'..Demon King of Cruelty.'
Demon king kedua dari Helmuth , Eugene masih mengingat dengan jelas betapa mengerikan dan kuatnya Demon King of Cruelty itu.
Tiga ratus tahun lalu, di Devildom Helmuth, ada lima Demon King. Urutan kekuatan mereka adalah:
1. Demon King of Destruction (Raja Iblis Penghancuran)
2. Demon King of Incarceration (Raja Iblis Pemenjaraan)
3. Demon King of Fury (Raja Iblis Amarah)
4. Demon King of Cruelty (Raja Iblis Kekejaman)
5. Demon King of Carnag (Raja Iblis Pembantaian)
Vermouth dan para rekannya memulai penaklukan mereka dari yang terlemah, Demon King of Carnag di peringkat kelima.
Dan akhirnya, Hamel tewas di kastil Demon King of Cruelty.
Tombak demon Luentos adalah senjata yang digunakan oleh Demon King of Cruelty. Setelah membunuhnya, Vermouth menjadi tuan baru tombak itu. Hamel sebenarnya juga ingin menggunakan senjata tersebut, tapi seperti namanya, Tombak demon itu memancarkan kekuatan demon yang begitu mengerikan sehingga tak seorang pun bisa menggunakannya selain Vermouth.
“...Salah kalau bilang Tombak demon Luentos adalah senjata terkuat milik Sang Vermouth. Yang terkuat itu jelas Palu Annihilation Jigollath,” ujar Gargith setelah berpikir sejenak.
“Demon King of Cruelty jauh lebih kuat daripada Demon King of Carnag,” bantah Dezra, membela pilihannya.
“Urutan kekuatan Demon king tidak ada hubungannya dengan urutan senjata mereka.”
Kalau dipikir lagi, Palu Annihilation juga tidak ada di dalam penyimpanan kemarin, Eugene merenung, mengabaikan perdebatan mereka.
Dari semua senjata Vermouth, hanya Palu Annihilation dan Tombak demon yang dulunya dimiliki Demon king.
Wajar saja. Senjata macam itu terlalu berbahaya kalau cuma dibiarkan di gudang harta. Mungkin disegel di tempat lain. Lagi pula, senjata-senjata itu memang tak bisa digunakan siapa pun selain Vermouth.
Meski begitu, Eugene tak bisa menahan rasa menyesal. Dulu, ia sering mengidamkan senjata-senjata itu.
“Yang paling kuat jelas Tombak Demon.”
“Bukan, Palu Annihilation yang paling kuat.”
Gargith dan Dezra mulai bertengkar seperti anak kecil. Eugene hanya menggelengkan kepala melihat tingkah mereka, lalu berjalan ke tengah ruang latihan. Nina buru-buru mengikuti dari belakang.
“Persiapan makan malam sebentar lagi selesai,” bisiknya mengingatkan.
“Aku juga akan selesai sebentar lagi,” jawab Eugene.
Meski ia belum bisa memanggil spirit, Wynnyd tetaplah pedang yang luar biasa.
Dan ini juga pedang sejati pertama yang kupegang di kehidupan ini.
Mungkin karena itu, ia sudah merasa terikat padanya. Eugene mencabut Wynnyd, menelusuri mata pedang dengan pandangan penuh perhatian. Saat ujung jarinya menyentuh sisi bilah, dinginnya logam membuatnya merinding. Rasanya jelas berbeda dengan pedang kayu berinti besi yang biasa ia gunakan. Meski lebih ringan, pedang ini adalah senjata sejati yang bisa mengakhiri hidup seseorang dengan satu tebasan.
“Pokoknya Tombak demon lebih kuat!”
“Tidak, Palu Annihilation lebih kuat!”
Mereka berdua masih ribut. Eugene hanya menatap mereka dengan iba, lalu kembali memusatkan perhatian pada Wynnyd.
Baik Tombak demon maupun Palu Annihilation adalah senjata yang luar biasa, bahkan Eugene sendiri sulit memilih mana yang lebih unggul. Namun, kalau harus menunjuk satu senjata terkuat milik Vermouth, ia tak akan ragu sedikit pun.
