Chapter 12.2: Upacara Pewarisan Darah (2)

 

Jika dilihat secara objektif, bakat Cyan dan Ciel sebenarnya tidaklah buruk. Faktanya, mereka sangatlah hebat. Cukup hebat untuk bisa menyandang nama besar Lionheart.

‘...Masalahnya adalah, Upacara Pewarisan Darah tahun ini….’

Ancilla tidak yakin apakah ia harus merasa puas atau justru tidak puas dengan isi upacara kali ini. Meminta mereka menjelajahi sebuah labirin setelah masuk lewat pintu terpisah? Itu berarti Cyan dan Ciel tidak akan bisa saling membantu…

‘Kalau hanya sekadar duel sederhana… Entah Cyan atau Ciel, salah satu dari mereka pasti akan menang….’

Meskipun begitu, ia sudah tidak bisa lagi sesantai itu. Eugene, dari garis cabang, telah sepenuhnya mengalahkan Cyan dalam duel. Fakta itu membuat keadaan menjadi rumit bagi Ancilla. Namun, di dalam sebuah labirin penuh variabel… hasil duel itu mungkin tidak akan mudah terulang begitu saja.

Haruskah ia merasa puas dengan hal itu? Atau justru merasa kesal karena upacara kali ini mengikis keunggulan keluarga utama dan menempatkan semua peserta pada level yang sama sejak awal?

‘...Dan aku sama sekali tidak boleh ketahuan ikut campur dalam Upacara Pewarisan Darah.’

Setelah memikirkan masalah ini sepanjang malam, Ancilla menghela napas panjang. Ia sempat terpikir untuk diam-diam membujuk suaminya agar memberi keuntungan pada anak-anaknya, tapi ia tahu benar kalau suaminya adalah orang yang sangat tegas terhadap harapan pada anak-anaknya. Memaksa secara gegabah hanya akan membuatnya mendapat tatapan kecewa dari suaminya.

Ancilla menoleh ke arah jendela dan bergumam, “...Aku harus memberi mereka keuntungan, tapi apa….”

Hanya tersisa beberapa hari lagi sebelum upacara dimulai. Dalam waktu itu, para peserta harus menjejalkan segala informasi yang mungkin berguna di dalam labirin. Karena itu, bukannya berlatih bersama Hazard, Cyan dan Ciel memilih untuk mengubek-ubek buku-buku tentang labirin yang bisa mereka temukan di ibukota.

Walaupun ia pernah menampar Cyan karena marah, Ancilla sebenarnya benar-benar mencintai anak-anaknya. Karena itu, ia tidak bisa membiarkan mereka hidup seumur hidup dengan label sebagai anak dari seorang selir. Setelah semua pengorbanan yang sudah ia lakukan untuk sampai sejauh ini…

‘Segala hinaan dan aib yang kutanggung selama ini hanya membawaku semakin dekat pada posisi yang kuinginkan.’

Cyan dan Ciel masih muda. Kembar itu bisa bersikap begitu semaunya di kediaman utama hanya karena Ancilla selalu menahan diri dari segala hinaan, tetap tegak berdiri sebagai Nyonya Kedua dari garis utama Lionheart, dan melindungi anak-anaknya dari balik status itu.

Itulah sebabnya kekalahan putranya begitu menyakitkan. Dikalahkan oleh keturunan garis cabang, padahal ia mewarisi darah murni sebagai bagian dari garis utama…

‘...Tapi tetap saja, lebih baik…,’ Ancilla kembali menghela napas, wajahnya menunjukkan ekspresi rumit. ‘Kalau anak bernama Eugene itu yang pertama menembus labirin.’

Jika itu terjadi, akan tercipta kebuntuan yang tak terduga. Seluruh keluarga utama akan dipaksa menanggung aib, dan kini rasa malu karena kalah dari Eugene tidak lagi hanya dipikul oleh Cyan dan dirinya. Patriark, Gilead, bahkan Istri Pertama, Tanis, juga akan ikut menanggung rasa malu itu.

Di sisi lain, keberhasilan Eugene menembus labirin justru bisa mengurangi dampak kekalahannya atas Cyan. Itu tak lagi berarti bahwa Cyan kurang berbakat, melainkan garis cabang, Eugene memang mencurigakan karena terlalu luar biasa.

‘...Meskipun hasil terbaiknya tentu saja kalau Cyan dan Ciel yang berhasil menembus labirin.’

Ancilla menghela napas lagi dan bangkit dari kursinya.

