Chapter 19.1: Ruang Harta (3)

 

Meskipun sekarang Eugene sudah memiliki Wynnyd, bukan berarti ia bisa langsung memanggil Spirit begitu saja. Bagaimanapun juga, meskipun magic Spirit hanya membutuhkan sedikit mana, tetap ada jumlah minimal mana yang harus dimiliki. Dan Eugene, yang bahkan belum mulai melatih mananya, sama sekali tidak punya seujung jari pun mana di tubuhnya.

Bahkan bagi Eugene, ini jelas masalah yang tidak bisa dia abaikan.

Upacara Pewarisan Darah sudah selesai. Itu berarti Eugene kini bebas menggunakan pedang sungguhan, dan dia juga sudah bisa mulai berlatih mana.

Sebagai keturunan Sang Legenda Besar Vermouth, keluarga Lionheart memiliki kitab pelatihan mana yang jauh melampaui kitab mana milik keluarga ksatria, klan prajurit, atau bahkan milik para tentara bayaran. Kitab itu sudah ada sejak tiga ratus tahun lalu, dan terus dimurnikan hingga sekarang.

Cabang-cabang collateral keluarga Lionheart pun sesungguhnya berasal dari garis utama. Maka kitab pelatihan mereka pun pada dasarnya juga bersumber dari kitab utama. Hanya saja, makin lama makin terdistorsi hingga kualitasnya jatuh begitu jauh, sampai-sampai tak bisa dibandingkan dengan kitab dari garis utama.

Perbedaan kualitas inilah yang menjaga dominasi garis utama atas cabang-cabang collateral.

‘Kalau kitab keluarga kami sendiri… meski belum kulihat, aku yakin tak ada yang istimewa,’ Eugene mendengus dalam hati.

Lagipula, garis keturunannya sudah terpisah dari keluarga utama sejak ratusan tahun lalu, dan selama itu tak seorang pun dari darah mereka berhasil mengangkat nama keluarga lagi.

‘Ayahku saja… kekuatannya sama sekali tidak bisa dibilang hebat.’

Sejak usianya sepuluh tahun, Eugene sudah berhenti berpura-pura berlatih tanding dengan ayahnya. Ia masih ingat betul perut ayahnya yang buncit, gerakannya yang lamban, serta napasnya yang cepat terengah hanya karena beberapa ayunan pedang.

Gerhard, ayahnya, sering kali mengeluh bahwa dirinya tak punya bakat. Bahkan semakin dekat ke hari upacara, semakin sering ayahnya mengatakan hal itu dengan wajah hampir menangis.

‘...Tetap saja, karena masih turunan dari kitab utama, kitab pelatihan mana keluarga kami seharusnya tidak terlalu buruk.’

Dan kalau pun ternyata benar-benar buruk, Eugene masih punya jalan lain. Toh, meskipun sudah lewat tiga abad, dia tetaplah orang yang dulu cukup kuat untuk disebut rekan Sang Hero. Kitab pelatihan mana yang ia gunakan di kehidupan sebelumnya meski murah dan biasa masih akan berguna sampai sekarang.

‘Kalau pun kurang, aku bisa mencampurnya dengan kitab keluarga.’

Dengan pengalamannya dulu, itu takkan terlalu sulit. Lagipula, tubuhnya yang sekarang jauh lebih berbakat dibandingkan tubuhnya di masa lalu.

‘Di kehidupan sebelumnya, aku bahkan langsung melompati tahap sword-light dan memainkan sword-force. Tak mungkin aku tak bisa melakukannya lagi sekarang.’

Membungkus pedang dengan lapisan mana disebut sword-light. Sedangkan sword-force adalah tahap di atasnya. Eugene sempat merenung usia berapa dia mencapai sword-force dulu? Seingatnya… di umur dua puluhan.

Saat itu, ia hanya mengandalkan kitab murah tentara bayaran. Karena kampung halamannya dihancurkan monster ketika ia baru berusia dua belas, Hamel muda tak punya pilihan selain menjadi tentara bayaran demi membalas dendam….

Kenangan itu bukan sesuatu yang ingin dia ingat kembali.

Pada akhirnya, justru karena latihan keras dengan kitab murahan itu, ia mendapat nama besar. Tentunya, bukan dengan mempraktikkannya mentah-mentah. Eugene mengubahnya sesuai dirinya sendiri.

Setelah itu, ia bertemu Vermouth, Sienna, Anise, dan Molon. Ia mendapat banyak nasihat dari mereka. Terutama Sienna….

— Kamu membayar pakai uang sungguhan untuk sampah ini? Dasar tolol!

— Hei, kata-katamu agak keterlaluan, tahu?

— Bodoh! Sini duduk!

— Kenapa aku harus...

— Kalau kubilang duduk, ya duduk! Nah, tunjukkan padaku bagaimana kau latihan dengan sampah ini. Aku akan merobek-robeknya dan memperbaikinya!

…Benar-benar banyak yang ia terima dari mereka.

