Chapter 16: Upacara Pewarisan Darah (6)

 

Saat Eugene melangkah maju menghadapi minotaur, tak terlihat sedikit pun keraguan atau gugup dalam langkahnya. Apa itu karena minotaur hanyalah lawan kecil yang tak layak membuatnya merasa demikian? Bagaimanapun juga, Eugene memang belum pernah melatih mana-nya, jadi magict circle itu sama sekali tak berpengaruh padanya.

Tidak bisa menggunakan mana ketika melawan monster sebesar itu memang masalah yang cukup merepotkan, tetapi jelas bukan alasan baginya untuk mundur. Dalam kehidupan sebelumnya, bahkan sebelum ia menguasai penggunaan mana, ia sudah pernah melawan troll, ogre, dan monster-monster lain yang jauh lebih berbahaya.

Dibandingkan dengan semua itu, minotaur ini tidak ada apa-apanya. Apalagi ini bukanlah monster asli. Dilihat dari gerakannya saja, jelas ia bahkan lebih lemah daripada minotaur sungguhan. Levelnya sengaja diturunkan agar sesuai untuk anak-anak.

‘Kurasa aku hanya perlu berhati-hati agar pedangku tidak patah.’

Selama ini, meskipun ia menggunakan pedangnya dengan kasar, bahkan belum pernah tergores sedikit pun. Tapi sekarang jelas situasinya berbeda. Apa ini memang dimaksudkan untuk menguji apakah peserta bisa beradaptasi dengan keadaan tak terduga? Atau mereka ingin melihat apa para peserta menyimpan keterampilan dan bakat lain sebagai cadangan…?

Apa pun alasannya, bagi Eugene ini justru menguntungkan. Bukankah memang sejak awal ia berencana mempermalukan keluarga utama? Faktanya, ia bisa saja langsung mengalahkan minotaur sejak awal dan menutup Upacara Pewarisan Darah sendirian. Namun, berkat sedikit kesabarannya, ia mendapat kesempatan tambahan untuk melihat Cyan dipermalukan.

‘Meski semua ini membuktikan kalau Patriark memang orang yang adil….’

Anaknya justru berkepribadian busuk. Sebelum terlambat, sikap menyebalkan Cyan perlu dihajar habis-habisan, atau ia takkan pernah berubah. Eugene sudah sangat yakin bahwa anak itu butuh "pendidikan jasmani" secara langsung.

Bahkan meski Gilead, sang Patriark, ternyata cukup baik, putranya tetaplah brengsek. Dan karena Cyan sudah sebegitu menyebalkan di usia muda, bisa dibayangkan betapa lebih busuknya ia akan jadi di masa depan.

Maka, demi Gilead sekalipun, sifat Cyan perlu diluruskan dengan "cara fisik" dan Eugene lebih dari bersedia untuk turun tangan.

‘Meski mungkin satu-dua kali hajar saja belum cukup.’

Tapi tentu saja, ini bukanlah tanggung jawab Eugene. Gilead sendiri mungkin akan mengurusnya begitu ia tahu betapa parah kelakuan anaknya.

“Hm,” Eugene bergumam ringan.

Ia sudah memperkirakan sejauh mana minotaur akan bereaksi. Berdiri tepat di luar garis itu, ia menatap monster tersebut. Walaupun Cyan tadi sempat menebasnya beberapa kali, minotaur sama sekali tidak terluka.

‘Kalau begitu….’

Eugene tersenyum sambil melangkah masuk, melewati batas reaksi minotaur.

‘…Bagaimana cara terbaik untuk mengalahkannya?’

Minotaur langsung bereaksi. Tubuh besar itu bergerak dengan kecepatan mengejutkan, menerjang ke arah Eugene. Tidak seperti Dezra atau Cyan yang langsung menyerbu, Eugene tidak bergerak mundur, juga tidak keluar dari jangkauan minotaur.

