Chapter 21.1: Tawaran (2)

 

Gilead sama sekali nggak tersinggung dengan permintaan berani tapi kekanak-kanakan itu. Sebaliknya, dia justru merasa senang sekaligus iba melihat tatapan lapar di wajah Eugene. Kalau seorang anak benar-benar keturunan keluarga pejuang, maka wajar kalau mereka punya hasrat serakah seperti itu.

“...Tentu saja, aku bisa mengajarimu,” ucap Gilead sambil tersenyum bahagia menatap Eugene. “Tapi, kalau kau mau belajar dari yang paling hebat, sebenarnya ada seseorang yang lebih baik dariku.”

“Siapa?” tanya Eugene penasaran.

“Itu Gion.”

Eugene langsung teringat Gion dengan gigi putihnya yang mengilap. Waktu membukakan pintu untuk Eugene, Gion sempat bilang kalau dia ingin mereka bisa sering bertemu.

“Dulu, kemampuanku memang lebih baik darinya. Tapi sekarang, sudah nggak lagi,” Gilead mengaku.

“Serius?” Eugene agak ragu.

“Ada alasan bagiku untuk bohong dan merendahkan diriku sendiri?” Gilead balik bertanya.

Mata Eugene berkilat penuh rasa ingin tahu.

Dengan tawa rendah, Gilead melanjutkan, “Kau sudah diajari kitab pelatihan mana keluarga dari ayahmu?”

“Belum, aku bahkan belum tahu namanya,” jawab Eugene.

“Itu aneh,” komentar Gilead.

Biasanya, anak-anak dari cabang keluarga sudah diajari kitab pelatihan mana mereka sebelum ikut Upacara Pewarisan Darah. Tujuannya supaya begitu upacara selesai, mereka bisa langsung mencoba memulai pelatihan mana. Karena memang sudah tertinggal beberapa tahun dari anak-anak keluarga utama, para keturunan cabang biasanya berusaha mengejar ketertinggalan itu, bahkan kalau cuma selisih beberapa hari.

“Aku bilang ke ayah, aku nggak mau belajar dulu. Kalau aku belajar sebelum waktunya, aku takut malah tanpa sengaja mulai melatih mana,” Eugene menjelaskan.

“Jadi begitu. Lagipula, kau rajin sekali sampai nggak pernah sekalipun melewatkan latihan selama kau di sini…,” Gilead mengangguk paham.

Tapi dalam hati, dia merasa iba.

Keluarga Gerhard adalah salah satu yang paling lemah di antara semua cabang. Memang, selama masih menyandang nama Lionheart, keluarga seperti Gerhard tetap bisa hidup makmur sebagai tuan tanah. Tapi, anak-anak mereka nggak bisa berharap lebih dari itu.

Sementara keluarga seperti Dezra dan Gargith? Di antara keluarga cabang, jumlah keluarga sekuat mereka bisa dihitung dengan jari. Mereka sanggup menyiapkan banyak hal untuk mendukung pertumbuhan anak-anaknya.

‘Mereka pasti sudah membeli batu mana sejak bertahun-tahun lalu.’

Kristal mana bisa ditemukan di tubuh monster tingkat tinggi atau dari bijih kaya mana seperti mithril. Kumpulan energi itu disebut batu mana. Waktu memulai inisiasi mana, batu-batu ini punya peran penting.

‘Rumah Gerhard pasti nggak sanggup beli batu mana….’

Harga batu mana sangat mahal karena berguna banget sekaligus sulit didapat. Selain itu, supaya pemula bisa memanfaatkan batu mana dengan maksimal, mereka butuh bimbingan dari orang yang benar-benar ahli. Eward, Cyan, dan Ciel, semuanya langsung dibimbing Gilead sendiri waktu pertama kali memulai pelatihan mana.

Karena itulah Gilead merasa menyesal. Anak ini sudah jelas luar biasa, tapi tanah subur di rumah pedesaan Gerhard terlalu miskin untuk benar-benar menumbuhkan bakat Eugene.

