“Pergilah ke paviliun dan istirahatlah,” ucap Gilead, mengalihkan tatapan dinginnya dari anak di depannya.
Hansen jadi yang pertama menyerah. Begitu aturan memperbolehkan, dia langsung menepuk kalungnya sebagai tanda mundur. Sejak awal dia memang sudah merasa nggak punya peluang dalam kompetisi ini, jadi buat apa buang-buang tenaga. Orang tuanya pun tak berharap lebih, mereka tahu Hansen nggak bakal memilih jalan lain.
“Y-ya.”
Dengan ragu Hansen sempat menunggu reaksi Patriark atas penyerahannya, tapi begitu Gilead merespons singkat, dia buru-buru menundukkan kepala dan keluar.
Tak lama setelah Hansen pergi, suara panggilan minta tolong terdengar lagi. Kali ini dari Juris, bocah sepuluh tahun. Setidaknya dia sempat masuk ke labirin, itu saja sudah lebih baik daripada Hansen. Tapi begitu menjumpai jebakan pertama, dia langsung kena panah dan menjerit-jerit minta diselamatkan sambil berlinangan air mata.
Tak berapa lama, panggilan minta tolong lain terdengar. Deacon, bocah sebelas tahun. Dia memang berhasil bertahan setelah kena panah, tapi kemudian dikalahkan slime yang menghadangnya. Monster lendir itu memang susah dilawan kalau hanya mengandalkan senjata tajam. Deacon akhirnya terseret masuk tubuh slime yang seperti jeli, lalu berteriak-teriak histeris minta pertolongan.
Belum genap satu jam, jumlah peserta yang tadinya sembilan sudah menyusut jadi enam. Keliatan memalukan sih, tapi memang begitulah yang diperkirakan semua orang. Tak ada yang berharap besar dari tiga anak yang gugur itu.
‘Kalau Gargith… dia ceroboh, tapi setidaknya nggak pernah berhenti maju,’ Gilead menilai dalam hati.
Lovellian menampilkan bayangan interior labirin di udara, terbagi jadi enam layar untuk memperlihatkan tiap peserta. Gargith tampak nekat menabrak semua jebakan ketimbang menghindarinya. Entah kena panah atau berhadapan dengan monster, dia selalu menerjang dengan ayunan pedang besar yang hampir seukuran tubuhnya.
Gilead lalu mengalihkan perhatian ke peserta lain.
‘Dezra… dia lincah, dan instingnya tajam.’
Begitu jebakan aktif, Dezra langsung mengubah jalur. Beberapa jebakan bahkan berhasil dia selip. Dia juga nggak selalu memaksa melawan monster. Kalau ada jalan lain, dia memilih kabur. Tombaknya baru terayun kalau dia benar-benar terpojok.
‘Cyan terlalu berhati-hati. Tapi… itu bukan hal buruk.’
Ancilla, ibu si kembar, sempat mengumpulkan catatan para petualang terkenal dan blueprint beberapa labirin untuk melatih anak-anaknya. Dari situ, mereka belajar dasar-dasar strategi menaklukkan labirin. Pengetahuan itu kini jadi modal besar untuk menerobos labirin transparan ini.
Misalnya, kalau semua sisi labirin tertutup tapi ada angin bertiup dari arah tertentu, mengikuti arah angin berarti menemukan jalan keluar. Ada juga tanda-tanda buatan lain yang menunjukkan jalur benar. Dan tanpa semua itu pun, kalau cukup cermat, jebakan bisa dihindari pada detik aktifnya.
Cyan bisa melakukan hal itu. Tapi karena terlalu hati-hati, gerakannya jadi agak kaku. Pandangannya terlalu sempit karena dia cuma mengandalkan hafalan. Akibatnya, jebakan-jebakan yang sebenarnya gampang dihindari pun masih sempat menjebaknya.
‘Ciel lebih bijak, dan pikirannya fleksibel. Tapi… dia masih kekanak-kanakan.’
Kalau ada jebakan, Ciel melempar barang, kadang bahkan sepatunya, untuk mengaktifkan jebakan lebih dulu. Setelah itu jalannya jadi aman. Kalau jalur buntu, dia putar balik. Kalau nggak, dia lanjut terus. Begitu ketemu monster, dia nggak buru-buru bertarung. Dia malah sering menggoda monster itu seakan-akan sedang bermain dengan mainan baru.
Lalu ada Eward.
“...Bagaimana dia?” tanya Gilead.
“Sepertinya dia sangat tertarik pada magic” jawab Lovellian.
Eward sama sekali tidak fokus pada tujuan utama: menembus labirin. Sebaliknya, dia memeriksa setiap jebakan satu per satu, terkagum-kagum tiap kali bertemu monster. Dia takjub bagaimana monster itu terlihat begitu nyata meskipun hanya ilusi. Dan setelah berhasil mengalahkan monster, bukannya segera lanjut, dia malah meneliti “mayatnya” dengan mata berbinar penuh rasa penasaran.