Tinju besar minotaur meluncur ke arahnya. Namun bahkan sebelum serangan itu benar-benar dilepaskan, Eugene sudah bisa menebak jalurnya. Ada banyak ‘petunjuk’ pada tubuh raksasa itu: dari cara jemarinya menggenggam, gerakan siku dan bahunya, bahkan kedutan otot-ototnya, semua itu cukup untuk memprediksi arah serangan.

Boom!

Tinju minotaur menghantam tanah tepat saat pedang Eugene meluncur. Untuk memperkuat tebasannya, Eugene menebas balik ke arah dalam siku minotaur. Lipatan sendi kulit di sana adalah titik lemah alami dari kulit keras monster, dan tendon yang ada jauh lebih rapuh dibanding otot lengannya.

Tentu saja, menebas tepat di waktu yang pas bukanlah hal mudah. Namun Eugene melakukannya seakan itu hal sepele. Ia sudah terbiasa menggunakan pedang dengan presisi bedah seperti itu di kehidupan sebelumnya. Selain itu, tubuh mudanya sekarang jauh lebih unggul daripada tubuh Hamel di usia yang sama.

Sejak lahir, memang sudah ada perbedaan bawaan di antara keduanya. Dan Eugene terus mengasah keunggulan itu selama bertahun-tahun.

Tidak bisa menggunakan mana? Lalu kenapa? Bahkan tanpa mana sekalipun, tubuh mudanya ini sudah luar biasa gesit.

“Guooo!”

Minotaur meraung kesakitan. Meski sikunya terlalu tebal untuk ditebas putus, tendon di sana penuh saraf sehingga rasa sakitnya luar biasa. Meski tidak terputus, itu cukup untuk melumpuhkan sebagian besar lengannya.

Lengan besar itu kini terkulai, dan gerakan minotaur melambat karena syok. Tanpa ragu, Eugene melompat ke lengan monster itu. Lalu ia berlari.

Dengan tubuh kecil seorang anak, mudah baginya berlari di sepanjang lengan raksasa itu. Dalam sekejap, ia sudah sampai ke bahu.

Tentu saja, minotaur tidak tinggal diam. Ia memutar tubuhnya, mengguncang bahunya. Namun Eugene terbiasa bergerak di pijakan yang tidak stabil. Ditambah lagi, tubuh mudanya ini dianugerahi keseimbangan alami yang luar biasa.

Meskipun tubuh monster itu bergoyang hebat, Eugene terus mendekat ke arah kepala. Hingga akhirnya, tanduk besar monster itu melintas tepat di depannya. Ia menunggu waktu yang tepat, lalu mengulurkan tangan.

Smack!

Tangan Eugene menangkap tanduk minotaur. Karena terbiasa mengayunkan pedang dengan beban pasir berat, menopang seluruh tubuhnya dengan satu tangan bukan masalah. Ia mencengkeram tanduk itu erat dan menarik tubuhnya ke atas. Dalam sekejap, ia sudah berada di atas kepala monster.

“Graaaagh!”

Minotaur mengangkat tangan lainnya untuk menangkap Eugene. Namun tebasan pedang Eugene lebih cepat daripada jari-jari monster itu sempat meraih.

Squelch!

Pedangnya menusuk telinga minotaur, menembus begitu dalam hingga mencapai kanal setengah lingkaran di dalamnya. Tubuh raksasa itu bergetar hebat, kehilangan keseimbangan. Tangan besarnya mengibas-ngibas tak tentu arah, sama sekali tak bisa menyentuh Eugene. Lalu akhirnya, ia jatuh terduduk ke lantai gua.

Eugene menarik kembali pedangnya, lalu menancapkannya ke mata kiri monster. Jeritan mengerikan terdengar. Ia memutar pedang yang menancap dalam beberapa kali, lalu menariknya lagi dan langsung menusuk ke mata kanan. Meski kelopak mata monster terpejam erat, pedang itu menembus tipisnya kelopak dengan mudah.

“Guwaaah!”

Bang!

Tangan minotaur terayun ke atas, meleset dari Eugene dan malah menampar keningnya sendiri. Karena terlalu kuat, kepala monster itu terlempar ke belakang. Itu menjadi peluang bagus bagi Eugene. Ia melompat turun ke bahu monster, dan dengan dagu raksasa itu terangkat, ia mendapat pandangan jelas ke arteri karotis yang berdenyut.

