Chapter 15.1: Upacara Pewarisan Darah (5)

 

“Siapa yang datang duluan, hah?” wajah Cyan menegang saat mengulang ucapan itu.

Dia merasa Eugene sengaja ngomong begitu buat ngejek dirinya. Karena faktanya, orang pertama yang berhasil menembus labirin dan sampai di pusat jelas-jelas Eugene.

“Dezra yang pertama tiba,” Eugene memutuskan.

“Tapi dia cuma kabur!” Cyan membantah cepat.

“Kenapa dia kabur?” Eugene balik tanya.

“Itu….”

Pertanyaan itu sama sekali nggak bisa dijawab Cyan. Semua ini bermula gara-gara dia salah sangka waktu lihat tubuh Dezra yang penuh darah, dikira hantu, terus teriak ketakutan. Karena malu dan kesal sendiri, dia akhirnya mutusin buat ngejar Dezra biar bisa balas dendam. Kalau dia cerita sebenarnya, berarti dia harus ngaku kalau sempat teriak gara-gara takut sama hantu.

“...Dezra… dia… dia menghinaku,” dengan susah payah Cyan nyari alasan.

“Kamu hobi banget ya pakai kata ‘hina’,” Eugene nyeletuk santai.

“Kapan aku pernah ngehina kamu, Cyan?” Dezra langsung teriak dengan wajah penuh kesal. Kalau saja rencananya buat nyergap mereka berhasil, mungkin tuduhan ini masih masuk akal.

“Cyan yang lebay. Kita cuma ketemu di jalur yang sama, itu aja!” jelas Dezra.

“Kamu sengaja nakutin aku!” tuduh Cyan.

“Bukan gitu ceritanya! Malah aku yang kaget gara-gara teriakanmu!” balas Dezra.

“A-aku nggak teriak,” Cyan berbohong sambil mengepalkan tinjunya. Kupingnya memerah. “Aku cuma… teriak karena marah aja. Lagian kamu… iya! Kamu jelas-jelas mau nyergap aku, kan, Dezra?!”

“...Nggak, aku nggak,” Dezra berusaha membantah.

“Kamu sempat ragu sesaat, aku lihat matamu goyah. Itu artinya kamu emang niat nyergap aku! Beraninya, berani banget keturunan collateral macam kamu coba nyerang aku?!”

“Anjing, udah kubilang aku nggak lakuin itu!” Dezra meledak, suaranya keras, campuran malu dan jengkel.

Mata Cyan langsung membelalak kaget mendengar teriakan vulgar itu, yang jelas memperlihatkan kebiasaan mulut kotor Dezra.

“Berani-beraninya kamu ngelontarin kata kasar ke aku! Aku ini pewaris keluarga utama, dan umurku juga setahun lebih tua dari kamu!”

“Aku udah bilang nggak, tapi kamu terus nuduh aku macem-macem, sialan!”

“Kamu maki lagi..”

“Diam.” Eugene akhirnya buka suara, nada suaranya tegas. Dia sudah cukup muak dengar pertengkaran kekanak-kanakan mereka.

Lagipula, dia sama sekali nggak tertarik sama hinaan apa pun yang mungkin Cyan rasain.

“Pokoknya, bagaimanapun juga, Dezra yang pertama datang,” Eugene menegaskan lagi.

“Tapi bukannya kamu yang datang duluan?” Ciel bertanya sambil nyengir.

“Itu benar, aku memang yang sampai duluan,” Eugene mengaku enteng.

“...Apa maksudmu?” Dezra melirik Eugene penuh curiga.

Mereka sebelumnya sempat bahas rencana buat gabung tenaga lawan bos monster malam itu, setelah makan malam di rumah Patriark. Bisa jadi alasan Eugene nunggu mereka di sini karena dia udah nyoba lawan bos sendirian dan gagal?

“Aku cuma mikir, kesempatan kali ini sebaiknya aku kasih ke kalian dulu,” Eugene tersenyum kecil.

“...Kasih?” Dezra mengulang.

“Gini. Kalau aku maju duluan, kemungkinan besar aku menang. Tapi kalau langsung aku habisin, rasanya aku nggak enak sama kalian yang udah susah payah sampai sini.”

“Apa-apaan sih omong kosongmu itu?!” Cyan berteriak, marah besar.

Ucapan Eugene jelas terasa kayak penghinaan. Dezra memang nggak ikut-ikutan teriak, tapi dia menatap Eugene tajam dengan wajah masam. Sementara Ciel? Dia malah tampak terhibur, matanya berbinar kayak lagi nonton drama seru.

“Biar adil, kita urut sesuai siapa yang datang duluan,” Eugene melanjutkan, cuek pada protes mereka.

“Ka… kau masih waras nggak sih? Berapa kali kepalamu kebentur monster di jalan sampai ngomong ngaco gini?” Cyan nyerocos.

“Mana ada, aku baik-baik aja,” Eugene menjawab santai sambil melirik ke arah Dezra tanpa berdiri. “Kalau kamu ngerasa nggak sanggup, kamu boleh mundur. Itu hakmu, kok.”

‘Mundur?’ Alis Dezra berkerut. Dia udah susah payah sampai sejauh ini. Ucapan Eugene soal “ngasih kesempatan” aja udah cukup bikin darahnya mendidih, apalagi sekarang disuruh menyerah?