***

penerjemah: Idran 

***

Setelah berpisah dengan Gilead di kediaman utama, Eugene kembali ke paviliun. Gilead langsung pergi mencari Lovellian, sementara Eugene menuju aula latihan di paviliun tempat Dezra, Gargith, dan Nina sudah menunggu.

“Cepat tunjukkan pada kami!” seru Dezra begitu melihat Eugene.

Matanya langsung terpaku pada Wynnyd, pedang yang tergantung di pinggang Eugene.

“...Kenapa kau tidak memilih tombak?” tanyanya.

“Itu pilihanku,” jawab Eugene santai.

“Tapi kau hebat pakai tombak!”

“Matamu di mana waktu di labirin kemarin? Kau tak lihat aku juga jago pakai pedang?”

Dezra langsung manyun. Ia ingin membantah, tapi bayangan Eugene menghabisi minotaur kemarin membuatnya tak bisa berkata apa pun.

“Kelihatan terlalu ringan,” komentar Gargith sambil mengusap dagunya. “Dengan kekuatanmu, pedang besar atau kapak akan lebih cocok. Atau palu.”

“Seperti kubilang, ini pilihanku.”

“Yah, ringan bukan berarti buruk. Lagipula ini senjata dari ruang harta keluarga utama… Jadi, bagaimana?”

“Apa maksudmu ‘bagaimana’?” Eugene menaikkan alis.

“Aku bicara soal suplemen pertumbuhan otot keluargaku. Karena upacara sudah selesai, ikutlah denganku ke rumah keluarga ku. Aku akan bicara pada ayahku supaya kau diberi sebanyak mungkin suplemen. Kalau ditambah latihan gila-gilaanmu, hasilnya pasti luar biasa. Tidak, lebih baik lagi, kita berlatih bersama!”

Tawaran Gargith tulus. Ia benar-benar ingin menjalin persahabatan dengan Eugene. Bagaimanapun, inilah pertama kalinya dalam sejarah keluarga Lionheart seorang collateral mengalahkan garis utama di upacara.

“Lagipula, bukankah kau bilang tak ada ksatria di Gidol yang bisa melatihmu? Di keluarga kami banyak ksatria hebat. Yang terbaik tentu saja ayahku. Kalau kau ikut, ayah juga pasti mau mengajarimu,” bujuk Gargith lagi.

“Tidak usah,” tolak Eugene singkat.

“Tch, berhenti ngoceh, babi besar. Cepat keluarkan pedangmu,” sela Dezra dengan kasar.

“...Nina,” Eugene menghela napas, lalu menggenggam gagang Wynnyd. “Sudah pesan makanan?”

“Sudah, Tuan,” jawab Nina.

“Air panas untuk mandi?”

“Itu juga sudah disiapkan.”

“Bagus.”

Eugene mengangguk puas, lalu menarik Wynnyd keluar. Suara logam yang lembut membuat sudut bibirnya terangkat. Pandangannya menelusuri bilah tipis berwarna biru-keperakan itu.

Tajamnya begitu mengintimidasi, seolah sentuhan kecil saja bisa melukai jari. Dan bila dialiri mana, pedang ini akan memanggil Spirit angin. Eugene tahu betul betapa kuatnya senjata ini.

Tanpa perlu sword-light atau sword-force, dukungan Spirit angin saja bisa membungkus pedang dengan bilah angin. Ayunan pedang seperti itu bisa memotong apa saja seolah kertas tipis. Bahkan bisa menembakkan sabit angin ke musuh jauh, atau dipakai menangkis serangan.

Tentu saja, untuk saat ini Eugene belum bisa melakukannya.

“Pedang apa itu?” tanya Dezra dengan mata berbinar.

“Namanya Wynnyd,” jawab Eugene. “Kata Patriark, pedang ini dilindungi king Spirit. Kalau aku sudah mulai melatih mana, mungkin aku bisa memanggil Spirit .”

Eugene pura-pura hanya mengulang penjelasan Gilead, meski sebenarnya dia tahu jauh lebih banyak. Dezra langsung merengut, matanya penuh iri.

“...Keren sih, tapi... pasti ada banyak tombak yang lebih hebat. Kupikir kau pasti ambil tombak,” gumamnya kesal.

“Memang banyak tombak,” jawab Eugene menggoda.

“Eh? Kau lihat Dragon Spear Kharbos? Sekali tusuk bisa keluar napas naga, katanya bahkan bisa menghancurkan gunung!”

“Aku tidak tahu yang mana itu.”

“Kalau Demon Spear Luentos? Ada? Itu favoritku. Katanya itu tombak terkuat yang pernah dipakai Vermouth.”

Mata Dezra sampai berkaca-kaca penuh hasrat. Sebagai pengguna tombak, ia jelas terobsesi.

“Aku juga pernah dengar,” Gargith menimpali. “Bukankah itu tombak yang dulu dipakai Demon King Cruelty?”

Eugene tak menjawab. Ia hanya memasukkan kembali Wynnyd ke dalam sarungnya.

0 komentar:

Posting Komentar

My Instagram