Chapter 13.1: Upacara Pewarisan Darah (3)

 

“Sebelum kalian masuk, masing-masing ambillah salah satu benda ini.”

Setelah selesai membuat senjata untuk para anak-anak, Lovellian kemudian mengeluarkan beberapa kalung dengan permata biru yang tergantung di ujungnya.

“Kalung-kalung ini akan terhubung dengan pola pikir kalian. Jika labirin ini menyebabkan kalian terlalu banyak stres, kalungnya akan bereaksi, dan aku akan tahu untuk turun tangan.”

Jadi ini adalah alat pengaman untuk keadaan darurat.

“Selain itu, kalau kalian benar-benar merasa tidak mampu mencapai pusat labirin, ucapkan ‘tolong aku’ sambil mengetuk permata pada kalungnya. Maka kalian bisa keluar dari labirin tanpa masalah.”

Hansen dan peserta lain yang sebenarnya sudah “gugur” tampak mengangguk lega mendengar penjelasan itu. Mereka hanya datang untuk memenuhi kewajiban tradisi keluarga, tanpa ambisi besar untuk menang dalam Upacara Pewarisan Darah.

“Baiklah, sekarang masuklah ke dalam labirin secara tertib.”

Setelah menyampaikan semua yang perlu dikatakan, Lovellian tersenyum lebar dan menyingkir, membiarkan pintu masuk gua terbuka.

“Meski terlihat seolah kalian masuk bersama-sama, begitu melewati pintu masuk gua, masing-masing akan dibawa ke jalur yang berbeda. Jadi jangan panik, teruslah berjalan lurus ke depan, karena awalnya hanya ada satu jalan. Setelah itu, kalau merasa tak sanggup melanjutkan, ingat untuk mengetuk permata.”

Anak-anak mulai berjalan masuk ke dalam gua. Eugene melangkah dengan mantap, membawa perisai yang sudah terikat di lengan kirinya.

Sebelum benar-benar memasuki pintu gua, Ciel yang berjalan di sampingnya tersenyum lebar dan berkata, “Semoga berhasil.”

Gargith dan Dezra menoleh sekilas ke arah Eugene.

Eugene hanya tertawa kecil melihat tatapan mereka dan menjawab Ciel, “Kau juga.”

“Oke!” Ciel mengangguk kuat-kuat pada dorongan sederhana itu.

Kesembilan anak itu masuk ke gua bersama-sama. Begitu mereka melewati satu-satunya pintu masuk, sekeliling mereka langsung lenyap, digantikan oleh kegelapan. Mungkin ada yang sempat menjerit kaget, tapi suaranya tidak terdengar oleh yang lain.

Tanpa sedikit pun panik, Eugene mengamati sekelilingnya. Ia tahu ia baru saja dipindahkan ke dalam labirin melalui magic pemanggilan, namun ia sama sekali tidak merasa tidak nyaman selama proses itu. Bisa jadi ini karena kemampuan Lovellian sebagai Great Mage yang luar biasa, atau karena tubuh Eugene yang masih muda belum cukup peka untuk merasakan kejanggalan dari magic tersebut.

‘Karena aku belum melatih mana-ku,’ Eugene menilai.

Kalau begitu, ia hanya bisa mengandalkan indera tubuhnya yang lain. Untungnya, itulah hal yang paling ia percaya diri.

Eugene menarik napas panjang dan pelan. Meski sejak awal ia tidak gugup, tubuh dan pikirannya menjadi semakin tenang. Ia lalu memusatkan perhatian pada indra satu per satu. Pertama penglihatan, lalu pendengaran, penciuman, sentuhan… dan bagaimana dengan rasa? Rasa jarang sekali berguna dalam menjelajahi labirin. Namun dengan menggigit ujung lidahnya sedikit, ia membuat rasa darah samar tertinggal di mulutnya.

Dengan cara ini, seluruh indranya menjadi lebih tajam. Selain itu, melalui pernapasan panjang dan teratur, ia juga meningkatkan kesadarannya terhadap lingkungan. Kepekaan naluri yang muncul dari proses ini bahkan bisa disebut sebagai indra keenam.

Metode meningkatkan kewaspadaan ini berasal dari pengalaman hidup Hamel si Bodoh.

Menjelajahi labirin? Ia sudah begitu sering melakukannya di kehidupan sebelumnya sampai hampir bosan. Sebagian besar monster yang bisa menggali tanah pasti menjadikan sarang mereka berbentuk labirin. Kalau semut saja bisa membuat sarang seperti itu, goblin dan makhluk sejenisnya jelas mampu melakukan hal yang sama.

Belum lagi para demon. Saat ini, Devildom Helmuth disebut-sebut bisa dijelajahi layaknya tujuan wisata, asalkan kau punya cukup uang. Namun Helmuth yang pernah dilalui Hamel dulu adalah neraka tanpa akhir, tempat yang seharusnya tak mungkin ada di dunia.

Berapa kali ia nyaris mati di sana? Sebagian besar keahliannya yang dulu ia banggakan terbukti sia-sia di Helmuth. Bahkan Molon yang bodoh pun kehilangan kebiasaan nekatnya. Sienna, sang Great mage, tak lagi percaya sepenuhnya pada magicnya sendiri. Anise, yang selalu berkata Tuhan akan melindunginya, justru lebih sering bergantung pada teman-temannya ketimbang Tuhannya.

Hanya Vermouth yang tetap tidak tergoyahkan.

“...”

