Kalau ketemu monster di dalam labirin, nggak selalu jawabannya harus dilawan sampai mati-matian. Terkadang, pilihan yang benar justru menghindar. Troll di labirin ini adalah contoh jelasnya. Tubuh mereka yang besar bikin gerakan jadi lamban, reaksi mereka juga telat. Jadi alih-alih dianggap “rintangan wajib dilawan”, troll lebih tepat disebut sebagai ‘jebakan’ yang bisa dilewati kalau jeli cari celah.
Namun, ada dua orang yang nekat memilih untuk melawan troll: Gargith dan Eugene.
“Uwoooohhh!” Gargith meraung keras, penuh semangat tempur.
Meski tubuhnya penuh luka dan hampir nggak bisa berdiri, pada akhirnya si pemberani Gargith berhasil menjatuhkan troll itu. Dia mencabut greatsword yang menancap dalam di dada troll, lalu mengangkatnya sambil kembali berteriak.
Raungan itu adalah teriakan kemenangan, sekaligus tanda bahwa dia masih hidup. Tapi setelah itu, semua tenaga yang tersisa langsung habis, dan Gargith terjatuh, menimpa tubuh troll.
‘…Kayaknya aku kena terlalu banyak pukulan….’
Meski Gargith bangga sama otot-ototnya, hantaman troll tetap terlalu ganas. Bahkan, dia yakin beberapa tulangnya ada yang retak.
“Ugh, sial… sakit banget!” desisnya di sela-sela gigi yang terkatup rapat.
Rasanya lebih parah dibanding saat tubuhnya kena hujan panah atau ditabrak bola besi bergulir tadi. Dia tahu ini semua hanyalah ilusi dari magic tapi sakit tetaplah sakit. Menahan perih dan air mata yang hampir keluar, Gargith berguling turun dari tubuh troll dan menahan dan berusaha berdiri. Dengan satu tangan dinding, dia tertatih-tatih melanjutkan langkah.
‘Kalau aku aja sampai begini… bisa jadi yang lain juga….’
Dia tahu Dezra kuat, dan Eugene bahkan lebih kuat darinya. Tapi tetap saja, nggak mungkin tubuh rapuh mereka bisa menahan hantaman troll sebesar itu. Bagaimana mungkin?
Namun ternyata, kekhawatirannya sia-sia. Dezra baik-baik saja. Bukannya melawan troll, dia justru jeli melihat celah dan menyelinap melewati serangan si monster. Begitu juga dengan Cyan dan Ciel.
Kedua saudara kembar itu bahkan sempat bertemu di jalan. Sejak saat itu, Ciel menolak berada di depan dan dengan liciknya membujuk Cyan supaya jadi perintis jalan. Dan anehnya, itu gampang banget dilakukannya.
“Brother, kita harus ambil jalur yang mana?” tanya Ciel polos.
“Memangnya kamu nggak bisa lihat?” Cyan mendengus sombong.
“Aku nggak yakin, sih…”
“Dasar bodoh! Kita kan baca buku yang sama. Kalau kamu nggak ngerti, lihat aja aku.”
Cyan nggak pernah merasa kalah dari saudari kembarnya yang lahir hanya beberapa detik setelah dia. Sebaliknya, dia selalu merasa harus jadi teladan, dan setiap ada kesempatan, dia pamer di depan Ciel.
Sama seperti sekarang. Begitu Ciel berkata “aku nggak yakin,” Cyan langsung menganggapnya kesempatan emas buat unjuk gigi lagi. Apalagi, beberapa hari lalu dia dipermalukan habis-habisan di depan saudarinya sendiri. Kini waktunya mengembalikan harga diri.
“Jangan sampai ketinggalan, ikuti aku baik-baik. Labirin ini diciptakan Kepala Red Tower, jadi kita nggak tahu apa yang bakal muncul.” Cyan memberi instruksi dengan nada serius.
“Terus apa hubungannya?” tanya Ciel, pura-pura polos.
“Itu artinya, monster bisa muncul tiba-tiba di depan kita, atau sesuatu bisa jatuh dari langit-langit!”
“Kayak… hantu?”
“Bodoh! Di tempat kayak gini, yang harus kamu pikirin itu undead, bukan hantu. Kamu tahu undead itu apa?”
“Zombie sama ghoul, kan?”
“Betul. Ingat buku tentang labirin Black Mage yang kita baca? Itu jadi kuburan buat para petualang tolol yang rakus harta! Dulu, Black Mage bikin undead dan chimera dari jasad-jasad itu.”
“Tapi Kepala Red Tower bukan Black Mage, kan?”
“Mungkin. Tapi siapa tahu, bisa aja undead muncul sebagai ilusi.”
“Aku benci hantu… soalnya serem.”