“Aku nggak akan mundur!” Dezra membalas lantang.

“Tapi sendirian bakal berat, lho….” Eugene senyum mengejek.

Bahu Dezra bergetar karena marah. Dia menoleh ke arah makhluk besar yang berdiri di tengah gua.

Dari jarak ini aja, jelas kelihatan betapa kokohnya tubuh monster itu. Lebih besar dari troll yang nyaris membunuhnya tadi. Yang paling mencolok adalah kepalanya, kepala banteng raksasa di atas tubuh manusia.

Seekor minotaur. Monster yang hampir selalu muncul dalam kisah-kisah tentang labirin. Tapi nyatanya ketika melihat langsung, sosok itu jauh dari kata “konyol” seperti di dongeng. Sepasang tanduk raksasanya berkilat, bikin Dezra menelan ludah dengan gugup.

‘…Kenapa Gargith, brengsek itu, belum datang juga?’

Rencana awalnya adalah gabung dengan Gargith buat ngalahin bos. Tapi sampai sekarang, Gargith nggak kelihatan batang hidungnya. Sambil cemas, Dezra melirik Eugene sekali lagi.

“Aku baru akan maju setelah kalian selesai dapat giliran,” Eugene menegaskan.

“...Kamu beneran gila,” desis Dezra.

Cyan yang sedari tadi diam akhirnya nggak tahan lagi.

“Kamu beneran mikir kamu bakal kebagian giliran juga?” bentaknya.

“Iya, aku yakin bakal kebagian,” jawab Eugene tenang.

“Jangan ngaco! Kamu pikir aku nggak bisa ngalahin sapi berkepala manusia itu?!”

“Kalau kamu bisa ngalahin, aku bakal panggil kamu ‘kakak’ seumur hidupku.”

Cyan langsung terdiam. Bayangan Eugene manggil dia “kakak” seumur hidup bikin hatinya tergelitik. Buat Cyan yang masih kekanak-kanakan, itu terasa kayak hadiah besar.

“...Jangan ingkar janji, ya.”

“Tenang aja, aku nggak bakal.”

Mendengar konfirmasi itu, Cyan duduk bersila di tempat. Dia mulai mengatur napas, menyerap mana ke dalam tubuhnya. Energinya sudah banyak terkuras di perjalanan, jadi dia harus segera mengisi ulang.

‘Kalau memang minotaur….’

Ini juga pertama kalinya Cyan melihat langsung. Tapi dia sempat baca banyak buku tentangnya beberapa hari ini. Minotaur memang nggak punya kelemahan khusus, tapi juga nggak punya kekuatan gila-gilaan.

Tubuh kuat dan kulit kerasnya standar buat monster menengah-besar. Dia nggak punya regenerasi cepat kayak troll, juga nggak punya amukan brutal kayak ogre. Dari kacamata Cyan, minotaur itu “cuma” monster tangguh yang masih bisa dikalahkan.

Beda halnya dengan Dezra. Perasaannya jauh lebih buruk. Dengan hati berdebar, dia melangkah ke tengah gua. Tangan yang menggenggam tombak gemetar hebat. Selama ini, dia baru lawan monster selevel orc, belum pernah lawan yang sebesar ini.

‘...Katanya, minotaur ada di atas troll dalam rantai makanan….’

Belum tentu selalu benar, tapi untuk saat ini, anggapannya memang begitu. Apalagi dia bahkan gagal bunuh troll tadi. Mana mungkin bisa ngalahin minotaur?

“...Haaaah!”

Tapi menyerah bukan pilihan. Dezra berteriak lantang, berusaha menekan rasa takutnya. Lalu dia menggenggam erat tombaknya dan menerjang.

Belum sempat jarak tertutup, minotaur itu bangkit berdiri. Kecepatan reaksinya nggak masuk akal untuk makhluk seberat itu. Bahkan troll pun nggak secepat ini. Sosok raksasa itu berdiri tegak, matanya menatap tajam ke arah Dezra. Mata sapi yang biasanya polos, kini berkilat aneh, bikin bulu kuduk merinding.

Minotaur mengayunkan tangannya. Dengan pekik keras, Dezra menusukkan tombaknya.

Crack!

Tangan besar itu menghancurkan tombak seolah cuma ranting rapuh.

‘Kata mereka tombak ini nggak mungkin patah!’ wajah Dezra menegang penuh pengkhianatan.

Minotaur mengangkat tangan lagi, siap membantingnya ke arah kepala Dezra. Untung, dia masih sempat bereaksi. Melompat ke samping, dia menghindar tipis-tipis. Lalu dengan sisa tombak yang patah, dia nekat menghantam pinggang minotaur.

Clack!

Serangan itu kena, tapi nggak ngaruh apa-apa. Minotaur sama sekali nggak mengerang, bahkan langsung mengejar Dezra.

“Kyaaah!”

Jari-jari raksasanya langsung melilit tubuh Dezra, membungkusnya seutuhnya. Dia menjerit panik, berusaha melepaskan diri. Intuisinya teriak: dia bakal mati! Mustahil ini cuma ilusi!

Dezra memejamkan mata erat-erat, pasrah menghadapi ajal.

0 komentar:

Posting Komentar

My Instagram