Chapter 32.1: Magic Red Tower (3)

 

“...Jadi maksudmu…,” untuk bisa mengucapkan itu, Lovellian dulu harus menutup mulutnya yang sempat menganga, “anak muda Eugene menggunakan inti dari White Flame Formula sebagai Circle lalu memakainya untuk melempar magic.”

“Benar, Master,” Hera mengonfirmasi.

“Tanpa kesalahan sedikit pun, dia langsung bisa memanggil Fireball, lalu, tanpa membubarkannya, mengubahnya jadi Magic Missile…?”

“Ya, Master.”

“Lalu Magic Missile itu berhasil menjatuhkan golem carbium-mu?”

“Itu kena tepat di sini, Master,” Hera menunjuk dada golem. Memang, ada kawah bekas hantaman di sana.

Lovellian menatapnya sejenak sebelum terkekeh, “...Ho ho. Lumayan juga pukulannya.”

“Itu pertama kalinya dia melempar magic, tapi langsung kena tepat di tengah,” Hera masih kagum.

“Seberapa murni carbium-nya?”

“Bagian luarnya sepenuhnya carbium, Master.”

“Dan kau belum sempat kasih enchantment pertahanan di atasnya?”

“Belum, Master.”

“Bisa-bisanya terjadi hal seperti ini?” Lovellian bergumam sambil mengusap bekas luka di golem itu.

Padahal tanpa enchantment, carbium adalah logam yang cukup fleksibel untuk menahan serangan kuat. Mustahil magic ofensif seorang mage pemula, yang baru saja belajar, bisa menembus lapisan carbium.

“...Kepadatan dan kemurnian mana-nya benar-benar gila.” Hera melanjutkan sambil mengingat rasa kagumnya waktu itu. “Sampai-sampai susah dipercaya kalau dia cuma mage pemula. Mau dia pakai jenis magic apapun, kekuatan serangannya pasti setara atau bahkan lebih dari Mage Circle ketiga.”

“...Hm…,” alis Lovellian naik, menggumam pelan. ‘Aku dengar Eugene sudah mencapai Star ketiga dari White Flame Formula.’

Bisa sampai Star ketiga di umur tujuh belas itu nggak ada presedennya. Kalau Eugene ternyata nggak punya bakat besar di magic, Gilead sudah minta Lovellian untuk membujuk Eugene pulang ke rumah utama untuk dilatih lagi.

‘White Flame Formula menciptakan bintang-bintang di sekitar jantung sebagai bentuk inti. Inti dari ilmu bela diri dan Circle dari magic jelas berbeda… tapi dia bisa mengganti mana dari Circle dengan White Flame Formula sendirian?’

Itu level bakat monster, lebih bikin takut daripada kagum. Anak tujuh belas tahun bisa melakukan kontrol mana seakurat itu tanpa kesalahan, bahkan mengganti sistem mana bela diri dengan Circle magic.

Apa inti memang bisa dipakai untuk magic? Secara teori sih nggak mustahil. Ada beberapa magic swordsman terkenal yang bisa pakai magic dengan metode unik mereka. Tapi Lovellian belum pernah dengar ada yang memakai inti sebagai pengganti Circle.

Lagipula, apa perlu? Circle ya Circle, inti ya inti. Kalau mau ningkatin kontrol mana, paling efisien ya bikin Circle baru.

‘Apa White Flame Formula memang se spesial itu?’

Kemungkinan itu nggak bisa diabaikan. Apalagi penciptanya adalah Great Vermouth. Dia dikenal sebagai Master-of-All, jago magic sekaligus bela diri. Tapi sekarang nggak ada yang tahu apakah Vermouth dulu pakai Circle untuk magic, atau metode lain sama sekali.

Sejak Vermouth, nggak ada lagi mage dari garis utama yang bisa disebut Archwizard.

‘Kalau ditebak, mungkin Star ketiga White Flame Formula setara dengan Circle ketiga mage?’

Sienna yang Bijak-lah yang membagi tingkatan magic berdasarkan Circle. Mage Circle pertama nggak mungkin bisa pakai magic Circle ke tiga. Karena mana dari Circle pertama nggak cukup buat menghidupkan magic setingkat itu.

Tentu, itu bukan standar mutlak. Kadang ada jenius langka yang bisa melewati batas Circle mereka. Lovellian salah satunya. Waktu masih Circle ketiga, dia sudah bisa pakai berbagai magic sampai Circle kelima.

“...Kau bilang Eugene sudah pergi?” tanya Lovellian akhirnya.

“Ya. Katanya ada janji, dia keluar sebelum tengah hari,” jawab Hera.

“Itu kebetulan bagus,” Lovellian melangkah menjauh dari golem.

Dia duduk di meja kerjanya, menatap Hera dan memanggil, “Hera.”

“Ya, Kepala tower.”

“Menurutmu aneh nggak kalau aku menulis surat rekomendasi agar Eugene bisa masuk Akron?”

“...Hah?” Mata Hera langsung membelalak.

Akron adalah nama Perpustakaan Kerajaan Aroth. Hanya segelintir mage peringkat tinggi dari Magic Tower, bangsawan elit, atau keluarga kerajaan yang boleh masuk ke sana.

Sesuai reputasinya, Akron dipenuhi teks magic jauh lebih superior dibanding koleksi semua magic tower. Bahkan di red tower sendiri, mage yang punya izin masuk ke Akron jumlahnya nggak sampai sepuluh.

