Chapter 8.1: Ciel (2)

 

Tidak ada yang terjadi.

“...”

Benar-benar tidak ada yang terjadi. Eugene awalnya sudah menduga akan ada hukuman karena meninggalkan Cyan, keturunan langsung keluarga utama, dalam keadaan seperti itu… namun, di annex tidak ada sedikit pun keributan. Seolah-olah duel dengan Cyan kemarin tidak pernah terjadi, suasana tetap tenang.

Jujur saja, meskipun tidak ada insiden nyata yang bisa disebut masalah, bukan berarti tidak ada perubahan sama sekali. Setelah duel itu, tatapan para pelayan annex terhadap Eugene berubah. Mereka kini lebih berhati-hati memperhatikan suasana hatinya dan tidak terburu-buru mendekatinya.

Mereka mungkin tidak ingin terseret dalam masalah bersamanya.

“Apa kau baik-baik saja dengan ini?” Eugene bertanya pada Nina.

Malam pertamanya di annex sudah berlalu, dan sekarang pagi berikutnya. Saat Eugene dan Nina tiba di ruang makan lantai satu, mereka mendapati hanya ada mereka berdua di sana. Meski begitu, meja makan sudah penuh dengan beraneka ragam hidangan.

“Maksud Tuan apa dengan pertanyaan itu?” Nina balik bertanya.

“Dengan menemani ku.” Eugene menjawab sambil menyayat kasar sepotong besar daging untuk dirinya.

Potongan daging itu terlalu besar untuk ukuran menu sarapan. Satu-satunya hal yang memang Eugene minta di antara semua makanan itu hanyalah daging. Baginya, jika ia tidak makan cukup banyak setelah menggerakkan tubuh dengan keras, stamina dan kondisi fisiknya akan menurun.

“...Uhm…” Nina tidak langsung menjawab.

Sementara ia ragu, Eugene mendorong potongan daging besar itu ke mulutnya dengan pisau.

“...Syaa tahu situasinya… tapi saya tidak bisa berbuat apa-apa. Jadi, selama Tuan Eugene tinggal di kediaman ini, saya tetap akan melayani sebagai pelayan pribadi Tuan.”

“Tidak perlu kau tunjukkan kesetiaan pada seseorang yang paling lama hanya akan tinggal sebulan di sini. Bagaimanapun, setelah aku pergi, kau harus tetap bekerja di sini, bukan?”

“...Bukan hanya karena kesetiaan. Kepala pelayan di rumah ini yang menugaskanku untuk menjadi pelayan pribadi Tuan Eugene. Dan kemungkinan besar, yang memberi perintah padanya adalah Nyonya Kedua.”

Nina tersenyum pahit sambil menggelengkan kepala.

“Jika saya mengabaikan tugas saya hanya untuk menghindari masalah, itu artinya saya secara tidak langsung menentang perintah Nyonya Kedua. Karena itulah, saya justru harus melaksanakan tugas saya dan tetap melayani Tuan Eugene.”

“Kau cukup pintar juga,” puji Eugene dengan senyum, mendorong piring kosongnya ke samping.

Ia lalu meraih tulang domba sebesar lengannya.

“Kalau tadi kau bilang bukan hanya karena kesetiaan, bukankah itu berarti sedikit banyak kau memang setia padaku?” tanya Eugene sambil menggigit daging.

“...Walau hanya sementara, bagaimanapun juga, Tuan tetap majikan saya,” jawab Nina.

“Kalau begitu aku juga tidak punya pilihan selain bersikap seperti majikan yang benar. Jika sesuatu yang kulakukan membuatmu kesulitan, jangan dipendam, langsung saja katakan padaku.”

“...Hah?”

“Apa maksudnya hah? Kau sial karena ditugaskan menjadi pelayan pribadiku, dan aku juga sedikit sial dapat pelayan sepertimu. Jadi, lebih baik kita sama-sama menjaga agar hubungan tetap bersih.”

“T-Tapi….”

“Cukup. Jangan membantah lagi perintahku. Ikuti saja. Mengerti?”

“...Baik.”

“Kalau begitu ambilkan aku handuk basah.” Tanpa berkata lebih lanjut, Eugene melahap tulang domba itu dengan giginya.

Nina sempat melongo melihat pemandangan itu, namun akhirnya mengangguk dan mundur perlahan.

“...Saya pikir handuk saja tidak cukup. Lebih baik saya kembali dengan membawa satu baskom penuh,” ujarnya penuh perhatian.

“Itu yang kusuka, seseorang yang bisa berpikir sendiri,” kata Eugene sambil tersenyum, mulutnya masih penuh dengan daging. “Oh, sekalian, sampaikan pesan ke koki. Katakan padanya untuk menambah porsi daging dibandingkan makanan lain saat makan siang nanti. Dan bukannya repot-repot bikin masakan rumit, lebih baik sajikan daging tanpa banyak bumbu.”

