Chapter 20.2: Tawaran (1)

 

Kenapa orang itu sampai melakukan hal kayak gini?

Bukan hal aneh kalau ada seseorang yang mengambil peninggalan sahabatnya yang sudah mati, lalu menyimpannya di ruang harta sebagai kenang-kenangan. Vermouth memang kelihatannya bukan tipe orang yang suka hal-hal remeh begitu, tapi di sisi lain, Eugene juga nggak pernah nyangka Vermouth bakal menikahi lebih dari sepuluh istri setelah pulang dari Devildom. Itu aja udah bukti jelas, kalau waktu bisa mengubah siapa pun.

“Kalau mereka beneran mau mengenangku, harusnya mereka bunuh semua Demon King sekalian.”

Kalau nggak bisa, ya paling nggak kalung ini didaftarin resmi ke dalam ruang harta. Dengan campuran rasa kesal dan curiga, Eugene mengangguk pelan, pura-pura mengerti.

“...Kalau gitu, boleh nggak aku ambil kalung ini?”

“Kalung itu nggak ada harganya sama sekali. Kamu yakin masih mau?”

“Entah kenapa, rasanya kayak kalung ini manggil aku.”

“Hmm. Yah, ada kalanya benda memang bisa begitu.”

Anak-anak sering kali tertarik sama hal-hal aneh. Dulu Gilead juga pernah ngumpulin koin tua waktu masih kecil.

“Kamu memang suka benda antik kayak gini?” tanya Gilead penasaran.

Eugene mengelak, “Bukan berarti aku suka banget, tapi aku ngerasa kalung ini… anehnya bikin aku tertarik.”

“Kalau kamu benar-benar mau, simpan saja.”

“Terima kasih banyak.”

Dengan senyum lebar, Eugene langsung menggantungkan kalung itu ke lehernya sebelum menatap Gilead lagi. Saat ketahuan sedang menatap Eugene, Gilead berdeham pelan lalu bangkit dari kursinya.

“...Eugene. Aku manggilmu ke sini memang untuk ngasih kalung itu, tapi… ada satu alasan lain juga.”

“Alasan apa, Lord?”

Alih-alih langsung menjawab, Gilead melangkah ke kursi di seberang Eugene dan duduk di sana. Dia meraih cangkir teh dan mulai memainkan gagangnya, seakan sedang merapikan pikirannya.

“...Mungkin ini terdengar mendadak, tapi aku punya sebuah tawaran untukmu. Bukan sesuatu yang buruk, malah justru demi masa depanmu.”

‘Jangan-jangan…,’ Eugene mendecakkan alis, kesal dengan cara bicara Gilead yang bertele-tele.

Tawaran yang menyangkut masa depan? Kalau kata-katanya kayak gitu, opsinya pasti cuma segelintir.

“Eugene, apa kau...”

“My Lord,” Eugene langsung memotong.

Gilead terhenti, menoleh penasaran. “Hm?”

Eugene melanjutkan, “Ciel itu memang baik dan manis, tapi aku belum mau mikirin soal pernikahan sekarang.”

Dia yakin betul, ini pasti soal pertunangan dengan Ciel. Kalau dipikir-pikir, memang ada yang aneh dari awal. Walau Eugene bikin kembarannya babak belur, Ciel masih saja datang menemuinya keesokan harinya dengan senyum ceria; sejak itu, dia terus nempel kayak kutu.

Sebelum Upacara Pewarisan Darah, Ciel juga kelewat ramah sampai terasa janggal. Apalagi omong kosongnya tentang Eugene harus manggil dia kakak hanya karena dia lahir beberapa bulan lebih dulu.

‘Pantas aja, ternyata dia udah coba naruh posisi sejak awal sebagai calon pasanganku.’

Itu pasti alasannya. Dan di labirin kemarin? Ciel bahkan sempat cekikikan saat melihat saudaranya dihajar minotaur.

‘Dia duduk di sebelahku waktu itu juga.’

