Sebelum Gilead memberi selamat pada Eugene, pandangannya sempat berhenti pada anak-anaknya sendiri.
Putra sulungnya, Eward, bahkan tidak berhasil mencapai pusat labirin. Ia terlalu banyak menghabiskan waktu mempelajari berbagai jebakan magic dan monster di sepanjang jalan. Sejujurnya, Gilead merasa kecewa dengan hasil itu.
Ia tahu betul kalau sejak kecil, Eward selalu punya minat besar pada magic. Dan memang, jenis magic seperti itu jarang sekali ditemui, jadi wajar kalau Eward larut dalam rasa penasarannya. Tapi… untuk lebih mementingkan rasa ingin tahu daripada menunjukkan kemampuan dalam Upacara Pewarisan Darah yang sepenting ini? Sebagai Patriark sekaligus seorang ayah, Gilead tak bisa menahan rasa kecewa.
Sebaliknya, penampilan Ciel dan Cyan membuatnya cukup puas. Keduanya bisa menembus labirin sampai ke tengah tanpa kesulitan berarti menghadapi jebakan maupun monster. Meski akhirnya tidak mampu mengalahkan minotaur, itu wajar saja, mereka masih terlalu muda. Dan yang namanya belum matang, bisa ditutup dengan pengalaman.
“...Kalian semua tampil dengan sangat baik,” ucap Gilead akhirnya, mengalihkan pandangan dari anak-anaknya sendiri untuk menatap semua peserta. Ia mengangguk tulus sambil tersenyum pada mereka. “Dari sini, kami bisa menyaksikan setiap langkah kalian menghadapi labirin. Meski sejak awal kami tahu ini akan jadi ujian yang berat, kalian semua sudah melakukannya dengan luar biasa.”
“...Terima kasih banyak,” jawab anak-anak itu dengan kikuk menerima pujian.
Gargith, yang sejak tadi melirik Eugene dengan tatapan kaget, buru-buru menunduk bersama yang lain. Dalam hati, ia agak malu. Setelah bertarung sengit melawan troll, ia bahkan tidak sanggup mencapai pusat labirin.
Dezra dan Cyan juga merasa malu, meski dengan alasan berbeda. Dezra bahkan tak sempat memberikan perlawanan yang layak pada minotaur, sementara Cyan sempat kehilangan fokus ketika Sword-light nya gagal terbentuk, membuatnya bertarung dengan cara yang menurut dirinya sendiri pun, payah.
“Eugene,” panggil Gilead.
Eugene, yang dipanggil, hanya tersenyum lebar. Ia geli melihat bahu Cyan merosot dalam-dalam, tapi di sisi lain juga penasaran. Di dalam labirin tadi, ia tidak melihat sama sekali Eward, putra sulung keluarga utama. Eugene memang sudah menilai kalau Eward terlihat kurang percaya diri dan kurang terampil untuk posisi sebagai anak sulung, tapi ia sama sekali tak menyangka Eward bahkan gagal mencapai pusat labirin. Mungkin karena itulah, sekarang Eward juga menundukkan bahu dan menghindari tatapan semua orang.
“...Meskipun ini jelas sudah bisa ditebak, kau menunjukkan penampilan terbaik di antara sembilan anak yang ikut serta dalam Upacara Pewarisan Darah tahun ini,” ujar Gilead.
“Terima kasih banyak,” Eugene membalas dengan menundukkan kepala penuh kerendahan hati.
Ia merasa lebih baik menampilkan kesan rendah hati ketimbang terlihat sombong.
“Cara kau menghadapi jebakan dan monster benar-benar nyaris tanpa cela. Terutama saat melawan troll itu. Berbeda dengan anak-anak lain… kau bahkan tidak menerima luka kecil sekalipun,” lanjut Gilead dengan nada kagum.
‘Mustahil,’ Gumam Gargith dalam hati.
Ucapan Gilead membuat bahu Gargith bergetar. Tidak terluka sedikit pun saat melawan troll yang buas itu? Ia melirik Eugene lagi dengan tatapan tak percaya.
‘Bagaimana bisa? Padahal dia lebih pendek dan lebih sedikit ototnya dibanding aku,’ pikir Gargith. Ia benar-benar kagum, meski di saat bersamaan sedikit kecewa. ‘Kalau saja dia ikut mengonsumsi ramuan khusus pertumbuhan otot keluarga kami, tubuhnya pasti bisa sama kerennya. Sayang sekali. Yah, setidaknya dalam adu panco aku pasti masih menang.’
Dengan pikiran itu, Gargith pun bertekad menantang Eugene adu panco suatu saat nanti.
“Sejujurnya, kami memperkirakan kalian semua akan terjebak di labirin setidaknya dua hari,” Lovellian ikut bicara sambil tersenyum, tanpa rasa malu sedikit pun.
Baik Lovellian maupun Gilead sudah menaruh ekspektasi yang wajar sebelumnya. Bagaimanapun, mereka semua masih anak-anak di bawah enam belas tahun. Lagi pula, tak satu pun dari mereka pernah benar-benar masuk ke dalam labirin sebelumnya. Karena itu, Lovellian mendesain banyak rintangan, dengan perhitungan anak-anak itu butuh waktu setidaknya lebih dari sehari untuk menembusnya.
‘Tapi… sesuai dugaan, darah Great Vermouth memang luar biasa. Sepertinya aku benar-benar meremehkan mereka.’
Tentu saja, itu tidak membuatnya tersinggung. Justru sebaliknya, melihat permata berbakat ini bersinar lebih terang dari perkiraan, hanya bisa menjadi kejutan menyenangkan.
