Dream Island.
Pulau tempat para Peri Fajar tinggal dan pulau ini hampir tidak pernah merasakan sinar matahari.
Semua itu karena planet ungu bernama Helyawin, yang menggantung menutupi setengah langit, sekaligus menghalangi cahaya matahari.
Karena itu, dalam sehari, hanya sekitar tiga jam saja cahaya matahari bisa menyentuh pulau ini.
Sisanya, delapan belas jam, dunia tenggelam dalam cahaya redup menjelang fajar, senja yang tak pernah benar-benar berakhir.
Anehnya, walaupun Helyawin menutup matahari, separuh cahaya itu tetap bisa menembus Dream Island. Karena itulah seluruh dunia di pulau ini selalu terwarnai ungu sepanjang waktu fajar.
Langit ungu.
Awan ungu.
Segala hal, ungu.
Dunia ungu yang tampak seperti ilusi, seperti mimpi.
Mungkin itu sebabnya mereka menamai tempat ini Dream Island, Pulau Mimpi.
Pulau ini juga mengambang di udara.
Namun karena para peri tidak pernah turun ke bawah, mereka bahkan tidak pernah tahu ada dunia lain selain pulau ini.
Mereka hidup seperti di dalam mimpi, di dunia mereka sendiri.
Sore hari di Hutan Fajar berlangsung sekitar tiga jam.
Pun begitu, suasananya tidak terlalu gelap.
Sebab para spirit yang bersembunyi di dalam tanah satu per satu keluar pada waktu ini, menyalakan terang lembut di seluruh pulau.
Para Peri Fajar menoleh, melihat roh-roh berwarna-warni itu berkedip seperti kunang-kunang, sehingga mereka tidak pernah khawatir tersesat di pulau ini.
Peri Fajar tidak pernah bermimpi.
Karena hidup mereka sendiri sudah seperti mimpi.
“Indah…”
Putri kedua suku Fajar, Marilyn, selalu naik ke puncak gunung tertinggi di sisi timur Dream Island setiap matahari terbit.
Dari sinilah ia bisa melihat samar-samar sesuatu yang disebut ‘laut’, hamparan air luas di bawah sana yang hanya ia dengar dari legenda.
Dunia yang seluruhnya tertutup air?
Hanya membayangkannya saja terasa menakjubkan.
Ketika para Peri Fajar lain merasa cukup dengan hidup yang damai dan sederhana setiap hari, Marilyn tidak pernah merasakan kebahagiaan dari hidup seperti itu.
Satu-satunya hal yang memberi ketenangan di dadanya adalah… laut itu.
Melihatnya saja sudah membuatnya merasa hidup.
Setelah menatap laut lama sekali, tanpa sadar matahari terbit.
Dan saat itu tiba, seluruh dunia berubah menjadi biru.
Langit biru.
Dunia air di kejauhan juga biru.
Di dunia yang terus-terusan dipenuhi warna ungu, Marilyn sangat mencintai warna biru.
Ia tenggelam menikmati pemandangan itu, sampai
“…!”
Angin tiba-tiba mengguncang.
Marilyn buru-buru bersembunyi di bawah pohon, dan pohon itu bergerak sendiri, merentangkan dahannya untuk menutupi tubuh sang putri.
Hewan-hewan kecil berlarian masuk ke dalam tanah, burung dan spirit yang terbang pun menghilang dari langit.
Hwiiing…!!
Sesuatu melesat dari bawah pulau.
Kemudian melayang melintasi Dream Island.
‘Iblis Angin!’
Makhluk-makhluk itu mulai muncul entah sejak kapan. Mereka datang bersama angin.
Secara penampilan, mereka agak mirip seperti para Peri Fajar, kulit terang, sepuluh jari, kaki seperti manusia.
Namun ada yang berbeda: telinga mereka bulat, mata dan rambut mereka cokelat.
Dan yang paling mengerikan adalah alat berbentuk sayap di punggung mereka, terbuat dari kayu dan kertas, sebuah mesin yang membuat mereka bisa terbang di langit.
Alat berbahaya yang bisa mengendalikan angin.
Makhluk yang lahir dari alam… berani-beraninya menundukkan alam.
Bagi para Peri Fajar, keberadaan mesin seperti itu adalah sesuatu yang mengerikan, tapi para Iblis Angin terlalu kuat untuk mereka lawan.
‘Tunggu… arah itu…!’