“Aku nggak takut sama apapun!” Cyan menyombongkan diri.
Padahal kenyataannya, dia takut banget sama hantu.
Saat masih kecil, mereka tidur sekamar. Pengasuhnya sering bacain dongeng sebelum tidur, kadang ada kisah seram. Tiap kali itu terjadi, Cyan pasti nggak bisa tidur semalaman, matanya terjaga lebar sambil ngawasin bawah ranjang dan lemari.
Tapi sekarang? Mana mungkin dia ngaku soal itu di depan saudarinya.
‘Kenapa juga dia tiba-tiba ngomongin hantu?’ Cyan menggerutu dalam hati. Tubuhnya merinding, matanya gelisah menatap ke langit-langit, takut ada yang jatuh.
Ciel sendiri sengaja membahas soal hantu. Dia tahu sejak kecil saudaranya takut banget sama hal itu. Bagi Ciel, ini kesempatan langka buat ngerjain Cyan yang lagi sok jago.
‘Pasti lucu kalau beneran ada yang bikin dia loncat ketakutan,’ pikir Ciel jahil.
Mereka terus berjalan. Belokan demi belokan muncul, jalur bercabang makin jarang, dan tiap kali belok, Cyan makin waspada, khawatir ada sesuatu yang nongol tiba-tiba.
Ciel lama-lama bosan. Karena Cyan nggak kunjung menjerit, dia bahkan sempat berpikir buat nyolek punggung saudara nya. Pasti lucu kalau Cyan kaget. Tapi timing-nya harus pas, saat Cyan sudah mulai lengah.
“Brother, menurutmu Eugene masih ada di dalam labirin?” tanya Ciel mendadak.
“...Bajingan itu pernah ngalahin aku. Nggak mungkin dia kalah cuma gara-gara monster atau jebakan.” Cyan mendengus, meski berat hati mengakui.
“Tapi bisa aja dia jatuh ke jebakan. Aku lihat ada lubang yang dalam banget. Kalau dia jatuh ke sana, apa dia bisa keluar lagi?”
“Memang mungkin…,” Cyan mengangguk dengan wajah serius. “Untungnya, kita belajar banyak soal labirin dari Ibu. Anak-anak lain nggak seberuntung itu. Apalagi Eugene, si kampungan itu, mungkin dia bahkan nggak tahu apa itu labirin.”
“Tapi pasti seru kalau kita semua ketemu di pusatnya.”
“Seru apanya? Mereka semua itu saingan kita.”
“Tapi Ayah bilang nggak perlu saling lawan, kan?”
Cyan mengerucutkan bibir. “…Dia memang bilang begitu. Tapi dia juga nggak melarang kalau kita mau bertarung. Jadi kalau aku ketemu orang tertentu, aku pasti akan melawannya.”
“Kamu yakin bisa menang?”
“Aku kalah waktu itu karena sombong. Kalau bertarung lagi, aku pasti menang!”
“Beneran?”
“P-pastilah!”
Meski begitu, dalam hati Cyan nggak sepenuhnya yakin. Dia masih ingat jelas dinginnya tatapan Eugene, juga sakitnya pukulan yang dia terima. Badannya sampai bergetar kecil, entah karena teringat Eugene atau karena obrolan soal hantu tadi.
“Jangan banyak bacot, Ciel,” bentaknya, menoleh ke saudari nya.
Ciel hanya menjulurkan lidah dan tersenyum jahil.
Cyan menghela napas, lalu kembali fokus ke depan. “Aku harus konsent—AAARGHHH!”
Tiba-tiba, tepat di tikungan, muncul seorang perempuan berlumuran darah dari terowongan samping! Mata Cyan terbelalak, pupilnya mengecil, dan jeritannya pecah keras.
“Kyaaahhh!” sahut suara lain.
Ternyata itu Dezra. Dari tadi dia mendengar langkah Cyan dan Ciel, bahkan sudah siap melakukan serangan kejutan kalau mereka lengah. Tapi justru dia yang kaget mendengar teriakan Cyan, sampai refleks menjerit balik.
“AAARGH!”
“WAAAGHH!”
Teriakan mereka bercampur jadi satu. Ciel langsung memegangi perutnya, ngakak terpingkal-pingkal melihat pemandangan itu.
Cyan akhirnya sadar diri, buru-buru mencabut pedangnya. “Dezra! Berani-beraninya kau mencoba menakutiku?!”
“A-aku yang kaget duluan!” Dezra membela diri.
Tapi suaranya gemetar. Apalagi dia lebih muda dari Cyan dan cuma anak cabang keluarga collateral, jadi otomatis minder kalau harus adu mulut.
“Kamu jelas sengaja! Lihat aja penampilanmu! Berdarah-darah gitu biar keliatan kayak hantu, kan?!” Cyan menuding keras.