“Selain Eugene, semuanya boleh kembali ke kamar masing-masing dan beristirahat. Sebenarnya, aku ingin mengadakan pesta besar malam ini. Tapi… karena kalian semua keluar jauh lebih cepat dari perkiraan, kami tidak sempat menyiapkannya,” ujar Gilead.
Setelah memberi tahu anak-anak lain, ia menoleh pada Eugene dengan senyum hangat.
“Jadi, kalian semua bisa istirahat hari ini. Besok malam kita adakan pesta. Sedangkan Eugene… ikut denganku.”
“Baik, Lord,” jawab Eugene.
“Apa Ayah akan memberikan hadiahnya sekarang?” tanya Ciel, matanya berbinar penuh rasa penasaran.
Ruang harta karun bawah tanah adalah tempat terlarang, bahkan bagi mereka yang mewarisi darah keluarga utama. Hanya Patriark yang boleh masuk dengan bebas. Sejak kecil, Ciel sering sekali merengek minta diajak ayahnya ke sana, tapi bahkan Gilead yang terkenal lembut pada putrinya tidak pernah sekalipun mengizinkannya.
“Tidak ada alasan untuk menunda. Bukankah lebih baik kalau dia bisa memilih lebih cepat?” Gilead mengusap kepala Ciel dengan lembut.
Sebenarnya, Gilead sendiri juga penasaran, benda apa yang akan dipilih Eugene di ruang harta karun.
Lovellian pun mengantar anak-anak lain kembali ke kamar, sementara Eugene dan Gilead berjalan menuju kediaman keluarga utama. Perjalanan mereka cukup jauh, jadi keduanya sempat mencari topik untuk dibicarakan.
“Kau cukup terampil menggunakan banyak senjata,” komentar Gilead, membuka percakapan.
Ia tidak menoleh pada Eugene, tapi nada suaranya hangat, mudah ditebak bahwa ia sedang tersenyum.
“Lumayan,” jawab Eugene santai.
“Lebih dari lumayan. Aku lihat sendiri cara kau menggunakan pedang dan perisai di labirin, benar-benar terampil. Bahkan, bukankah kau menggunakan tombak untuk mengalahkan Cyan dan Dezra?”
Sepertinya Gilead sudah mendengar detail sparring Eugene melawan Dezra. Tidak heran, karena duel itu dilakukan di halaman terbuka, siapa pun dari pelayan annex bisa saja menontonnya.
“Ya. Aku suka tombak karena senjata itu menyenangkan dipakai,” Eugene menanggapi.
“Kalau pedang?” pancing Gilead.
“Pedang juga menyenangkan.”
“Selain itu, senjata apa lagi yang kau suka?”
“Umm… aku juga suka busur. Walaupun menembak dari jauh terasa kurang seru, tapi mengenai target dari jarak jauh itu rasanya memuaskan.”
Eugene berusaha berbicara dengan nada polos khas anak-anak seusianya. Sebenarnya, di awal kehidupannya yang baru, ia sempat berpikir tidak perlu repot-repot bersandiwara begini; ia sempat berniat blak-blakan saja mengaku kalau dirinya adalah reinkarnasi Hamel.
Tapi makin dipikir, makin terasa sulit. Kalau ia benar-benar bilang, “Aku adalah Hamel si Bodoh yang reinkarnasi jadi keturunan Vermouth,” siapa yang akan percaya tanpa bukti? Dan selain itu, rasanya hina banget harus mengakui dengan mulutnya sendiri bahwa ia lahir kembali sebagai keturunan Vermouth.
‘Dan itu juga bakal memalukan banget.’
Kalau saja ia sudah mengaku dari awal, mungkin tidak jadi masalah. Tapi sekarang? Sudah tiga belas tahun ia berpura-pura jadi bocah. Kalau tiba-tiba buka jati diri, yang ada cuma tatapan kasihan. Dengan harga dirinya, Eugene tidak mungkin tahan diperlakukan begitu.
‘Dan kelihatannya juga bakal bikin ribet.’
Tidak banyak yang benar-benar tahu detail perjalanan Pahlawan Vermouth dan rekan-rekannya tiga ratus tahun lalu. Setelah tiba-tiba berhenti memburu Demon King yang tersisa, mereka pulang tanpa pernah menjelaskan alasan sebenarnya. Sampai hari ini, dongeng sialan itu masih jadi satu-satunya catatan paling terkenal tentang perjalanan mereka.
Dan sekarang "Hamel si Bodoh” yang diceritakan dalam dongeng itu ternyata reinkarnasi sebagai keturunan Vermouth? Dunia bisa geger. Eugene tidak mau berurusan dengan kerumunan orang dari segala penjuru yang akan datang menginterogasinya soal “fakta perjalanan pahlawan.”
Tapi itu bukan satu-satunya alasan.
Eugene atau lebih tepatnya Hamel masih menyimpan kebencian mendalam. Ia tidak bisa menerima kenyataan kalau Demon King masih ada. Kebencian itu tidak hilang meski sudah tiga ratus tahun berlalu.
Kalau dua Demon King tersisa di Devildom Helmuth sampai tahu bahwa Hamel bereinkarnasi, siapa tahu mereka mulai bergerak di balik layar.
Memang, dua Demon itu sudah mengaku ingin hidup damai selama ratusan tahun terakhir, bahkan membuka Helmuth jadi tujuan wisata. Tapi apa benar mereka berubah? Bagaimana reaksi mereka jika tahu ada saksi hidup yang bisa membongkar kekejaman masa lalu mereka?
Eugene yakin, mereka tidak akan menyambutnya dengan tangan terbuka.
Dan sekalipun mereka mau, Eugene juga tidak akan sudi menerima.
0 komentar:
Posting Komentar