“Itu…,” Hera ragu-ragu.

“Menurutku nggak berlebihan,” Lovellian bersedekap sambil berpikir. “Dia memang pantas dapat kesempatan itu. Di usia tujuh belas, dia bisa melempar magic pakai inti sebagai pengganti Circle, dan itu pun saat pertama kali belajar magic. Selain itu, nggak ada yang mengajarinya kan? Hera, kau sendiri pernah ngajarin sesuatu?”

“...Aku cuma jawab beberapa pertanyaan dasarnya.”

“Pertanyaan apa?”

“Ya seputar struktur dasar magic saja.”

“Selain itu, nggak ada?”

“Betul, Master.”

Lovellian tertawa lepas tanpa sadar.

“Kalau begitu, berarti Eugene bisa pakai magic hanya dengan baca buku pengantar magic selama sebulan. Dia bahkan bisa mengganti Circle dengan inti , dan semua itu murni pakai penilaian dan pengetahuannya sendiri tanpa saran mage senior. Lalu magic yang dia lempar bisa menembus armor golem carbium,” Lovellian menyimpulkan.

“...Ya, benar begitu, master,” Hera masih takjub.

“Hera, kau tahu apa sebutan untuk orang yang bisa begitu?”

“Seorang jenius.”

“Bukan, dia monster.” Lovellian mengibaskan jarinya. Laci meja terbuka, selembar kertas kosong melayang ke arahnya. “Itu sebabnya aku putuskan menulis surat rekomendasi untuk Eugene. Sama sekali nggak berlebihan. Kalau memang dia monster dengan bakat segila itu, dia harus diperlakukan sebagaimana mestinya.”

“...Takutnya mage lain nggak suka,” Hera menyebutkan dengan hati-hati.

“Kalau menurutmu?”

“Aku sih nggak masalah. Soalnya aku lihat sendiri kemampuan Tuan Eugene.”

“Kalau begitu nggak apa. Kau nggak keberatan karena sudah menyaksikan sendiri. Itu artinya yang dicapai Eugene memang segila itu.” Lovellian langsung menulis surat rekomendasi itu. “Kalau masih ada yang iri setelah tahu kebenarannya, berarti mereka cuma buta karena cemburu.”

Tentu, izin masuk Akron nggak bisa dijamin hanya dengan surat rekomendasi Lovellian. Tapi dia nggak masalah. Kalau perlu, dia siap berdebat dengan para Kepala tower lain; kalau masih gagal, dia bisa ambil buku magic dari sana lalu meminjamkannya ke Eugene.

‘Atau sekalian kuakui dia jadi muridku dan masuk atas namaku.’

Itu bahkan bisa jadi opsi lebih baik. Lovellian mempertimbangkannya serius sambil menatap surat rekomendasi yang baru selesai ia tulis.

Lovellian tiba-tiba teringat sesuatu. “...Ngomong-ngomong, janji apa yang Eugene bilang mau datangi? Seingatku dia nggak kenal siapa-siapa di Aroth.”

“Katanya mau ketemu teman, master.”

“Teman?” dahi Lovellian berkerut.

Sejak kapan Eugene punya teman di Aroth? Dengan rasa penasaran, Lovellian menempelkan segelnya pada surat rekomendasi itu.

***

Penerjemah: Idran

***

Meriden Square, depan Magic green tower.

Sebuah patung tinggi berdiri di tengah alun-alun yang dinamai dari nama keluarga Sienna. Patung itu menggambarkan Sienna memegang tongkat di tangan kanan dan sebuah grimoire di tangan kiri.

‘Yang ini juga lebih bagus daripada aslinya,’ Eugene menatap ke atas.

Sama seperti potret, wajah patung itu terlihat sedikit lebih cantik daripada sosok Sienna yang ia ingat. Atau jangan-jangan memang mirip? Eugene bergumam dalam hati sambil menatap wajah patung itu.

Dalam ingatannya, wajah Sienna lebih sering terlihat kesal. Wajar, Helmuth dipenuhi segala macam omong kosong, dan perjalanan mereka dulu pun penuh penderitaan. Tempat terkutuk itu benar-benar neraka yang bikin siapa pun gampang jengkel.

—Kumohon, aku mohon padamu.

—Makanya… makanya aku bilang pulang aja. Kenapa sih kamu harus ngeyel ikut…?

Tapi bukan ekspresi kesalnya yang paling jelas Eugene ingat. Melainkan waktu air mata jatuh dari matanya yang memerah….

—Kumohon, jangan mati.

—Kamu nggak boleh… nggak boleh. Kumohon, Hamel.

Memori saat kematiannya memang agak buram. Suara-suara di sekitarnya pun tak begitu jelas. Tapi dia yakin itulah yang Sienna katakan. Eugene menggaruk tangannya dengan kesal, lalu menghela napas.

Wajah patung itu jelas bukan wajah penuh air mata. Sebaliknya, patung itu tersenyum percaya diri. Eugene kenal ekspresi itu. Sienna yang gampang kesal itu sering memamerkan senyum seperti itu setiap kali berhasil melakukan sesuatu yang hebat dengan magic, lalu menoleh padanya dengan gaya menang.

“...Kurasa memang nggak jauh beda dari orang aslinya,” Eugene bergumam, lalu berbalik.

0 komentar:

Posting Komentar

My Instagram