Tapi kata-kata seperti itu nggak mungkin keluar dari mulutnya. Meski niatnya jujur karena khawatir, Gilead nggak mau omongan ceroboh malah bikin anak itu berbalik membenci ayah dan keluarganya sendiri.

Bukan Eugene yang harus diajak bicara soal itu. Tapi Gerhard.

Meski begitu, Eugene tetap bisa menebak apa yang ada di pikiran Gilead. Nggak sulit menebaknya, apalagi melihat rasa iba yang jelas-jelas tampak di mata sang Patriark.

‘Ya gimana lagi. Emang keluarga kami miskin kok.’

Setelah itu, mereka ngobrol soal macam-macam hal lain. Karena Eugene jadi tamu kehormatan di jamuan nanti, Gilead menanyakan apakah dia butuh sesuatu atau ingin ada hidangan khusus dihidangkan saat pesta.

Waktu terasa cepat berlalu. Saat pandangan ke jendela menunjukkan malam sudah benar-benar gelap, Gilead pun berdiri.

“Sepertinya aku sudah menahanmu terlalu lama,” ucap Gilead meminta maaf.

“Tidak, aku juga senang kok,” Eugene menyangkal.

“Nanti akan kupanggil orang untuk mengantarmu pulang, jadi tunggu sebentar.”

“Tak perlu. Jaraknya juga nggak jauh dari sini ke paviliun. Aku bisa jalan sendiri di malam hari,” Eugene meyakinkan.

Setelah menolak tawaran Gilead sekali lagi, Eugene keluar dari ruang Patriark. Saat menuruni lorong menuju tangga, dia langsung menyadari ada seseorang yang diam-diam menunggunya di ujung sana.

Itu Ancilla. Dia berusaha menata pertemuan ini seolah-olah kebetulan, tapi Eugene sama sekali nggak kaget. Bahkan sebelum Ancilla keluar dari tempat sembunyi, dia sudah ketahuan berkat wangi parfumnya.

Begitu muncul di tikungan, Ancilla memasang ekspresi terkejut.

“...Oh, astaga,” Ancilla berpura-pura kaget. “Ternyata Eugene, ya?”

“Se-selamat malam, Nyonya,” Eugene juga pura-pura terkejut sambil menundukkan kepala hormat. “Namaku Eugene Lionheart, asal dari Gidol.”

“Tentu, aku tahu namamu,” Ancilla menjawab dengan senyum palsu.

Ancilla benci banget sama Eugene. Bukan cuma karena dia sudah mempermalukan putra kesayangannya, tapi juga karena anak tengil ini jadi orang pertama yang bikin keluarga utama kalah dalam sejarah Upacara Pewarisan Darah. Nggak ada satu pun alasan bagi Ancilla untuk benar-benar menyukai Eugene.

Tapi, dia juga nggak bisa terang-terangan menunjukkan permusuhan. Bagaimanapun, Eugene jelas anak berbakat. Dengan kemampuan segini di usia semuda itu, kalau dia nggak mati konyol di tengah jalan, dia bakal terus berkembang dan bisa mengangkat keluarganya yang hina ke permukaan dalam sepuluh tahun ke depan.

‘Nggak ada gunanya bikin dia jadi musuh sejak awal.’

Karena itulah dia membiarkan Ciel terus lengket di sisi Eugene. Nggak kayak suaminya, Ancilla justru menganggap menjebak Eugene dan Ciel dalam pernikahan teratur adalah rencana masa depan yang menjanjikan.

“Kudengar kau ngobrol cukup lama dengan Patriark. Aku nggak tahu kalau kau masih di sini,” ucap Ancilla, tetap dengan senyum palsunya.

Eugene merasakan tekanan aneh di balik senyum manis dan nada bicara yang terlalu ramah itu.

Jadi, dia memutuskan mengetes maksudnya dengan sebuah pertanyaan, “Apa ada sesuatu yang ingin Anda bicarakan dengan ku?”