“Ini karena aku terluka!”
“Jangan bohong!”
Darah mendidih di kepala Dezra. Rasanya dia mau meledak. Demi sampai sejauh ini, dia harus melewati jebakan, monster, bahkan troll besar. Wajar kalau ada luka di sana-sini! Wajahnya berlumuran darah karena kepalanya sempat tergores, bukan karena pura-pura jadi hantu.
“Aku nggak bakal maafin kau…! Kau berani nakut-nakutin aku?! Pasti rencanamu mau nyergap kami setelah itu, kan?!” Cyan menyalak.
“Bukan begitu!”
Padahal Cyan benar juga, cuma waktunya yang salah. Rencananya memang mau nyergap, tapi belum sempat dijalankan. Dezra mendengus kesal, lalu berbalik badan dan kabur.
“Brother, dia lari!” teriak Ciel.
“Berani-beraninya!” Cyan tambah murka.
Dia dipermalukan di depan saudari nya sendiri, dibuat menjerit ketakutan kayak anak kecil. Bagi Cyan, itu lebih hina daripada Eugene pernah menghajarnya. Jadi kali ini, Dezra harus dihukum.
Cyan mengejar, Ciel ikut berlari sambil tetap cekikikan. Meski kaki Dezra panjang dan lincah, tetap saja dia kalah cepat dibanding dua anak yang sudah berlatih mengalirkan mana. Jarak makin menyempit.
‘Mana sih si bajingan Gargith?’ pikir Dezra putus asa.
“GARGITH!” teriaknya.
Tapi Gargith sedang sibuk meraung di atas troll mati, jadi tentu nggak dengar.
“Jangan lari!” Cyan menuntut.
“Aku nggak salah apa-apa!” bantah Dezra.
“Kalau nggak salah, kenapa lari?!”
“Karena kamu mau nindas aku!”
“Ya benar, aku memang mau!” sahut Cyan tanpa ragu.
Dezra langsung lari lebih kencang lagi. Melawan? Mana bisa, apalagi tubuhnya penuh luka. Kalau Cyan sendirian, mungkin masih ada peluang. Tapi dia bawa Ciel juga, jadi jelas mustahil.
‘Kalau Eugene yang muncul, mungkin beda cerita….’ batinnya.
Tapi Eugene entah di mana.
Dan malapetaka datang..
BOOOM!
Lantai di depan runtuh, berubah jadi lubang menganga.
“KYAAAH!” Dezra terloncat panik, berusaha melompat. Dia berhasil menyeberang, tapi jatuh terduduk di sisi seberang dengan pantat menghantam keras.
“Ughhh! Pantatku!” tangisnya menahan sakit.
“Itu makanya jangan kabur!” Cyan berhenti di sisi lubang, berteriak marah.
Dezra ngos-ngosan, lalu kembali bangkit dan lari lagi.
“Brother!” Ciel yang baru sampai menatap ke bawah. Lubangnya dalam sekali, sampai dasarnya nggak kelihatan.
Cyan sempat ragu. Apa mereka harus cari jalan lain? Tapi melihat tatapan penuh harap dari saudarinya, Cyan menggertakkan gigi. Dia nggak boleh kelihatan pengecut.
“Hiiyaaahhh!” Dengan teriakan lantang, Cyan melompat dan berhasil menyeberang, tubuhnya ringan berkat aliran mana.
“Ciel! Lompat juga! Aku tangkap kamu!”
“Iya!”
Cyan membentangkan tangan, siap menangkap. Tapi Ciel dengan santainya melompat, mendarat mulus di sampingnya tanpa bantuan.
“...Seperti yang kuduga dari saudariku,” Cyan berkata canggung sambil menurunkan tangannya.
Mereka lanjut mengejar Dezra. Namun sebelum sempat jauh, langkah mereka terhenti.
Dezra juga berhenti di depan sana.
“...Itu… boss monster,” bisiknya.
Mereka sudah sampai pusat labirin. Sebuah gua bawah tanah luas, dinding menjulang di sekeliling. Dan di tengah-tengah ruangan… duduk seekor monster jauh lebih besar daripada troll.
“Kenapa kalian bertiga barengan?”
Sebuah suara terdengar. Di sisi dinding, bersandar santai dengan tangan terlipat, Eugene menatap mereka sambil memiringkan kepala.
“...Kau ngapain di sini?” Cyan memaksa keluar suara, masih kaget.
“Ngapain lagi? Duduk, jelas kan?” Eugene menyeringai.
“Tapi kenapa di sini?”
“Aku penasaran, siapa yang bakal sampai duluan.”
Mata bulat Eugene berkilat penuh kelicikan, senyumannya nakal, seakan sedang menonton pertunjukan yang menyenangkan.
0 komentar:
Posting Komentar