Marilyn terperanjat.
Bukankah itu arah tempat sukunya tinggal?
‘Tidak mungkin… hanya kebetulan?’
Rumah para Peri Fajar dilindungi oleh alam, menyamar seperti pohon biasa, sungai, atau batu.
Secara alami mereka terlindungi dari penglihatan para Iblis Angin.
Namun sekarang…
Iblis-Iblis Angin itu melaju seakan tahu persis ke mana mereka harus pergi.
‘Aku harus memberi tahu suku!’
Marilyn menempelkan tangannya pada batang pohon.
Semua pohon di Dream Island terhubung oleh satu akar besar.
Melalui jalur itu, para peri bisa berkomunikasi dari mana saja.
Lima tahun sudah Iblis Angin menyerbu Dream Island…
Namun para peri belum menemukan cara untuk menghadapi bencana itu.
***
Malam datang.
Hanya berlangsung tiga jam, tetapi merupakan waktu di mana energi paling melimpah, waktu yang sempurna untuk upacara.
Seluruh Peri Fajar berkumpul di Twilight Tree, pohon raksasa yang menjulang ke langit. Mereka berlutut, berdoa.
Twilight Tree…
Konon, para Peri Fajar pertama lahir dari bunga-bunganya.
Setiap kali terjadi bahaya, pohon ini selalu memberi jawaban.
Namun dalam tiga ratus tahun terakhir, Twilight Tree tidak lagi merespons.
Apa energinya habis?
Apa ia lelah?
Atau karena permohonan para peri selama ini terlalu banyak hingga pohon itu berhenti mendengar?
Tak ada yang tahu.
Yang jelas, ini satu-satunya hal yang bisa Peri Fajar lakukan.
Iblis Angin terlalu kuat, mereka hanya bisa berharap.
‘…Terlalu banyak peri yang mati.’
Memimpin upacara adalah Marilyn, sang putri kedua, yang menari ringan di dekat pohon.
Sudah tiga tahun sejak putri pertama, Arilyn, mengasingkan diri.
Sejak saat itu, Marilyn lah yang mengurus seluruh suku Fajar.
Eueuk…
Heuk…
Tangisan pecah di beberapa sisi upacara.
Meski Marilyn sudah memperingatkan serangan Iblis Angin, banyak peri keburu terbunuh sebelum sempat bersembunyi.
Bagaimana para iblis itu bisa menemukan rumah-rumah mereka?
Pertanyaan itu terus memenuhi pikiran Marilyn.
‘Tolong… Ibu… bimbing kami…’
Upacara tiga jam itu mencapai puncaknya, musik para peri memenuhi ruang di sekitar Twilight Tree.
Tiba-tiba, dari altar yang dipersembahkan untuk pohon itu, cahaya biru meledak.
Sesuatu muncul.
“…!”
Segera saja seluruh kerumunan terdiam.
Sesuatu atau seseorang dengan rambut hitam dan mata hitam berdiri di sana.
Marilyn mundur dengan wajah pucat.
“Ah… iblis…!”
Telinganya bulat, ciri khas para iblis.
Namun saat ia melihat bagian dada lelaki itu, matanya membesar.
“…Silver spirit flower…?”
Lelaki bermata hitam itu juga menatap ke atas, sebenarnya bukan ke dirinya sendiri, melainkan ke udara, seakan melihat sesuatu:
[2…1…0]
[Perjalanan selesai.]
[Anda menjadi pengembara di Dream Island…]
[…Koreksi.]
[Anda menjadi pemandu spirit Dream Island.]
***
Belum pernah seumur hidup aku dijamu makanan penduduk lokal di dunia lain.
“Ini makanan spesial Peri Fajar kami, ‘Tujuh Madu Bayahm.’”
Telinga runcing.
Mata dan rambut ungu.
Seberapa pun aku lihat, makhluk-makhluk di sini terlalu cantik dan terlalu tampan. Sepertinya ini memang dunia para peri.
Dan hanya karena aku membawa Sipver Spirit flower dan muncul tepat di saat yang dramatis, aku diperlakukan bak tamu agung.
Apa ini keberuntungan?
Atau…
‘Kamu ngelakuin sesuatu?’
< Tidak mungkin. Aku nggak punya kemampuan buat ikut campur ke dalam alur dunia. >
Yah, benar juga.
Kalau dia bisa ikut campur, dia pasti udah lama ngebunuh para Protagonis tanpa perlu menyuruhku.