‘Kalau mereka gagal… lebih baik Eugene yang berhasil menembus labirin, daripada Eward atau anak lain mana pun.’

Tentu saja, itu hanya sekadar pemikiran. Ancilla sama sekali tidak berniat benar-benar mendukung Eugene. Ia hanya sedang menghitung-hitung hasil yang paling menguntungkan bagi dirinya dan anak-anaknya.

***

Penerjemah: Idran 

***

Empat hari kemudian, anak-anak yang tinggal di paviliun menerima pesan dari keluarga utama. Persiapan untuk memanggil labirin ke dalam hutan akhirnya selesai, dan pesan itu mengumumkan bahwa Upacara Pewarisan Darah akan dimulai hari ini, serta secara resmi meminta mereka hadir di lokasi awal.

Menurut pesan itu, mereka diizinkan mengenakan pakaian kasual, tapi barang pribadi lain dilarang keras. Bagaimana dengan senjata mereka? Sebagian besar anak merasa khawatir, namun tetap menuruti perintah dan mengikuti para ksatria menuju hutan.

“Aku yang akan menyiapkan senjatanya untuk kalian,” jelas Lovellian begitu mereka tiba.

Baik Lovellian maupun Gilead sudah menunggu mereka di dalam hutan. Di belakang keduanya berdiri pintu masuk sebuah gua besar yang terlihat mencurigakan dan jelas buatan jika diperhatikan lebih dekat.

“Sebutkan saja senjata apa yang kalian butuhkan. Walaupun senjata itu tidak akan bertahan seharian penuh, ingatlah, anak-anak, kalian akan melawan ilusi, bukan musuh sungguhan. Selama bentuk senjata kalian tetap terjaga, kalian seharusnya bisa bertarung dengan baik, bukan begitu?” kata Lovellian dengan senyum ramah.

Eugene paling benci dipanggil dengan sebutan ‘anak-anak’. Bukankah itu sama saja dengan memperlakukannya seperti bocah? Namun, karena tubuhnya memang masih anak-anak, ia tidak bisa menunjukkan ketidaksenangannya secara terang-terangan.

“Apa hanya ada satu pilihan senjata?” tanya Ciel dengan senyum cerah.

“Tidak sama sekali. Aku bisa menyiapkan senjata apa pun yang kau inginkan,” jawab Lovellian.

“Bagaimana caranya?”

Dengan tersenyum melihat rasa ingin tahu Ciel yang polos, Lovellian mengangkat kedua tangannya.

“Seperti ini,” katanya.

Whoosh!

Gumpalan tanah naik dari tanah dan berkumpul di telapak tangannya. Dalam hitungan detik, tanah itu membentuk sebilah pedang panjang.

“Wah!” seru semua anak serempak.

Ciel menangkap pedang itu dengan kedua tangan. Beratnya pas, dan genggamannya terasa nyaman. Penasaran akan kualitasnya, Ciel mencoba mengayunkannya beberapa kali.

“Bagaimana kalau pedangnya patah?” tanyanya.

“Haha. Nona kecil, kau tidak perlu khawatir. Laki-laki di depanmu ini adalah Great mage. Labirin itu dipanggil dengan magicku, dan pedang yang kau pegang itu tidak akan pernah patah selama kau berada di dalam labirin.”

“Selain pedang, apa kau bisa membuat hewan juga?”

“Aku bisa membuat boneka, bahkan golem juga bisa… tapi aku tidak bisa membuat sesuatu yang benar-benar hidup.”

“Kalau begitu, bolehkah aku masuk ke labirin dengan golem buatanmu?”

“Itu ide yang cukup licik.”

Lovellian tertawa lepas lalu menoleh pada Gilead. Gilead, yang tersenyum melihat permintaan putrinya, perlahan menggelengkan kepala.

“Kami tidak bisa mengizinkannya. Bukankah itu berarti yang bertarung adalah golem, bukan kau?”

“Kalau begitu, lain kali tolong buatkan aku boneka,” pinta Ciel dengan senyum lebar.

Mata Eward berkilat terang saat melihat cahaya di tangan Lovellian.

“Mengapa tidak bisa menciptakan sesuatu yang hidup?” tanyanya tiba-tiba.

Lovellian menoleh pada Eward yang bertanya dengan penuh rasa kagum.

“Itu karena hal tersebut adalah tabu dalam magic,” jelas Lovellian.

“Tabu?”