Sekali, dua kali, tiga kali, tebasannya terfokus ke satu titik. Tebasan kedua menembus kulit keras, tebasan ketiga mencapai pembuluh darah. Beberapa tebasan lagi kemudian....

Splash!

Darah menyembur deras. Eugene menahan cipratan itu dengan perisai di tangan kirinya, sambil terus menusuk luka terbuka dengan pedang.

Tak lama kemudian, tubuh minotaur terdiam, kehabisan darah. Ia ambruk ke lantai gua. Sebelum tubuh itu benar-benar jatuh, Eugene melompat ringan dan mendarat dengan sempurna.

“Phew,” Eugene mendesah puas.

Meski sudah ditahan dengan perisai, darah tetap membasahi rambut dan wajahnya. Ia menyekanya kasar, lalu menoleh ke penonton: Cyan, Ciel, dan Dezra, yang masih ternganga. Eugene menyeringai ke arah Cyan khususnya, sambil menunjuk ke tubuh minotaur.

“Kau lihat itu, kan?”

“...Uh…?” Cyan hanya bisa bergumam kosong.

“Aku membunuhnya,” Eugene menyombong dengan bangga.

Cyan tak tahu harus bereaksi bagaimana. Ia tahu kata-kata itu jelas dimaksudkan untuk mengusiknya, tapi setelah menyaksikan semua itu dengan mata kepala sendiri, ia bahkan tak bisa marah. Ia sadar, ia sendiri pasti takkan mampu melakukan apa yang Eugene baru saja lakukan.

Tapi bagaimana kalau… kalau ia bisa menggunakan sword-light? Kalau itu terjadi, mungkin ia juga bisa membunuh minotaur. Tapi tetap saja, ia takkan bisa melakukannya semudah Eugene.

Untuk pertama kalinya, Cyan merasakan emosi asing terhadap anak dusun itu. Mirip dengan rasa takut, tapi juga disertai debaran aneh di dada. Ia tak tahu, itu adalah rasa kagum.

“…Oh.” Eugene mendesah kecil, menyadari sesuatu.

Bau darah mendadak lenyap. Tubuh minotaur yang tergeletak di sampingnya, juga dinding dan langit-langit gua yang mengelilinginya, mulai menghilang. Rambut basahnya mengering seketika kembali mengembang. Pedang dan perisai di tangannya pun ikut memudar, lalu lenyap.

Upacara Pewarisan Darah telah berakhir.

***

Penerjemah: Idran 

***

Baik Gilead maupun Lovellian sama-sama terdiam. Hingga pada titik di mana Dezra dan Cyan dikalahkan, semuanya masih sesuai dengan perkiraan mereka.

Sejak awal, mereka tahu kalau perburuan minotaur bukanlah tantangan yang mudah bagi anak-anak.

Bukankah itu sebabnya Gilead sudah menegaskan sebelumnya, bahwa dalam Upacara Pewarisan Darah kali ini ia tidak hanya akan menilai kemampuan individu, tapi juga kemampuan anak-anak untuk membuat penilaian situasional dengan cepat, serta semangat kerja sama mereka?

Ia ingin melihat apakah mereka masih mampu mempertahankan keinginan untuk bertarung meski terus mengalami kegagalan. Kalau saja anak-anak itu sepakat untuk bekerja sama, bukan mustahil mereka bisa mengalahkan monster itu. Bahkan setelah menarik perhatian minotaur, ada kemungkinan juga untuk menggiringnya perlahan keluar dari Magic circle. Selama anak-anak itu tidak gegabah menerjang, mereka bisa mencoba berbagai metode sampai akhirnya berhasil. Setidaknya… begitulah rencana awal Gilead untuk membuat minotaur dikalahkan.

“...Hahaha!”

Walaupun semua rencananya berantakan, Gilead sama sekali tidak merasa kesal. Justru ia tertawa terbahak-bahak sambil menyunggingkan senyum lebar.

