Chapter 12.1: Upacara Pewarisan Darah (2)

 

Malam itu, Dezra dan Gargith menerobos masuk ke kamar Eugene sambil melontarkan sebuah tuntutan.

“Kita harus menggabungkan kekuatan.”

Padahal Eugene baru saja berbaring di ranjang. Setelah mandi dan berganti ke piyama tebal nan nyaman, ia hendak tidur dengan perasaan puas karena telah memanfaatkan harinya sepenuhnya.

“Kalian mengganggu orang yang sudah siap tidur, cuma buat ngomong itu?” Eugene menanggapi tanpa bangun dari tempat tidur.

“Aku ingin mendengar pendapatmu soal ini,” ucap Gargith dengan keras kepala.

Dezra, yang berdiri di sebelahnya, menampilkan wajah penuh ketidakpuasan. Meski kini ia sudah mengakui kemampuan Eugene, ejekan yang dilontarkan setelah dirinya tak mampu mendaratkan satu serangan pun saat sparing masih terngiang jelas di telinganya.

“Dan bagaimana tepatnya kita harus menggabungkan kekuatan? Kalian juga ada di sana saat Patriark menjelaskan bagaimana Upacara Pewarisan Darah tahun ini akan dilaksanakan. Ingat, kan? Tahun ini kita harus memasuki sebuah labirin lewat pintu masuk yang berbeda dan mencoba menerobos sampai ke pusatnya.”

“Tapi bukankah tujuan kita tetap sama? Pusat labirin dan bos monster jahat itu.”

Seorang pria besar seperti Gargith benar-benar mengucapkan kata ‘bos monster jahat’? Eugene menahan tawa dalam hatinya.

“Bos monster itu pasti sangat kuat,” Gargith melanjutkan argumennya.

“Mungkin saja,” Eugene menanggapi setengah hati.

“Patriark dan Kepala Red Tower bilang di dalam labirin akan ada banyak jebakan dan monster. Tapi, kalau kita bertiga bekerja sama, kita pasti bisa menembus sampai ke pusatnya.”

“Itu baru bisa dipastikan setelah dicoba,” Eugene memperingatkan.

“Aku tidak pernah kalah dari monster mana pun,” Gargith membusungkan dada dengan bangga. “Lagi pula, katanya monster-monster dalam labirin itu bukan nyata, melainkan ilusi magic. Jadi sebenarnya tidak ada yang perlu ditakuti.”

“Kalau begitu, kenapa repot-repot menggabungkan kekuatan untuk memburu bos monster?”

“Untuk berjaga-jaga. Bukankah mereka bilang meski hanya ilusi, serangan tetap terasa sakit?”

“Tapi barusan kamu bilang kamu tidak pernah kalah dari monster.”

“Supaya layak disebut bos monster, tentu ia harus kuat,” jawab Gargith dengan wajah penuh percaya diri. “Karena itu, kita perlu menyatukan kekuatan. Lagipula, si kembar dari garis langsung juga akan bekerja sama. Jadi kita juga sebaiknya bergabung.”

“Jadi maksudmu, kita bertemu di pusat lalu melawan bos monster bersama-sama?”

“Itu benar.”

“Tapi kurasa aku bisa membunuhnya sendirian,” Eugene menyeringai.

“Menyebalkan sekali,” gumam Dezra dengan bibir mengerucut.

Sementara itu, Gargith justru mengangguk setuju dengan ucapan Eugene.

“Kalau begitu begini saja. Kalau kau mencoba melawannya tapi gagal membunuhnya, kami bisa ikut bertarung bersamamu,” usul Gargith.

“Kalau kalian tidak ada di sana?”

“Kamu tinggal kabur dan tunggu kami datang.”

“Memangnya harus sampai segitunya? Kalian berdua sudah berpasangan, kan? Jadi tinggalkan aku saja dan kalian bekerjasama,” Eugene mendesah panjang.

“Tergantung situasi, mungkin saja begitu,” kali ini Dezra yang menjawab. “Tapi, tiga orang tentu lebih kuat dari dua. Walau kau menyebalkan… kau lebih kuat dariku. Dengan bantuanmu, kita pasti bisa mengalahkan bos monster itu.”

“Kenapa kalian begitu terobsesi membunuhnya?” tanya Eugene.

“Bukankah kau ingin mengalahkan keluarga utama?” tatap Dezra tajam. “Meskipun kau sudah mengalahkan Cyan dalam duel, kalau kau juga menang darinya dalam Upacara Pewarisan Darah, Patriark pasti memberimu hadiah.”

“Dalam upacara ini, yang diikuti garis langsung maupun cabang, garis cabang tidak pernah sekalipun menang,” tambah Gargith. “Tapi kali ini, kita punya peluang. Ada Dezra, aku, dan juga kau, yang bahkan berhasil mengalahkan Cyan.”

“Kalau aku berhasil membunuh bos monster itu sendirian, bukankah tetap dihitung sebagai kemenangan garis cabang?” Eugene menimpali.

