. Cyan masih menggigit bibirnya, Ciel tampak bersinar matanya seperti sedang bersenang-senang, sementara Eward hanya melamun, menatap Eugene kosong.

...Dia sempat duel dengan Cyan, lalu menang?

Gerhard itu siapa, sebenarnya?

Pikiran-pikiran itu melintas di benak Gargith dan Dezra, yang kini menatap Eugene dengan mata terbelalak. Anak-anak cabang lain yang duduk di dekat mereka pun ikut tercengang.

“...Sepertinya Upacara Pewarisan Darah tahun ini bakal seru,” akhirnya Gilead tersenyum lebar, memecah keheningan.

“Aku juga berpikir begitu,” Lovellian yang sejak tadi menyimak dengan tertarik ikut mengangguk sambil tersenyum.

Makanan mulai berdatangan dari dapur. Tapi tak seorang pun menyentuhnya sebelum Gilead terlebih dulu mengambil.

“Aku tidak tahu apakah hidangan ini sesuai dengan selera kalian, tapi silakan dinikmati.” Setelah berkata begitu, Gilead mulai makan.

Anak-anak pun segera mengikuti. Eugene, seolah memang sudah menunggu, langsung mengiris sepotong besar daging untuk dirinya sendiri.

Begitu makan dimulai, suasana ruangan agak mencair.

“Padahal siang tadi kau sudah makan banyak, masih lapar juga?” tanya Ciel pada Eugene.

“Aku memang makan siang, tapi setelah itu aku terus bergerak. Jadi wajar kalau sekarang lapar,” jawab Eugene enteng.

Ciel terkikik, lalu memindahkan sayuran, seperti paprika dan wortel dari piringnya ke piring Eugene.

“Kalau begitu, makan punyaku juga. Aku nggak terlalu lapar.”

“Kau cuma melakukan ini karena nggak mau makan sayuran.”

“Bukan! Aku suka sayuran,” Ciel buru-buru membela diri, melirik sekilas ekspresi Gilead. “Beneran, aku cuma nggak terlalu lapar.”

Setelah semua hampir menghabiskan makanan mereka, Gilead meletakkan gelas anggurnya dan mulai bicara, “Seperti yang mungkin sudah kalian duga, alasan kita makan malam bersama ini adalah untuk menjelaskan isi dari Upacara Pewarisan Darah tahun ini.”

Mendengar itu, gerakan di meja langsung terhenti satu per satu.

“Dalam upacara tahun ini, selain tujuan tradisional, aku juga ingin memberi kesempatan bagi semua anggota keluarga yang ikut untuk benar-benar menunjukkan kemampuan mereka,” kata Gilead sambil menelusuri tatapan ke seluruh ruangan.

Tatapannya berhenti lebih lama pada Gargith, Dezra, dan Eugene. Tiga orang yang Eugene sebut ‘para pecundang’ jelas menyadari hal itu, tapi tak satu pun merasa keberatan. Deacon, Hansen, dan Juris sama-sama sadar mereka memang tidak punya kualitas untuk menonjol dalam upacara itu.

“...Upacara Pewarisan Darah digelar tiap sepuluh tahun. Isi upacaranya ditentukan oleh Patriark Lionheart. Upacara sebelumnya juga aku yang memutuskan. Seperti yang mungkin kalian dengar, waktu itu dua belas anak yang ikut disuruh berkeliaran di tengah hutan.”

Gilead menggeleng pelan dengan senyum miring.

“Waktu itu, hanya anak-anak cabang yang ikut. Tapi tahun ini… tiga anakku sendiri juga ikut serta. Meski mungkin terdengar aneh kalau keluar dari mulutku, aku percaya tradisi Upacara Pewarisan Darah terlalu diskriminatif.”

Ketiga anak Gilead langsung terkejut mendengar pengakuan itu.

“Upacara ini adalah tradisi yang menguntungkan keturunan garis utama. Anak-anak cabang dilarang memakai senjata asli, bahkan tidak boleh berlatih dengan mana mereka sampai upacara selesai. Dengan kondisi seperti itu, bukankah hasilnya jelas? Anak-anak cabang tidak pernah bisa mengalahkan keturunan garis utama.”

“...” Semua orang terdiam, mendengarkan.

“Tapi mustahil menghapus tradisi ratusan tahun sekaligus.”

Perpecahan ini sudah memisahkan garis utama dan garis cabang selama ratusan tahun…

***

Penerjemah: Idran

***

Belakangan ini, saudara Gilead, Gilford, juga baru saja dikaruniai seorang anak. Begitu anak itu berusia lima tahun, Gilford akan dipaksa meninggalkan kediaman utama dan menjadi kepala dari cabang keluarga baru.

Meskipun mereka semua adalah keturunan dari Great Vermouth, hanya garis keturunan langsung Klan Lionheart yang bisa membanggakan darah sejati. Karena itu, garis utama hanya bisa diwariskan oleh anak-anak langsung dari Patriark Lionheart. Begitulah warisan kediaman Lionheart diteruskan turun-temurun.

“Bagi mereka yang berasal dari garis cabang, meskipun darah mereka sudah sangat tipis, bukankah mereka tetap membawa nama Lionheart? Tujuan utama dari Upacara Pewarisan Darah selalu untuk memastikan bahwa siapa pun yang mewarisi nama Lionheart juga memiliki kualitas kepahlawanan yang sama dengan sosok yang mereka klaim sebagai leluhur, Great Vermouth. Jadi, seberapa pekat darah itu sebenarnya tidak penting.”

‘Vermouth,’ Eugene bergumam dalam hati sambil mengunyah dagingnya, ‘sepertinya keturunanmu ini jauh lebih baik daripada dirimu sendiri.’