“Bukankah dia luar biasa?” kata Gilead sambil menunjuk Eugene. “Anak itu, hanya seorang keturunan cabang yang bahkan belum pernah melatih mana-nya, tapi dia bisa menumbangkan minotaur hanya dengan keterampilan murni yang luar biasa.”

“...Sepertinya begitu,” jawab Lovellian dengan wajah kaku, baru bisa menutup mulutnya yang sempat ternganga.

Segala sesuatu dalam labirin itu adalah hasil ciptaan Lovellian, baik perangkap maupun monster di dalamnya. Ia sengaja tidak membuatnya terlalu sulit agar sesuai dengan level anak-anak. Namun anak bernama Eugene itu berhasil menembus labirin dengan jauh lebih mudah daripada yang pernah ia bayangkan.

Lovellian merasa harus bertanya, “...Anak itu… sebenarnya siapa dia?”

“Aku juga tidak tahu,” Gilead menggeleng sambil tetap tertawa. “Ayahnya, katanya bernama Gerhard Lionheart dari Provinsi Gidol. Dari cabang keluarga yang sudah terpisah dari garis utama selama dua ratus tahun terakhir. Setahuku, tidak ada satu pun dari garis itu yang pernah menonjol sebelumnya.”

“Tapi… bagaimana mungkin anak sehebat itu bisa lahir dari keluarga semacam itu…?”

“Siapa yang tahu. Dia bilang tidak pernah diajari ayahnya, atau pun ksatria lain, tapi...” Gilead kembali terbahak. “Tapi potensi anak itu tak terlukiskan. Kudengar sejak pertama kali tiba di kediaman utama, Eugene setiap hari pergi ke aula latihan, mengulang latihan keras yang sama tanpa henti. Aku juga sudah mengirim orang ke Gidol, dan mereka melaporkan bahwa latihan ekstrem Eugene memang terkenal di seluruh wilayah.”

Eugene adalah anak yang pernah mengalahkan putranya sendiri dalam duel, jadi wajar bila Gilead merasa tertarik padanya. Karena itu ia mengutus seorang ksatria ke wilayah Lionheart di Gidol untuk menyelidiki Eugene. Hasilnya, didapat kabar bahwa Eugene mulai rajin pergi ke aula latihan sejak berumur lima tahun; lalu saat berumur tujuh, ia mulai mengayunkan pedang kayu dengan inti besi, yang bobotnya terus meningkat seiring waktu.

“Anak itu memang dilahirkan untuk menjadi seorang pejuang dan ia juga memiliki watak pekerja keras yang cocok dengan fisiknya. Hanya dengan menemukan permata kasar semacam itu saja… Upacara Pewarisan Darah tahun ini sudah memiliki arti yang sangat besar.”

“Namun, tidakkah kau sedikit pun merasa kecewa?” tanya Lovellian dengan tulus. “Maaf jika pertanyaanku menyinggung, tapi anak itu… sudah membuat anak-anakmu sendiri tampak kalah bersinar, Lord Gilead. Jika perbedaan mereka sudah sejauh ini, bayangkan nanti ketika Eugene mulai berlatih mana. Dan seandainya ia juga memiliki bakat besar dalam mengendalikan mana….”

“Kalau itu benar-benar terjadi, bukankah itu sesuatu yang patut dirayakan?” jawab Gilead sambil tersenyum lebar. “Lagipula, bukankah nama anak itu juga Lionheart? Itu berarti, semakin luar biasa dirinya, semakin gemerlap pula nama Lionheart.”

“...Tapi bagaimana kalau anak itu suatu hari menunjukkan ambisi untuk merebut garis utama?” Lovellian bertanya blak-blakan.

Namun Gilead sama sekali tidak tersinggung.

“Itu bukan sesuatu yang perlu kupermasalahkan,” jawabnya tulus. “Hanya yang terhebat di antara Lionheart-lah yang berhak menjadi Patriark Lionheart. Jika anak-anakku gagal mempertahankan posisi itu, artinya mereka memang terlalu lemah untuk mempertahankan hak lahir mereka. Kalau itu saja batas kemampuan mereka, maka mereka memang tidak pantas jadi Patriark Lionheart sejak awal.”

