Holy sword itu masih sama luar biasanya indahnya seperti saat pertama kali ia melihatnya tiga ratus tahun lalu. Itu adalah senjata yang mustahil dianggap hanya sebagai sebuah “pedang” untuk menebas sesuatu.
Tidak diketahui terbuat dari logam jenis apa pedang itu. Menurut legenda Kekaisaran Suci, tempat asal Holy Sword, pedang itu adalah senjata yang dianugerahkan langsung oleh Dewa.
‘Mengejutkan juga Kekaisaran Suci tidak mencoba merebut kembali Holy Sword ini.’
Eugene berkeliling mengitari Holy Sword, mengamatinya dari berbagai sudut. Pedang itu memiliki sarung indah dan gagang panjang yang paling cocok digunakan dengan kedua tangan. Bilahnya sendiri memang tak terlihat, tetapi Eugene masih sangat jelas mengingat betapa indah dan menyilaukannya cahaya Holy Sword itu saat ditarik keluar dari sarungnya.
Ia harus mengakui bahwa ia menginginkannya. Hasrat seperti itu tak bisa dihindari. Bagaimanapun juga, ini adalah pedang yang langsung dianugerahkan oleh Dewa. Holy sword ini dahulu disegel di kuil pusat Kekaisaran Suci dalam jangka waktu yang lama, lalu ikut bersama mereka dalam perjalanan ke Devildom Helmuth setelah mengakui Vermouth sebagai satu-satunya pemiliknya.
Meskipun Vermouth sendiri tidak terlalu sering menggunakan Holy Sword, hal itu tidak mengurangi arti dan nilai dari Holy Sword ini. Pedang indah ini telah menebas tak terhitung jumlah demon dan bahkan menusuk jantung Demon King pertama yang tewas dari lima Demon King Helmuth.
‘...Walaupun setelah itu, hampir selalu dipakai sebagai obor.’
Ketika mereka menumbangkan Demon King pertama, semua orang masih belum matang. Saat mengingat kembali masa itu, Eugene meraih tangannya untuk menggenggam Holy sword. Bukan berarti ia sudah memutuskan akan membawa pulang Holy Sword ini, tapi untuk saat ini ia hanya ingin menyentuhnya.
Eugene menggenggam gagang Holy Sword dengan tangan kanannya. Sensasi membungkus jari-jarinya di sekitar gagang itu sungguh luar biasa. Meskipun dari luar terlihat seperti pedang upacara yang sama sekali tak berguna dalam pertempuran nyata, sebenarnya pedang ini dibuat dengan pengerjaan yang luar biasa.
“...Hm.”
Sarung Holy Sword itu tertancap dalam-dalam ke lantai gudang harta. Eugene mencoba menariknya dengan paksa, tetapi sarung itu tak mau melepaskan genggamannya pada bilah pedang. Eugene menggenggam pedang itu dengan kedua tangan dan mencoba sekali lagi menariknya keluar dengan sekuat tenaga.
“Tidak bisa,” akhirnya ia mengakui.
Holy sword itu tidak tergoyahkan. Seberapa pun keras ia mencoba, ia tidak bisa menariknya keluar.
Untuk berjaga-jaga, Eugene menggigit ujung jarinya hingga berdarah, lalu mengoleskan ujung jarinya yang berlumur darah pada gagang dan sarung Holy Sword. Darah yang menempel langsung lenyap menguap begitu saja. Ia mencoba menarik pedang itu sekali lagi, tetapi tetap saja pedang itu tak mau ditarik.
‘Seperti yang Gilead katakan, kau akan mengerti setelah mencobanya sendiri.’
Apa yang dimaksud Gilead memang benar: pedang itu mustahil ditarik keluar. Eugene tidak lagi membuang tenaganya dan menyingkirkan semua penyesalan. Lagi pula, sekalipun ia berhasil menarik pedang itu, bukan berarti ia diizinkan membawanya keluar.
Ia kembali mengedarkan pandangannya. Benar saja, gudang itu penuh dengan berbagai macam harta. Selain senjata, ada juga banyak permata dan aksesori. Dengan mata berbinar, Eugene pun mulai berkeliling menelusuri isi gudang itu.
‘Ini… Azphel, ya?’
Beberapa senjata menarik perhatiannya. Salah satunya adalah pedang aneh yang tergantung di dinding; tepi bilahnya memiliki tonjolan bergerigi seperti taring binatang buas. Itu adalah “Devouring Sword” Azphel. Pedang ini bisa melahap apa pun yang dipotongnya untuk menambah kekuatannya sendiri.
Sekilas, kekuatan aslinya sulit untuk diukur, tetapi Eugene sangat paham betapa rusaknya pedang ini. Itu adalah pedang yang bisa memakan magic, pedang pemangsa mana. Seberapa pun kuatnya mantra, di hadapan Azphel, semuanya tak berguna.
‘Tapi hanya Vermouth yang bisa memanfaatkannya sepenuhnya.’
Hanya karena Vermouth adalah mage luar biasa sejak awal, ia mampu menemukan titik lemah sebuah mantra dan menghancurkannya dengan sekali tebas. Jadi meskipun Eugene merasa lebih tertarik pada pedang ini ketimbang Holy Sword, ia memutuskan untuk menyingkirkannya dulu.
Selain pedang itu, beberapa senjata lain yang juga familiar menarik perhatiannya.
‘Itu Dragon Spear Kharbos.’
Meskipun waktu muatnya cukup lama, asalkan bisa menutupi kelemahan itu, tombak ini sanggup melepaskan serangan sekuat napas naga hanya dengan satu tusukan.
‘Storm Sword Wynnyd.’