Gilead sebelumnya cukup menyukai sikap berani Eugene, tapi bagi Ancilla, ini terlalu arogan.

‘Anak ini sudah kebangetan sombongnya.’

Meski begitu, dia bisa paham alasannya. Wajar saja kalau anak kampung begini merasa bersemangat. Pertama kali ke kediaman utama, langsung menang melawan anak keluarga utama di hari pertama, lalu jadi juara upacara. Wajar kalau hidungnya agak naik.

Dia pengen banget menghancurkan kesombongan itu, tapi Ancilla menahan diri.

‘...Bagaimanapun juga, anak ini mungkin bakal jadi menantuku suatu hari nanti.’

Dengan pikiran itu, Ancilla berkata, “Sebenarnya aku penasaran dengan apa yang kau bicarakan dengan Patriark.”

“Itu pembicaraan pribadi antara aku dan Patriark, jadi maaf, aku nggak bisa bilang,” Eugene menolak halus.

“Oh, benar juga! Tentu saja. Aku nggak bermaksud menekanmu, jadi jangan salah paham. Sebenarnya, ada hal lain juga yang ingin kubicarakan….” Ancilla melanjutkan dengan nada seolah menyesal.

Eugene hanya memiringkan kepala, menunggu.

Ancilla masih dengan senyum ramah berkata, “Beberapa hari lalu, Cyan sangat kasar padamu, kan? Kalau dalam kondisi biasa, sebagai ibunya, aku pasti sudah datang minta maaf. Tapi karena waktu itu kami sibuk dengan upacara, permintaan maafku jadi tertunda.”

Iya kali. Kalau benar-benar mau minta maaf, Ancilla bisa langsung datang hari itu juga.

Tapi Eugene nggak menyinggungnya. Dia hanya menjawab, “Tak perlu. Waktu itu aku sudah menyelesaikan masalahku dengan Cyan.”

“Oh, ya ampun. Untuk anak seusiamu, kau benar-benar dewasa dan berhati lapang,” wajah Ancilla sedikit bergetar menahan kesal tapi tetap pasang senyum. “Kalau begitu, syukurlah. Soal Cyan, aku sudah memberinya peringatan keras. Semoga mulai sekarang, kalian bisa lebih akur.”

“Tentu, aku akan berusaha. Bagaimanapun juga, kita punya nama keluarga yang sama. Jadi pada akhirnya, bukankah kita semua tetap satu keluarga?” Eugene membalas sambil tersenyum.

Wajah Ancilla sedikit berubah rumit. Dia memang benar, tapi entah kenapa, saat kata “keluarga” keluar dari mulut bocah menyebalkan ini, rasanya sangat mengganggu.

“Boleh kalau aku pamit sekarang?” tanya Eugene sopan.

“...Ya, silakan,” jawab Ancilla.

Dia memang nggak mau menahan Eugene lebih lama. Harus berhati-hati supaya suaminya nggak curiga, juga harus waspada pada istri utama, Tanis. Nggak pantas kalau terlihat ngobrol lama dengan Eugene di lorong.

“Hati-hati di jalan,” ucap Ancilla sambil menepuk pundak Eugene dengan senyum tipis.

‘Brengsek nyebelin.’ Meski pertemuan ini sudah dia rencanakan, rasanya tetap saja dia salah langkah sejak awal. Tapi nggak apa, dia hanya perlu lebih berhati-hati lain kali.

“Ya. Semoga Anda juga punya malam yang indah,” Eugene menunduk sopan sebelum pergi.

Dia memang belum tahu pasti kepribadian apa yang disembunyikan Ancilla di balik senyumnya. Tapi, melihat gangguan yang sudah diizinkannya di hari pertama saja, jelas Ancilla punya sisi kejam. Karena itu, Eugene nggak mau cari masalah lebih jauh dengannya.

0 komentar:

Posting Komentar

My Instagram