“Hmm….” Lovellian terdiam merenung.

“Tentu saja, sebelum aku seorang Patriark, aku juga seorang ayah. Sebagai ayah, aku akan membimbing anak-anakku supaya bisa tumbuh menjadi yang terbaik. Tapi kalau pada akhirnya masih tidak cukup… ya, tak ada yang bisa dilakukan lagi.” Gilead mengangkat bahunya, pasrah.

“Sebagai orang luar, maaf kalau aku menyentuh hal yang bukan bagianku,” ucap Lovellian pelan. “Namun sebagai kenalan lama, aku merasa harus memberimu saran. Jika memungkinkan, kau harus mengadopsi anak itu.”

“...Adopsi?” Gilead mengulang dengan heran.

“Ya. Seorang keturunan cabang berhasil menumbangkan garis utama dalam Upacara Pewarisan Darah. Itu saja sudah cukup membuat banyak keluarga cabang memandang rendah keluarga utama. Kalau itu sampai terjadi, mereka yang tidak puas dengan sistem saat ini mungkin mulai bersekongkol.”

“...” Gilead terdiam sejenak. Nama Lionheart sudah diwariskan selama lebih dari tiga ratus tahun. Dalam perjalanan itu, banyak keluarga cabang lahir karena tradisi pewarisan mereka.

Setiap keluarga cabang berdiri dari mereka yang memiliki darah langsung garis utama, tapi kalah dalam perebutan posisi Patriark. Tak sedikit dari keluarga cabang itu yang menyimpan rasa tidak puas pada garis utama.

“...Para Guardian yang bertugas menegakkan hukum keluarga,” gumam Gilead dengan senyum getir.

Para Guardian Lionheart tidak hanya melarang segala bentuk perebutan dinasti, tapi juga menekan siapa pun yang berani memberontak.

“Terima kasih atas sarannya. Mengenai adopsi… kupikir itu gagasan yang menarik,” jawab Gilead akhirnya.

Sejujurnya, anak itu memang begitu luar biasa sampai Gilead berharap Eugene adalah putranya sendiri. Selain itu, baginya adopsi tampak lebih baik juga untuk masa depan Eugene.

Kalau Eugene hanya kembali ke Gidol… ada kemungkinan keluarga-keluarga yang berniat memberontak mencoba menghubunginya. Dan bila itu terjadi, anak berbakat luar biasa itu bahkan bisa saja diculik demi memanfaatkan kemampuannya.

‘...Kalau dia berada di sisiku… ia juga bisa jadi motivasi besar untuk anak-anakku.’

Semakin ia memikirkannya, semakin menarik ide itu. Dan betapa menakjubkannya nanti saat bakat Eugene benar-benar mekar sepenuhnya di masa depan? Jika saat itu Eugene masih jauh melampaui anak-anak garis utama, maka….

Bukan hanya keluarga utama yang diuntungkan, tapi seluruh Lionheart akan mendapat kehormatan.

“...Yah, tapi sebelum itu, kita harus rayakan dulu,” gumam Gilead sambil menoleh.

Labirin dan gua yang menghubungkannya sudah lenyap. Anak-anak menatap sekeliling dengan wajah bingung, belum memahami keadaan mereka.

“...Haaagh!” Gargith, yang tadinya tergeletak di lantai, melompat bangun dengan terengah.

Setelah pertarungannya melawan troll, ia sempat menuju pusat labirin, tapi tenaganya habis di jalan dan ia akhirnya pingsan. Namun kini, setelah sihir menghilang, semua luka di tubuhnya pun lenyap.

“Apa yang terjadi dengan bos monster itu?” tanya Gargith.

“Sudah mati,” jawab Dezra dengan nada sinis, menatap Gargith dengan tatapan jijik.

“Siapa yang membunuhnya?” tanya Gargith lagi.

“Aku,” jawab Eugene dengan senyum lebar.

0 komentar:

Posting Komentar

My Instagram