Itu adalah Moonlight Sword.
Pedang itu adalah kehancuran murni yang berbentuk pedang; bahkan Devildom Helmuth memilih untuk menyegelnya. Eugene masih ingat betapa mengerikannya pedang itu. Setelah Vermouth mendapatkan Moonlight Sword, bahkan Holy Sword jarang sekali digunakan.
Baik Demon King of Cruelty maupun Demon King of Fury sama-sama ditebas dan binasa di bawah cahaya destruktif pedang itu. Tak ada Tombak demon atau Palu Annihilation yang bisa menandingi sinar kehancuran Moonlight Sword.
Eugene menyingkirkan pikirannya tentang pedang itu, lalu mulai mengayunkan Wynnyd.
Swoosh.
Udara seakan terbelah, dan cahaya lembut berkilau dari bilah yang diayunkan perlahan. Dari ujung jari kaki hingga puncak kepalanya, rasa gairah dan kepuasan membanjiri tubuhnya.
“...Wow….” Nina tanpa sadar bergumam kagum saat Eugene mengalir mulus melalui gerakan tarian pedangnya.
Bahkan bagi Nina yang tak paham soal pedang, tarian pedang Eugene terlihat luar biasa. Gargith dan Dezra yang tadinya bertengkar pun terdiam, terhipnotis oleh gerakan itu.
Tidak ada kecepatan luar biasa, tidak ada teknik mencolok. Namun, aura aneh dari Wynnyd berpadu sempurna dengan setiap gerakan Eugene. Mengalir halus, tanpa putus.
'Aku harus benar-benar membawanya ke rumah kami', pikir Gargith sambil menelan ludah.
'Apa yang harus kukatakan agar dia mau ikut? Apa aku harus mengundangnya melihat-lihat rumah? Tapi ulang tahunku masih lama' gumam Dezra dalam hati, bibirnya merengut kecewa. Kalau saja ulang tahunnya lebih dekat, ia bisa menjadikannya alasan untuk mengundang Eugene.
***
Penerjemah: Idran
***
“...Kalung yang biasa saja,” kata Lovellian akhirnya, membuka mata dan menyerahkan kalung di tangannya pada Gilead. “Aku sudah memeriksanya dengan teliti, dan benda ini sama sekali tidak memiliki magic.”
“... Benarkah?”
Gilead berusaha terdengar santai, tapi rasa malu menyelinap di hatinya. Benar saja, kalung itu tidak punya kekuatan apa pun. Malah, menyebutnya “kalung biasa” saja terasa berlebihan. Bukankah itu cuma perhiasan murahan yang sudah usang?
Tapi kenapa kalung semacam itu bisa masuk ke gudang harta keluarga utama? Eugene bilang kalung itu terselip jauh di pojok rak terdalam. Gilead sendiri sudah berkali-kali masuk ke gudang untuk mencari senjata, tapi ia tidak pernah sekali pun melihat kalung itu sebelumnya.
Dan kalung itu bahkan tidak terdaftar dalam sistem magic gudang.
Artinya, ada orang lain yang memasukkannya ke sana. Tapi siapa? Patriark sebelumnya bukanlah tipe orang yang suka bercanda bodoh seperti itu. Kalau begitu, mungkinkah leluhur yang lebih lama? Tapi, apa alasannya?
“Kalung ini benar-benar ada di dalam gudang?” tanya Lovellian.
“Ya,” Gilead mengangguk.
“...Apa mungkin anak itu, Eugene, hanya sedang mengerjaimu?”
“Untuk apa dia melakukan itu?”
“Hm… dari yang kulihat di labirin, anak itu cukup licik dan suka mengusili. Bisa jadi ia sengaja membawa kalung murahan miliknya sendiri, lalu memilih itu di hadapan Patriark untuk memberi kesan baik.” Lovellian berdeham kecil, melanjutkan dengan hati-hati. “Jujur saja, Lord Gilead… kamu pasti merasa agak terkesan ketika Eugene kembali hanya dengan kalung sepele alih-alih senjata berharga, bukan?”