Sebuah pedang yang diresapi perlindungan Wind Spirit King.
‘Thunderbolt Pernoa.’
Busur yang menembakkan petir, bisa menembus jarak sejauh apa pun untuk mengenai targetnya.
‘Phantom Rain Sword Javel.’
Pedang yang bisa menciptakan tak terhitung jumlah salinan terbang dari dirinya sendiri saat dimasuki mana.
‘Dan ada juga Gedon’s Shield.’
Perisai licik yang bisa membelokkan serangan apa pun yang mengenainya ke arah lain.
Semua ini adalah senjata yang bisa membalikkan dunia jika sampai keluar. Eugene menggelengkan kepalanya sambil mengklik lidahnya kagum. Jadi, bukan hanya karena mereka adalah keturunan Vermouth; dengan memiliki begitu banyak harta ini, keluarga Lionheart benar-benar bisa mendukung status mereka sebagai keluarga besar. Bahkan seekor naga pun akan kehilangan akal bila melihat betapa banyak harta terkumpul di gudang ini.
‘...Tapi, apa ini benar-benar semuanya?’
Meski semua ini luar biasa, Eugene tetap ragu. Bagaimanapun, ini bukan seluruh senjata yang ia tahu pernah dimiliki Vermouth. Ia tidak melihat Moonlight Sword yang mengerikan, atau Demonic Spear yang sebenarnya sangat ia idamkan.
‘Senjata yang ada di sini hanya setengah sebagus itu.’
Tentu saja ini bukan hal aneh. Bagaimanapun, tiga ratus tahun telah berlalu. Dalam rentang waktu itu, beberapa senjata mungkin telah keluar dari gudang ini dan tidak pernah kembali.
‘Bajingan. Mereka pasti tahu mana yang benar-benar cheat lalu merampasnya.’
Eugene terus mengklik lidahnya sambil menggeleng. Meskipun senjata-senjata yang tersisa di gudang ini semuanya luar biasa, ia tetap merasa menyesal atas senjata-senjata yang hilang.
Karena kehilangan itu, ia harus mempersiapkan diri membuat pilihan yang sulit.
‘Tidak ada satu pun yang bisa dibilang sia-sia kalau aku ambil, tapi….’
Tidak ada yang benar-benar menggugah hasratnya. Karena ia masih muda, ia tak perlu khawatir soal kurangnya keterbiasaan dengan senjata. Senjata mana pun yang ia pilih, kalau ia terus berlatih selama beberapa tahun, lambat laun ia bisa beradaptasi dan menguasainya.
‘Yang paling mudah digunakan adalah Wynnyd, tapi….’
Itu pedang yang secara pribadi diberkati oleh Wind Spirit King. Hanya dengan menggenggamnya, seseorang bisa memerintah Spirit(roh) angin, dan tentu saja itu juga memungkinkan penggunaan magic spirit. Walau untuk sementara waktu akan mustahil, seiring ia menumpuk cukup banyak mana, suatu hari ia bahkan bisa memanggil Wind Spirit King (Raja Roh Angin) sendiri.
Keunggulan pedang ini adalah, berbeda dari magic biasa, magic spirit tidak banyak mengonsumsi mana pengguna. Setelah spirit dipanggil, biaya mana selanjutnya ditanggung oleh spirit itu sendiri.
‘Dan dengan ini, tidak ada tuntutan besar soal bakat bawaan.’
Magic spirit biasanya sulit dikuasai. Kalau seseorang tidak terlahir dengan sifat yang menarik bagi spirit, bahkan mage hebat pun takkan mampu memanggil spirit kelas rendah sekalipun. Namun, bila memegang Wynnyd, semua syarat itu dilewati begitu saja.
‘Javel sulit digunakan. Azphel mungkin cocok nanti setelah aku belajar magic, tapi untuk saat ini sulit dimanfaatkan. Pernoa… kalau tidak salah, menghabiskan banyak sekali mana untuk tiap tembakan.’
Dragon Spear Kharbos tidak sesuai dengan selera Eugene. Adapun Gedon’s Shield? Memang punya kemampuan curang, tapi sama seperti Thunderbolt Pernoa, ia mengonsumsi jumlah mana yang sangat besar setiap kali dipakai.
‘Wynnyd jelas yang paling mudah digunakan.’
Meskipun ia sudah sampai pada kesimpulan itu, Eugene tidak langsung memilihnya. Sebaliknya, ia terus melihat-lihat isi gudang dengan langkah tanpa tujuan. Selain senjata-senjata ini, ada juga beberapa harta lain yang pernah digunakan Vermouth.
‘Tongkat-tongkat magic ini… aku tidak begitu yakin seberapa bagus mereka.’
Dan jumlah tongkat magic itu cukup banyak. Karena ia masih muda, ia memang sempat berpikir untuk mempelajari magic, tapi ia tidak ingin memilih fokus tanpa tahu apa-apa.
‘...Oh?’
Setelah mondar-mandir ke sana kemari di dalam gudang, Eugene berhenti melangkah. Matanya terbelalak kaget saat melihat ke sudut bagian dalam sebuah rak. Ia cepat-cepat berjalan mendekat dan meraih ke dalam sudut itu.
Yang tergeletak di sana adalah sebuah kalung kecil.
‘...Kenapa benda ini ada di sini?’
Eugene mengangkat kalung itu dan berkedip kaget. Itu bukanlah sesuatu yang istimewa. Tidak ada magic hebat yang terukir di dalamnya, juga tidak memiliki simbolisme penting.
Itu hanyalah sebuah kalung biasa yang penuh kenangan, karena itu adalah kalung yang pernah dikenakan Hamel dalam kehidupan sebelumnya
0 komentar:
Posting Komentar