“Lalu, apa artinya sebuah kompetisi kalau pemenangnya sudah ditentukan sejak awal? Aku ingin memastikan bukan hanya anak-anakku sendiri, tapi juga kalian semua yang mewarisi nama Lionheart benar-benar memiliki sifat kepahlawanan.”

Gilead menoleh ke samping.

“Karena itu, berbeda dengan upacara-upacara sebelumnya, tahun ini aku memutuskan untuk meminta bantuan dari luar.”

“Dan itulah alasannya aku ada di sini. Senang bertemu kalian semua, anak-anak,” ucap Lovellian sambil tersenyum lebar. “Khotbah Patriark barusan agak panjang ya? Aku bisa mengerti kalau kalian mulai mengantuk, tapi sekarang tolong buka mata kalian dan dengarkan baik-baik.”

Gilead hanya tersenyum kecut. Lovellian tak peduli dan terus bicara.

“Kita perlu menyiapkan beberapa hal dulu sebelum benar-benar tahu, tapi paling lambat empat hari lagi Upacara Pewarisan Darah akan dimulai. Kalau kalian penasaran apa yang akan kita lakukan, aku berencana untuk menciptakan sebuah labirin di hutan sana.”

Lovellian mengangkat kedua tangannya. Mana berkumpul di antara telapak tangannya seperti kabut, lalu membentuk citra sebuah labirin raksasa yang melayang di atas meja makan.

“Kalian semua akan masuk ke dalam labirin melalui pintu masuk yang berbeda dan mulai menjelajahinya. Akan ada berbagai monster berkeliaran di dalamnya, tapi… haha, jangan terlalu khawatir. Tak satu pun dari kalian akan benar-benar terluka atau melukai siapa pun.”

“Bagaimana bisa begitu?” tanya Ciel sambil memiringkan kepala.

“Itu karena semua yang ada di dalamnya hanyalah ilusi yang diciptakan oleh magic. Jadi apa pun yang terjadi pada kalian di dalam labirin, itu tidak nyata. Tapi… rasanya akan sangat realistis.” Senyum Lovellian makin melebar. “Bisa saja seekor monster memotong lenganmu. Jadi meskipun di dunia nyata lenganmu masih utuh, di dalam sana kau akan benar-benar merasa seolah-olah lenganmu terputus.”

“Wah…,” suara kagum itu keluar hampir bersamaan.

“Hebat kan, magic itu? Kalau kalian tertarik, mampirlah ke Aroth. Great Vermouth juga dulu seorang mage hebat, lho.”

Jadi, selain magic pemanggilan, bahkan magic manipulasi mental tingkat lanjut pun akan digunakan untuk proyek ini.

‘Yah, wajar saja. Kalau mau jadi Kepala Magic Tower, kemampuan segini memang wajib ada.’

Eugene hanya diam mendengarkan penjelasan Lovellian.

“Selain monster, kami juga akan menyiapkan berbagai jebakan di dalam labirin. Tentu saja, itu juga tidak benar-benar berbahaya.”

“Iya!” seru Ciel dengan riang.

Ciel satu-satunya yang tertawa kecil sambil menikmati penjelasan Lovellian. Sebaliknya, wajah anak-anak garis cabang malah penuh rasa takut.

“Begitu kalian semua masuk labirin, hanya ada satu hal sederhana yang perlu dilakukan. Bergeraklah menuju pusat labirin dan kalahkan monster bos yang ada di sana.”

“Bagaimana cara mengalahkannya?” tanya seseorang.

“Kalian hanya perlu membunuhnya. Siapa di sini yang pernah berburu monster?”

“Aku,” kali ini beberapa suara langsung menjawab.

Ketiga anak dari keluarga utama mengangkat tangan. Dari garis cabang, hanya Gargith, Dezra, dan Eugene yang ikut mengangkat tangan. Eugene sendiri sudah membunuh orc pertamanya saat berusia sekitar sepuluh tahun, memukul mati makhluk itu dengan pedang kayunya.

“Kurang lebih akan seperti itu. Upacara Pewarisan Darah akan berakhir ketika salah satu dari kalian sembilan peserta berhasil mencapai pusat labirin dan mengalahkan monster bos.”

“Kalau kami nggak bisa sampai pusat labirin gimana?” tanya Hansen.

“Ya nggak apa-apa. Kalau kau takut melangkah lebih jauh, kau boleh saja berhenti di tempat. Hanya saja, nilaimu tidak akan bagus….” jawab Lovellian lembut, menatap pipi chubby Hansen.

“Kalau aku yang membunuh monster bosnya…,” Eugene bertanya.

‘Apa-apaan sih, monster bos? Walau audiensnya anak-anak, nama itu kedengaran kekanak-kanakan banget.’ Eugene menggeleng pelan dalam hati.

Tetap saja, entah itu bos atau komandan, apa gunanya membunuh bajingan itu?

Refleks pertamanya ingin langsung menanyakan hal itu, jadi…

“...apa aku dapat hadiah kalau berhasil?” Akhirnya dia memilih untuk bertanya blak-blakan.

“Aku akan membiarkanmu memilih satu benda yang kau inginkan dari ruang harta bawah tanah kediaman utama.”

Orang yang menjawab adalah Gilead sendiri.

Eugene langsung tersenyum cerah, mengangguk sambil berseru dengan suara anak kecil, “Wow!”

‘Apa yang harus kuambil nanti, pedang, tombak, atau busur?’

Meskipun Upacara Pewarisan Darah belum dimulai, Eugene sudah yakin bahwa dialah yang pertama akan menembus labirin itu.

0 komentar:

Posting Komentar

My Instagram