“...Aku tidak bisa menyangkalnya,” Gilead tersenyum kecut. “Tapi, bukankah dia hanya anak berusia tiga belas tahun? Sulit membayangkan seorang bocah bisa merencanakan hal sejauh itu hanya demi membuatku senang.”
“Itu memang pertaruhan besar. Untungnya, kau cukup berlapang dada. Kalau tidak, bisa saja ia kehilangan kesempatan mendapatkan harta sejati.”
Lovellian hanya mengutarakan kecurigaan kosong. Bahkan ia sendiri tak sepenuhnya percaya Eugene cukup licik untuk melakukan itu. Setelah berpikir sejenak, Lovellian kembali mengulurkan tangan.
“Izinkan aku memeriksanya sekali lagi,” katanya.
“Bukankah kau sudah selesai?” Gilead bertanya balik.
“Benar, aku sudah memastikan tidak ada magic tersembunyi. Tapi sekarang aku juga penasaran dengan asal-usulnya. Aku ingin menelusuri jejaknya.”
“Bagaimana caranya?”
“Hm… sederhananya, aku akan membaca ‘ingatan’ dari mana yang menempel pada kalung ini. Mana ada di mana-mana. Meski tidak bisa diajak bicara, ada magic yang memungkinkan kita membaca memori yang tersisa. Itu adalah ciptaan master terhormat sekolah kami, Sienna Sang Bijaksana.”
Nada bangga terdengar jelas di suaranya. Tak heran, karena memang hanya Sienna dalam sejarah magic yang pernah menemukan cara berinteraksi dengan mana seperti itu.
“Kalau begitu, aku serahkan padamu,” ucap Gilead tanpa menunjukkan kekaguman yang sama.
Sedikit kecewa karena Gilead tidak menghargai keagungan Sienna, Lovellian tetap mengambil kalung itu kembali. Ia memusatkan konsentrasi, menyelami mana yang terkandung di dalam benda tersebut.
Mana ada di mana-mana. Hampir semua benda pun memiliki jejak mana. Meski lemah, tetap ada memori samar yang bisa dibaca darinya.
“...Mmm…” desah Lovellian, keringat mulai muncul di dahinya. “...Tidak ada yang istimewa. Dari bacaan ini, kalung ini berasal sekitar seratus tahun lalu. Aku melihat… ibu kota? Ya, di pinggir jalan… dijual di sana. Lalu… hmm… tidak bisa lebih jauh lagi. Sepertinya magic gudang harta menghapus jejak setelah masuk ke sana.”
“Seratus tahun lalu…” gumam Gilead.
“Ya, sekitar waktu itu.”
Itu berarti kalung ini sudah ada sejak beberapa generasi lalu. Kini tak ada lagi yang bisa ditanyai soal asal-usulnya. Dugaan yang tersisa hanyalah, mungkin salah satu Patriark lama sengaja menaruhnya di sana sebagai semacam lelucon aneh.
“Lalu, apa yang akan kau lakukan dengan kalung ini?” tanya Lovellian.
“Kalau memang tidak ada magic di dalamnya, aku akan memberikannya pada Eugene. Bagaimanapun juga, dia memilih benda ini dengan mengorbankan kesempatan mengambil harta sejati.”
“Itu sebenarnya terlalu berlebihan… tapi kurasa dia memang sangat menyukainya,” Lovellian terlihat bingung.
“Tidak ada alasan untuk melarangnya memilikinya,” jawab Gilead sambil tersenyum.
Lovellian membalas senyum itu, lalu menyerahkan kalung kembali.
Lovellian, Kepala Red tower, dengan semua kehebatan magicnya… tetap saja gagal menyadari satu hal.
Kalung itu bukanlah benda biasa. Itu adalah kalung yang pernah dipakai Hamel tiga ratus tahun lalu.
Dan bacaan mana yang ia lakukan, telah menipunya.
0 komentar:
Posting Komentar