< Hanya saja… kali ini, sedikit-sedikit, aku merasa dunia ini punya “awal yang bagus”. >
“Begitu, ya.”
Selama ini aku selalu memilih dunia berdasarkan rekomendasi Clien, tapi aku nggak pernah tahu apa yang dimaksud dengan dunia yang “awal yang bagus.”
Kupikir semua dunia juga sama saja.
“Kalau saja setiap kali bisa begini, ya…”
< …Itu nggak mungkin. Ini bisa terjadi karena aku merasakan ‘koneksi yang kuat ke dalam alur cerita.’ >
Koneksi ke alur cerita itu… pasti karena Silver spirit flower(bungah roh perak) yang kupeluk sejak awal.
Lihat saja para peri ini, entah mereka menyebut dirinya Peri Fajar atau Peri Pagi, sejak tadi mata mereka terus terpaku pada pot bunga yang kutaruh di meja.
“Bagaimana? Sudah mendingan?”
“Ada yang kau butuhkan lagi?”
Ternyata bunga ini ngiler ngeliatin anggur peri di atas meja.
“Kau itu masih bocah buat minum-minum begitu.”
Dia sudah mulai bicara ngaco.
Pertanda dia sudah semakin pulih.
Lingkungan ini memang cocok banget untuknya.
Aku juga sempat meminta para peri, “Tolong bawakan tanah terbaik untuk spirit.”
Dan mereka benar-benar membawakanku tanah terbaik yang mereka punya.
Datang ke dunia ini memang pilihan yang tepat.
Tapi…
“…Ini makanannya, ya?”
Di meja ada satu mangkuk besar berisi semacam sup sangat encer.
Benar, ini memang makanan spesial.
“Betul! Ini hidangan spesial Peri Fajar, 'Tujuh Madu Bayahm!’
Setetes madu yang menetes dari batu Ashil setahun sekali, madu hijau dari Kupu-kupu Santatrom, lalu satu sendok madu Melon Kama...”
“Oke, oke. Diam dulu. Aku makan.”
“Baik!”
Begitu peri laki-laki itu berhenti ngoceh, aku mencicipi madunya.
Dan mengejutkannya… rasanya enak.
“Kalian selalu makan begini?”
“Tentu saja! Kami tidak pernah memakan makhluk hidup. Dibandingkan dengan para iblis, betapa biadabnya mereka! Mereka memotong hewan pakai pisau… membakarnya dengan kayu… lalu memakannya… Hiii, membayangkannya saja ngeri.”
“…”
“Ada yang salah?”
“…Nggak, cuma… aku sedang mengalami dilema etis.”
Para peri bilang mereka nggak akan pernah menyakiti alam.
Artinya, makan sayur pun tidak.
Makanan mereka cuma… madu.
Entah bagaimana, madu mereka mengandung semua nutrisi penting.
Walaupun bukan makanan mewah, ini cukup bagus buat jadi ransum tempur.
Setelah aku makan secukupnya, si peri pamit pergi.
Madu itu cukup mengenyangkan, jadi begitu mangkuk kosong, aku bangkit dan menuju jendela.
Saat kutekan sekat kayunya, jendela itu membuka sendiri.
Pelan… hidup… seperti merasa ditarik angin.
Dan barulah aku sadar.
Semua bangunan yang kukira terbuat dari kayu ternyata… pohon hidup.
Bukan ukiran.
Benar-benar pohon yang dibentuk menjadi rumah.
“Gila… gimana bisa?”
Pohon-pohon yang berubah bentuk sendiri, menata diri sendiri…
Saat menatap desa di luar jendela, aku merasa seolah mau jatuh cinta.
Seperti mimpi.
Dunia ini terlalu indah.
Tidak ada yang bisa menandinginya, bahkan bumi sekalipun.
Dunia ungu yang membentang sejauh langit.
Gerombolan cahaya merah muda melayang seperti bordiran sutra.
Pemandangan yang nggak mungkin ada di Bumi.
Para Peri Fajar terbang bebas di udara, meluncur di antara pepohonan yang membentuk semacam “jalan raya” bagi mereka.
Sementara aku?
Untuk bergerak, aku butuh bantuan baju tempur dan kemampuan tubuhku yang lentur.
Tok tok!
“Bolehkah aku masuk?”
“Masuk saja.”