“Kalau kau benar-benar bisa melawan sendirian dan menang, aku justru akan senang sekali. Bukankah lebih mengesankan kalau seekor bos monster dikalahkan satu orang dari garis cabang ketimbang tiga orang sekaligus?” jawab Gargith sambil mengangguk mantap.

Sebelumnya Eugene sempat teringat Molon yang bodoh ketika melihat tubuh besar Gargith. Namun, setelah mendengarkan kata-katanya, Eugene sadar Gargith ternyata bisa berpikir jernih dan memiliki sisi yang cukup lapang dada.

“Baiklah, aku sudah paham. Sekarang keluar sana. Aku mau tidur,” Eugene mengibaskan tangan sambil tetap berbaring.

Dezra tampak sangat tidak puas, tapi Gargith mengangguk lalu menyeret pergelangan tangan Dezra keluar.

“Aku juga akan tidur lima jam malam ini,” seru Gargith sebelum pergi.

“Aku akan tidur enam jam,” Eugene menirukan.

Meski Gargith cukup tahu cara berpikir dan tampak lapang dada, ternyata pada akhirnya ia tetap saja seorang idiot.

“Bodoh. Kamu pikir tidur lebih sedikit darinya ada bedanya?” Dezra mencibir.

“Lalu pepatah ‘siapa cepat dia dapat’ itu untuk apa?” jawab Gargith riang.

“Jadi besok pagi kau berencana menangkap cacing?”

“Karena kau dua tahun lebih muda dariku, sepertinya kau belum paham arti pepatah itu.”

“Aku bilang keluar!” Eugene berteriak sambil melempar bantal ke arah kedua pengganggu cerewet itu.

***

Penerjemah: Idran 

***

Sepanjang malam, Ancilla dilanda kegelisahan.

Semua itu karena Upacara Pewarisan Darah. Ia semula mengira upacara tahun ini hanya akan berupa sparing antar anak-anak yang berpartisipasi, namun tiba-tiba saja diubah menjadi tantangan labirin.

Apalagi sampai mengundang Kepala mag Red Tower Aroth secara langsung?

Sang Bijak Sienna telah meninggalkan jejak mendalam di dunia magic Aroth. Sebagai keturunan dari Great Vermouth, rekan dekat Sienna, keluarga utama Lionheart selalu memiliki hubungan erat dengan para Great Mage Aroth.

Khususnya Lovellian, Kepala red tower saat ini, yang selalu mengaku sebagai pengikut setia Sang Bijak Sienna. Ia bahkan beberapa kali menghadiri acara yang diadakan keluarga utama.

'Meski tak sekalipun muncul di pesta ulang tahun anak-anakku.'

Ancilla menggigit bibir. Memang, Upacara Pewarisan Darah adalah tradisi keluarga Lionheart. Tapi seaneh-anehnya, ia merasa Lovellian tidak mungkin datang hanya demi itu.

Dalam bayangannya, ia bisa melihat senyum licik istri utama, Tanis.

'Ada kemungkinan ia datang untuk menjadikan Eward sebagai muridnya.'

Itu dugaan yang masuk akal. Sejak kecil, Eward memang lebih suka membaca buku daripada berlatih fisik. Ia punya ketertarikan khusus pada magic dan sudah lama berlatih sendiri, meski tanpa guru.

Salah satu gelar(title) yang pernah disandang Great Vermouth adalah Master-of-All. Gelar itu diberikan karena ia tak hanya unggul dalam seni bela diri, tetapi juga sangat mahir dalam magic.

Namun, setelah Vermouth, hampir tak ada lagi dari keluarga utama Lionheart yang serius mendalami magic. Alasannya sederhana: magic sangat sulit untuk dikuasai.

Persaingan untuk menjadi penerus garis langsung Lionheart dimulai sejak usia dini. Bagi mereka yang memilih fokus pada magic di usia itu, saat waktunya tiba untuk perebutan posisi Patriark, biasanya kemampuan magic mereka belum cukup untuk memberikan keunggulan.

'Eward baru berusia lima belas… meski sudah belajar magic sejak kecil… seberapa jauh sih kemampuannya lewat belajar otodidak?'

Apakah kemampuannya bisa melonjak drastis hanya karena Kepala Red Tower datang untuk mengambilnya sebagai murid? Ancilla menempelkan tangannya ke pipi, menahan senyum geli.

Kenyataannya, mereka mungkin sudah menyerah menjadikannya Patriark. Kalau Eward benar-benar jadi murid Kepala Red Tower, ia tak punya pilihan selain meninggalkan kediaman keluarga. Sementara itu, Cyan dan Ciel akan mendapat kesempatan tumbuh, dan…

Ketika tubuh jauh, hati pun ikut menjauh. Jika Eward pergi ke Aroth, Ancilla yakin ia bisa sepenuhnya menguasai kediaman keluarga.

0 komentar:

Posting Komentar

My Instagram