Matanya yang biasanya redup tiap kali mengayunkan pedang justru bersinar bahagia begitu bersentuhan dengan hal-hal berbau magic.
“...Dari kecil dia memang begitu. Lebih suka membaca buku daripada berlatih tubuh atau keterampilan. Apalagi kalau aku bacakan dongeng tentang magic, dia selalu paling senang. Kau tahu? Anak itu bahkan lebih menghormati Sienna Sang Bijak ketimbang leluhurnya sendiri, Great Vermouth,” kata Gilead lirih.
“Master Sienna memang sosok yang layak dihormati semua mage,” Lovellian tersenyum bangga.
“Itu juga yang dia katakan. Setiap kali mendengar Kisah Petualangan Hero Vermouth, dia lebih suka bagian tentang Sienna. Katanya, karena setiap kali party mereka dalam masalah, magic Sienna selalu memberi solusi paling mengejutkan.”
Gilead terdiam sejenak, lalu melanjutkan, “Dongeng itu juga dibacakan padaku saat kecil. Tapi jujur saja… aku sebenarnya lebih suka Hamel.”
Lovellian terbelalak. “Maksudmu Hamel Si Bodoh?”
“Kalau bukan karena dia selalu bikin masalah, cerita itu pasti membosankan. Memang, mulutnya kasar, tapi hatinya baik. Justru dia yang memberiku inspirasi untuk mengatasi rasa rendah diriku terhadap Vermouth dengan kerja keras. Karena meski semua orang setuju dengan Vermouth, hanya Hamel yang berani berdiri sendiri dengan pendapat berbeda.”
“Aku justru benci Hamel waktu kecil,” ujar Lovellian.
“Wajar. Karena Hamel, party itu beberapa kali masuk krisis. Tapi, dia selalu berusaha bertanggung jawab penuh atas masalah yang ditimbulkannya. Itu sebabnya aku tidak mungkin membencinya….”
Gilead tersenyum samar, matanya kembali menatap layar labirin.
“...Sejak kecil, Eward ingin belajar magic. Aku bahkan sampai memanggil guru magic dari ibukota untuk mengajarinya. Tapi di tengah jalan, dia berhenti dan menolak melanjutkan,” kenangnya.
“Kau tahu alasannya?” tanya Lovellian.
“Karena realita memaksanya. Demi ibunya… dia merasa harus jadi Patriark berikutnya. Dan karena magic nggak memberi keuntungan dalam perebutan suksesi, dia memilih meninggalkannya.”
Persaingan suksesi akan benar-benar dimulai saat semua anak sudah dewasa.
“...Yah, itu bisa dimengerti. Magic memang membuka banyak kemungkinan, tapi jalannya panjang dan sulit,” ucap Lovellian.
“Sejujurnya, aku akan bahagia kalau Eward memilih jalan mage,” Gilead tersenyum getir, menoleh ke Lovellian. “Dari semua keluarga cabang, hanya ada satu yang benar-benar menekuni sihir. Aku sudah beberapa kali mencoba mengarahkan Eward ke sana, tapi dia selalu menolak. Namun… kalau sampai mendapat tawaran langsung dari Kepala Red Tower, mustahil dia bisa menolak. Karena aku tahu, dalam hatinya, api kecintaan pada magic masih membara.”
“Aku nggak bisa langsung menjawab keinginanmu,” Lovellian menggeleng. “Aku nggak bisa sembarangan menerima murid. Memang karena hubunganku baik denganmu, aku bisa membawanya. Tapi kalau dia tak menunjukkan kualifikasi, aku tidak akan menerimanya.”
“Itu bukan masalah. Aku memang tak berniat memaksamu. Aku hanya ingin anak itu diberi kesempatan mengejar mimpinya.”
Gilead bicara bukan untuk suksesi Cyan atau Ciel. Dia hanya tak tahan melihat anak sulungnya membusuk perlahan, dipaksa mengerjakan sesuatu yang tidak dia cintai. Demi meyakinkan istri pertamanya, Tanis, sekaligus memberi Eward dorongan, Gilead sampai mengundang Lovellian sendiri.
“...Kalau begitu, nanti aku akan perhatikan lebih dekat kemampuan Eward. Tapi untuk saat ini, sepertinya dia sudah memutuskan untuk tidak menggunakan magic saat menembus labirin,” kata Lovellian sambil menatap layar.
“...Tapi… anak itu, Eugene… sebenarnya apa?”
Lovellian menghela napas, matanya sempat berbinar takjub beberapa kali karena Eugene. Namun kini, rasa bingung jauh lebih kuat ketimbang rasa kagum.
“...Aku juga nggak tahu,” jawab Gilead dengan tulus.
Pada layarnya, Eugene tampak sedang merobek ilusi troll menjadi serpihan.
0 komentar:
Posting Komentar