“Baik, Tuan.”

Sambil mundur dengan sopan, Nina melirik meja makan. Apa benar Tuan muda itu akan menghabiskan semua ini seorang diri?

Tentu saja, Eugene benar-benar menghabiskan semuanya. Sejak kehidupan sebelumnya, ia tidak pernah pilih-pilih makanan dan bisa menikmati berbagai macam hidangan.

‘Aku bahkan pernah makan daging monster dan iblis.’

Sambil mencabut sisa daging yang nyangkut di giginya, Eugene mencuci tangan di baskom. Setelah itu, ia menepuk perut kenyangnya dan meninggalkan meja. Nina segera menyusul di belakang dengan langkah cepat.

“Apa ada tamu yang datang hari ini?” Eugene bertanya.

“Maaf, tapi tidak ada yang memberi tahu saya soal itu,” jawab Nina.

“Kalau begitu cari tahu. Aku ada di ruang latihan kalau kau butuh aku.”

“Baik. Tapi mohon pertimbangkan… Tuan baru saja makan banyak. Jika langsung berlatih, perut Tuan bisa sakit….”

“Terima kasih atas perhatianmu, tapi itu tidak perlu. Aku tidak pernah sakit perut meski langsung berlari setelah makan.”

Bagi Nina yang bertubuh normal, hal itu terasa mustahil dipahami. Namun ia tidak banyak bertanya lagi dan mundur dengan tenang.

Eugene memang tidak berbohong. Sejak kecil, tubuhnya tidak pernah terkena penyakit apa pun. Bahkan telapak tangannya, yang kemarin robek karena terus mengayunkan tombak, kini sudah sembuh total tanpa bekas luka sedikit pun.

‘Tubuh ini benar-benar tidak adil.’

Kalau dipikir lagi, di kehidupan sebelumnya pun Vermouth hampir tidak pernah butuh sihir penyembuhan atau ramuan. Meski jarang terluka, tubuhnya bisa sembuh sendiri meski pun sekali-dua kali ia benar-benar cidera.

Berkat itu, Magic healing Anise dan Sienna hampir sepenuhnya dipakai hanya untuk menyembuhkan Molon dan Hamel.

***

Penerjemah: Idran

***

—Alasan kau terus terluka itu karena kau selalu asal maju tanpa mikir!

—Hei, dasar bodoh! Molon yang menyerang duluan!

—Dia melakukannya karena memang bebal. Lalu kenapa kau ikut-ikutan? Apa kau juga bebal?

—Terus, apa aku harus diam saja biarin dia dipukuli monster!? Kenapa malah aku yang dimarahi!?

—Hahaha… sudahlah, hentikan pertengkaran. Lihat Vermouth itu. Kenapa kau tidak bisa bertarung seaman dia tanpa bikin dirimu babak belur?

—Kalau mau berhenti ribut, jangan terus membandingkan aku dengannya!

***

Setiap kali Hamel pulang dalam keadaan penuh luka, Sienna selalu memarahi habis-habisan. Meski sudah tiga belas tahun berlalu sejak ia bereinkarnasi, ingatan dari kehidupan sebelumnya masih begitu jelas seolah baru kemarin.

‘...Aku tahu setelah kematian Vermouth ada upacara pemakaman, tapi aku tidak tahu apa tiga orang lainnya masih hidup atau tidak.’

Sienna sang Bijak, yang pernah menjabat sebagai Kepala mage tower terlama sepanjang sejarah Kerajaan magic Aroth, tiba-tiba menghilang sekitar dua ratus tahun lalu. Tidak ada yang tahu ke mana perginya.

Anise sang Setia, yang dihormati sebagai seorang santo oleh Kekaisaran Suci Yuras, mundur dari tugasnya di Kuil Pusat pada akhir hidupnya dan pergi berziarah seorang diri. Bahkan Paus Kekaisaran pun tidak berhasil mengetahui ke mana tujuan perjalanannya.

Sedangkan Molon si bodoh, raja pertama Kerajaan Utara Ruhar, untungnya masih sempat terlihat beberapa waktu lalu. Meski “beberapa waktu lalu” berarti sekitar seratus tahun yang lalu…. Setelah turun tahta, ia menjalani hidup santai. Terakhir ia muncul pada peringatan seratus tahun berdirinya kerajaannya.

‘Sulit dipercaya mereka mati dengan tenang… tapi….’

Namun, pikiran seperti itu tidak ada gunanya.

Karena Vermouth, orang yang paling tidak mungkin mati, justru telah mati lebih dari dua ratus tahun lalu.

Saat rasa pahit muncul di mulutnya, Eugene menggeleng pelan, berusaha menghapus bayangan itu.

0 komentar:

Posting Komentar

My Instagram