Rasanya dia juga beberapa kali sengaja menjauhkan Dezra supaya nggak bisa dekat dengan Eugene.

Mengingat semua interaksi mereka sejak datang ke rumah utama, Eugene semakin yakin dengan dugaannya. Mungkin nggak direncanakan dari awal, tapi setelah kembar itu ngajak ribut lalu kalah, keluarga pasti langsung mikir buat ngejebaknya ke pernikahan teratur.

‘Pantas aja. Makanya dia rela ngasih aku senjata dari ruang harta mereka. Maksudnya biar aku terikat dengan keluarga utama lewat Ciel.’

Bisa kepikiran skema busuk kayak gini, tapi masih bersikap penuh hormat di permukaan. Masa depan anak perempuannya sendiri pun mereka korbankan demi tujuan itu? Gila, liciknya bener-bener turun-temurun dari Vermouth.

‘Nggak, bahkan Vermouth nggak bakal serendah itu.’

Dalam kepala Eugene, sosok Gilead langsung berubah jadi sesuatu yang lain.

Dia buru-buru melanjutkan untuk menolak, “Lagian aku masih terlalu muda buat mikirin nikah. Aku juga butuh izin Ayah dulu dan meski Ayah ngizinin, aku nggak mau nikah sama Ciel”

“Tunggu dulu,” sela Gilead dengan wajah kaget, mengangkat tangannya. “Eugene, sepertinya kamu salah paham.”

“Hah?”

“Aku nggak manggilmu ke sini buat menjodohkanmu dengan Ciel. Itu… hmm… itu keputusan Ciel sendiri nantinya. Dan tentu, pendapatmu juga penting.”

Sebenarnya, Gilead memang menganggap itu ide bagus, tapi dia nggak ada niat maksa salah satu dari mereka.

“... Benarkah?” Eugene merasa wajahnya panas terbakar malu.

Kayaknya barusan dia benar-benar keblabasan.

“Aku manggilmu karena aku mau menawarimu… untuk jadi anak angkatku.”

“...Hah?”

Eugene kira dirinya udah cukup kaget, tapi ucapan berikutnya bikin shock lebih parah.

‘Jadi mereka punya opsi itu juga, toh.’

Dia bisa ngerti alasan di balik tawaran adopsi itu, tapi di saat bersamaan, dia pengen kabur lewat jendela saking malunya. Dia pengen ngerobek mulutnya sendiri karena barusan bilang nggak mau nikah sama anak umur tiga belas tahun. Lebih dari itu, dia pengen gebuk kepalanya sendiri karena mikir dia beneran mau dijodohin sama bocah itu.

‘Aku pasti lagi gila.’

Karena terus-terusan harus bertingkah kayak anak kecil, pikirannya juga jadi ikutan kayak bocah.

“...Adopsi… uh… ini terlalu tiba-tiba…,” Eugene bergumam bingung.

“Tapi nggak setiba-tiba pertunangan, kan?” goda Gilead sambil tersenyum.

“Maaf, aku salah paham.”

“Tapi kamu beneran nggak suka kalau menikah dengan Ciel? Dari cara kamu ngomong, rasanya kamu nggak sepenuhnya nolak juga….”

“Tidak. Aku benci.”

“Hm….” Gilead kelihatan kecewa, tapi segera menyingkirkannya dan melanjutkan, “...Lupakan soal pernikahan dulu. Bagaimana menurutmu soal adopsi ini?”

Eugene ragu-ragu, “Tapi… Ayahku masih menungguku di Gidol.”

“Kalau kamu mau, aku bisa undang Gerhard tinggal di rumah utama juga.”

“Berarti aku punya dua ayah?”

“Benar. Tapi ayah kandungmu tetaplah Gerhard.”

“Kalau gitu… aku nggak ngerti apa gunanya aku diadopsi.”