Eugene tersenyum getir. Vermouth sang Hero dan para rekannya… begitulah sebutannya yang tepat. Vermouth selalu menjadi pusat dari kelompok itu. Tanpa dirinya, Hamel, Molon, Sienna, maupun Anise takkan pernah bisa menembus Helmuth. Saat pertama masuk ke sana, mereka masih muda dan belum berpengalaman.

Namun manusia tumbuh melalui penderitaan. Lambat laun, mereka semua berkembang pesat. Meskipun tidak sampai setingkat Vermouth, mereka sempat yakin bahwa diri merekalah yang terhebat di dunia. Itu membuat mereka bisa meledak dalam pertumbuhan saat menghadapi tantangan.

Pada titik tertentu, meski masih di Helmuth, mereka mulai kembali ke kebiasaan lama. Molon kembali menerjang ke depan, Sienna kembali percaya pada sihirnya, dan Anise memulihkan imannya pada Tuhan.

Sedangkan Hamel… ia membenci kenyataan bahwa dirinya lebih lemah dari Vermouth. Ia benci tubuhnya yang gemetar karena takut. Ia mulai curiga dirinya takkan pernah bisa menyamai Vermouth. Maka ia memaksa diri untuk berlatih lebih keras. Kalau tak bisa jadi Vermouth, maka ia harus kuat dengan caranya sendiri.

Vermouth tak pernah merasa takut.

Sedangkan Hamel merasakan takut, maka ia harus terbiasa dan menaklukkannya.

Vermouth bisa menyelesaikan apa pun dengan mudah.

Hamel tidak pernah mendapat kemudahan. Bahkan jika awalnya terasa mudah, suatu hari ia pasti akan menemui tembok. Maka ia harus menghancurkan tembok itu agar bisa maju.

Itu juga berlaku pada labirin.

Bahkan saat pertama kali menghadapi labirin, Vermouth tidak panik, dan pada akhirnya ia bisa menemukan jalan. Namun bagaimanapun juga, ia tetap manusia, jadi ia tidak selalu memilih jalan yang benar.

Setiap kali Vermouth membuat kesalahan lalu menemukan jalan yang tepat lagi, Hamel selalu menganalisis: apa yang membuat Vermouth memilih jalur itu? Kesalahan apa yang terjadi? Karena Hamel tidak memiliki naluri bawaan seperti Vermouth, ia menutupi kekurangannya dengan cara itu.

Dan semua pengalaman itu kini tersimpan dalam kepala Eugene.

Eugene menganalisis labirin ini,

‘Labirin ini dibuat agar anak-anak bisa menaklukkannya. Sama sekali tidak didesain untuk membunuh. Kalau begitu… pasti sangat sederhana untuk dilalui.’

Meski suasananya gelap, Eugene tidak berhenti melangkah. Seperti yang Lovellian katakan, hanya ada satu jalur di awal. Setelah menempuh jarak tertentu, kegelapan mulai surut.

Tidak lama kemudian, ia bisa melihat dinding di kedua sisi. Jaraknya cukup lebar untuk mengayunkan senjata, tapi kalau menggunakan tombak, posisi harus selalu diperhatikan.

Itulah alasan Eugene tidak memilih tombak, melainkan pedang dan perisai. Meskipun sederhana, kombinasi itu bisa digunakan untuk menghadapi hampir semua situasi.

‘Langit-langitnya tertutup,’ Eugene melirik ke atas.

Artinya ia tidak bisa menggunakan jalan pintas dengan memanjat dinding.

Eugene lalu memusatkan perhatian pada indra penciumannya. Dengan rasa darah yang masih tertinggal di mulut, ia bisa menjadikannya latar, lalu mendeteksi bau asing yang berbeda dari itu.

Dengan begitu, ia mencium aroma minyak samar. Kalau saja ia bisa mengendalikan mana, ia pasti bisa merasakannya lebih jelas. Meski sedikit menyesal, Eugene tetap melangkah maju.

Tidak lama, ia menemukan persimpangan jalan. Kedua jalur tampak sama, tapi aroma minyak datang dari jalur kiri. Meski hanya ilusi magic, tetap tercium bau minyak. Artinya memang sengaja dibuat mudah untuk dikenali.

Namun Eugene tetap memilih jalur kiri. Ia ingin memastikan penilaiannya benar. Sambil berpura-pura tidak menyadari apa pun, ia menajamkan perhatian pada sensasi dari telapak kakinya setiap kali melangkah.

Langkah pertama, kedua, ketiga, keempat… hingga langkah ketujuh. Begitu ia menapakkan kaki, tanah terasa sedikit ambles. Lalu hitungan lagi: satu, dua,

‘Tiga.’

Thrum!

Anak panah meluncur keluar dari celah di dinding. Tanpa panik, Eugene mengangkat perisainya.

Tangtangtang!

Panah-panah itu tak mampu menembus perisainya dan hanya memantul. Tanpa melanjutkan lebih jauh, Eugene langsung berbalik arah.

‘Terlalu mudah,’ Eugene mendengus.

Jelas karena tingkat kesulitannya memang disesuaikan untuk anak-anak.

Eugene tersenyum kecil teringat sesuatu. Dulu, setiap kali ia sengaja mencoba jalur yang salah, Sienna hampir kena serangan jantung. Kenangan masa lalu itu membuat hatinya hangat sekaligus getir.

“Hah..”

Dengan rasa rindu yang menggelitik dadanya, Eugene kembali ke persimpangan dan kali ini memilih jalur kanan.

0 komentar:

Posting Komentar

My Instagram