“Selain karena sulit, tidak ada kebaikan yang lahir dari menciptakan kehidupan buatan. Memberi kelahiran pada makhluk hidup adalah mukjizat indah dari 'keberadaan', bukan sesuatu yang bisa ditiru dengan mudah.”

“Ah…” Eward mengangguk-angguk, seolah mengerti maksud Lovellian.

“Tuan, aku tidak mau yang ini. Bisa buatkan pedang yang lebih panjang dan lebih tipis?” potong Ciel dengan cepat.

“Sekarang, tunggu sebentar. Walaupun aku bisa membuatkan senjata untuk kalian semua, akan menyulitkanku jika harus mengubah-ubah pedang sedikit demi sedikit sesuai dengan bayanganmu, nona muda.”

Lovellian mengangkat tangannya, lalu seberkas cahaya terang melesat ke arah Ciel.

“Jadi, nona muda, bagaimana kalau kau membentuknya sendiri? Begitu juga dengan kalian semua. Tidak sulit. Aku yang menyalurkan magicnya, kalian hanya perlu membayangkan jelas-jelas jenis senjata yang kalian inginkan, lalu sentuh cahaya itu.”

Seketika, cahaya terang melesat dan terhubung pada sembilan anak. Jari-jari Eward bergetar saat ia menyentuh cahaya itu dengan mata berbinar penuh ekstasi.

“Whoah…!” seru Gargith.

Ia membayangkan greatsword yang biasa ia gunakan di rumah. Hebatnya, semua detailnya sama persis dengan yang ia ingat; bahkan bobotnya pun terasa identik. Sambil menaruh pedang di bahunya, ia terus mengeluarkan seruan kagum.

Dezra menciptakan tombak yang identik dengan yang sering ia pakai saat latihan. Ia merasakan pegangan tombak itu, lalu menusukkannya ke udara beberapa kali sebelum menggantungnya di punggung dengan wajah puas.

Ciel dan Cyan sama-sama menciptakan pedang. Pedang Ciel panjang dan ramping, sementara pedang Cyan sama panjangnya, tetapi lebih berat sedikit.

Eward membuat pedang biasa. Matanya yang tadinya bersinar cerah saat membentuk cahaya itu, langsung kembali redup begitu pedang sederhana terbentuk di tangannya.

Sementara itu, Eugene tidak memperhatikan para peserta gugur yang juga membuat senjata mereka. Sejak awal, mereka tidak terlihat bersemangat. Kemungkinan besar mereka akan menyerah begitu masuk ke labirin.

Eugene sendiri membuat pedang yang sesuai panjang lengannya dan sebuah perisai kecil untuk lengan kirinya.

“Mengapa tidak membuat tombak? Kau kan jago pakai tombak,” tanya Dezra ketus.

“Aku juga jago pakai pedang,” jawab Eugene percaya diri.

“Lalu kenapa pakai perisai?”

“Aku juga jago pakai perisai.”

“Kenapa tidak sekalian bilang saja kau jago pakai semuanya?” dengus Dezra.

Ciel memperhatikan percakapan mereka berdua, lalu mendekati Eugene.

“Kalau kita bertemu di labirin, apa yang akan kau lakukan?”

“Apa maksudmu, ‘apa yang akan kulakukan’?”

“Kau akan melawanku?”

“Kita boleh bertarung?” Eugene menoleh pada Gilead.

“Tidak ada yang melarang. Tujuan upacara ini memang kompetisi,” jawab Gilead sambil tersenyum tipis.

Mendengar itu, Ciel menggembungkan pipinya. “Tapi kita tidak harus bertarung, kan?”

Gilead mengangguk. “Benar. Lebih daripada sekadar persaingan, dalam upacara kali ini aku ingin melihat kemampuan kalian membuat keputusan tepat sesuai situasi, serta jiwa kerja sama. Bagaimanapun, kita semua adalah keluarga yang berbagi nama Lionheart.”

“Katanya kita keluarga,” ucap Ciel sambil kembali menoleh pada Eugene dengan senyum kecil. “Kapan ulang tahunmu?”

“September.”

“Aku bulan April. Berarti aku kakakmu.”

“Omong...” kosong ingin ia lontarkan, tapi Eugene buru-buru menahan diri karena ingat ayah Ciel, Gilead, masih ada di sana.

“...Lidahmu benar-benar licik,” keluh Eugene.

“Apa maksudmu?” tanya Ciel polos.

“Tidak ada,” jawab Eugene sambil berdehem dan memalingkan wajah.

0 komentar:

Posting Komentar

My Instagram