Begitu kujawab, pintu terbuka dan seorang perempuan berambut ungu yang diikat ekor kuda masuk.
Putri kedua, Marilyn.
Peri yang menuntunku saat pertama kali tiba.
Ia tampak ragu sejenak, lalu berkata,
“Tuan Pemandu… Anda tahu kan kenapa kami memanggil Anda?”
Aku tidak tahu.
“Aku tahu,” jawabku sok yakin.
“Ya… Seperti yang Anda tahu, kami sedang diancam oleh ‘Iblis Angin.’ Walaupun kami sudah berkali-kali pindah rumah dan bersembunyi dengan bantuan alam, mereka selalu saja menemukan kami.”
Katanya para iblis itu memakai magic(sihir) mengerikan.
Saat suara menggelegar terdengar, dunia serasa meledak, dan banyak peri mati hanya karena benda seperti tongkat diarahkan pada mereka.
“Sihir yang mengerikan.”
Aku sendiri nggak punya gambaran.
Mati hanya karena ditunjuk pakai tongkat?
Belum pernah dengar magic macam itu.
Terbang di langit, itu lebih masuk akal.
Tapi itu pun bukan hal penting buatku.
Ini tetap “cerita.”
Dan tugasku adalah mengikuti arus takdir dan menemukan sang protagonis.
Aku sudah mengamati semua Peri Fajar.
Tidak satupun punya hashtag protagonis.
Berarti protagonisnya… para “iblis.”
“Para iblis itu, kalian tahu mereka ada di mana sekarang?”
“Ya-ya… Di utara Dream Island. Di ‘Lembah Raksasa Tidur.’ Mereka membuat perkemahan di sana.”
“Baik. Kita pergi.”
Kalau memang mereka iblis, lebih cepat dikonfirmasi lebih bagus.
Para Peri Fajar menggunakan seekor burung raksasa bernama Elang Surai Putih untuk bepergian.
Kenapa elang punya surai seperti singa? Entahlah. Ini dunia peri.
Marilyn duduk di depan, aku di belakang, dan elangnya terbang perlahan.
Waktu menunjukkan 18:30.
Harusnya sudah senja, tapi di sini tetap saja seperti waktu fajar.
Begitu kami naik ke langit malam yang remang, dunia pelan-pelan tenggelam di bawah.
Perasaannya seperti masuk ke dalam mimpi.
Air terjun jatuh dari puluhan tebing mengambang.
Di antaranya ada sulur-sulur tanaman panjang yang terjalin seperti jembatan.
Semua ini bukan karya siapa pun.
Ini panggung yang dibangun alam untuk para Peri Fajar.
Setelah lama terbang melewati tebing-tebing itu, kami melintasi aliran cahaya ungu.
“Itu Bima Sakti Roh. Hari ini malam terakhir musim ini.”
“….”
Aku tidak menjawab.
Atau lebih tepatnya, tidak bisa.
Elang itu terbang sangat pelan, menghindari suara.
Agar para iblis tidak menyadari keberadaan kami.
Marilyn terlihat gelisah.
Keringat dinginnya menetes.
Wajar saja.
Dia sedang menuju sarang iblis yang telah menghancurkan semua rumah mereka.
Aku nggak tahu seberapa kuat para iblis itu, tapi kabur pasti bisa.
Beberapa jam kemudian, akhirnya kami melihat jejak perkemahan iblis.
Asap naik dari kejauhan.
Para peri tidak menggunakan api.
“…Api.”
Dan tiba-tiba, aku merasakan firasat buruk.
Begitu sampai, firasat itu tepat sasaran.
Rambut cokelat.
Mata cokelat.
Mirip peri, tapi dengan telinga bulat.
Identitas para iblis itu sangat jelas.
“…Manusia?”
Benar.
Ternyata magic mengerikan yang dimaksud para peri… adalah sains.
Siapa pun sebenarnya bisa menebak, tapi aku sama sekali tak terpikir ke sana.
Genre dunia ini bukan “manusia diserang,” tapi “manusia menyerang.”
“Hm…”
Di perkemahan itu ada glider kayu-kertas, meriam mesiu, dan senapan-senapan tua.
Setelah kuperiksa satu-satu, aku tersenyum tipis.
Senjata mereka… jauh lebih kuno dibanding peralatanku.
“Kayaknya… ini bakal lebih mudah dari yang kukira.”
0 komentar:
Posting Komentar