“Nggak perlu dipikirin terlalu rumit,” Gilead tersenyum tipis sambil mengangkat cangkir tehnya. “Intinya cuma biar keluargamu bisa resmi berada di bawah naungan keluarga utama. Secara nama, aku ayah angkatmu, tapi kamu nggak wajib memperlakukanku seperti ayah kandung. Tentu, semua itu kalau kamu setuju.”

“Aku rasa ini bakal bikin Ayah susah hati,” kata Eugene jujur.

“Pasti banyak yang harus kubicarakan dengan Gerhard, tapi Eugene, aku juga seorang ayah dari tiga anak. Aku nggak berniat merebutmu dari Gerhard.”

“...Hmm….”

“Meski aku belum pernah bertemu Gerhard, aku berjanji akan menghormatinya seperti kakakku sendiri.”

Eugene menyipitkan mata, “Kalau begitu, kalau aku nolak, Tuan Patriark nggak akan menghormati ayahku?”

“Mana mungkin,” Gilead tertawa lepas. “Jujur aja, aku malu ngucapin ini, tapi aku bukan orang sekecil itu. Kalau kamu nolak… yah, aku cuma akan merasa sedikit menyesal. Itu aja. Aku tentu tetap menghargai pilihanmu dan mendoakan masa depanmu. Tapi… aku benar-benar berharap masa depanmu bisa bersinar sebagai bagian dari keluarga utama.”

“...Sepertinya ini bukan keputusan yang bisa kuambil sendirian,” Eugene akhirnya memilih menunda.

Pada akhirnya, keputusan ada di tangannya, tapi dia tetap pengen dengar pendapat Gerhard.

“Kalau gitu, kita putuskan setelah pesta besok,” kata Gilead.

Pesta yang awalnya untuk merayakan akhir dari Upacara Pewarisan Darah dijadwalkan berlangsung malam berikutnya.

“Akan kukirim utusan ke Gidol untuk menjemput ayahmu dengan penuh hormat,” tambah Gilead.

“Aku berterima kasih atas pertimbangan Tuan Patriark, tapi aku juga merasa agak nggak enak karena merepotkan.”

“Jangan bilang begitu. Kamu nggak berhutang apa pun padaku. Kamu sudah membuktikan dirimu sebagai anak paling menonjol di Upacara Pewarisan Darah tahun ini. Akan sangat menyedihkan kalau ayahmu nggak bisa hadir melihat putranya di saat penuh kejayaan.”

“Terima kasih banyak.”

Tanpa ragu lagi, Eugene menundukkan kepala memberi hormat. Sambil begitu, dia juga menyembunyikan rasa senangnya. Sebenarnya, dia cukup tertarik dengan tawaran untuk bergabung dengan keluarga utama lewat adopsi.

Kalau saja sifat Gerhard sama payahnya dengan kemampuan pedangnya, Eugene pasti langsung setuju tanpa pikir panjang. Tapi nyatanya, Gerhard adalah ayah yang benar-benar penuh kasih. Walaupun karena kenangan masa lalunya Eugene nggak pernah benar-benar menganggap Gerhard sebagai ayah, dia tetap menyukai dan menghormatinya.

“...Tadi Lord bilang ini juga demi masa depanku,” Eugene menatap serius sambil meletakkan cangkir tehnya. “Maksudnya gimana, tepatnya?”

“Kalau kamu diasuh keluarga utama, banyak keuntungan yang bisa kamu dapat,” Gilead mencoba meyakinkannya, senang melihat Eugene tertarik. “Contohnya… bukankah kamu pernah bilang di Gidol nggak ada ksatria yang bisa melatihmu? Di rumah utama, kamu nggak perlu khawatir soal itu. Kami punya banyak ksatria hebat.”

“Kalau aku mau belajar, aku maunya belajar dari yang terkuat,” Eugene menuntut, tersenyum sepolos mungkin. Menatap lurus pada Gilead, dia menambahkan, “Kalau aku diadopsi Lord Patriark, apa aku bisa belajar langsung dari anda?”

Eugene penasaran seberapa kuat sebenarnya Patriark keluarga Lionheart.

0 komentar:

Posting Komentar

My Instagram