Chapter 25.1: Latihan Mana (3)

 


Saat Eugene membuka mata lagi, dia sudah berada di ranjang yang dipakainya beberapa hari terakhir. Nina, yang sedari tadi menunggu di sisi ranjang, sampai terlonjak kaget lalu hendak memanggil seseorang, tapi Eugene langsung mengangkat tangan untuk menghentikannya.

“Jangan berisik dulu,” gerutunya pelan.

“B-biar saya panggil orang untuk membantu...” bisik Nina.

“Enggak usah,” Eugene menolak cepat. “Kamu diem aja.”

“Hah?” Nina bingung.

“Diem dan jangan ngomong apa-apa,” Eugene memaksa keluar kata-kata itu sambil memegangi kepalanya yang cenat-cenut.

Ingatannya tidak kabur. Eugene masih jelas mengingat apa yang ia lakukan sebelum ambruk, juga percakapannya dengan Tempest. Tapi sisa-sisanya bikin kepalanya berdenyut hebat, ditambah lagi ada rasa kosong di dalam tubuhnya. Sensasi ini mungkin asing buat Eugene yang baru tiga belas tahun, kalau saja dia tidak membawa ingatan Hamel. Itu adalah gejala kehabisan mana, dia sudah memeras habis mana yang sedikit itu sampai tak tersisa.

‘…Semua gara-gara Tempest maksa nongol langsung.’

Cuma buat membuka pintu menuju dunia spirit saja, semua mana-nya tersedot habis. Dari situ, Tempest mengambil alih dan turun ke dunia fisik sebentar dengan kekuatannya sendiri. Itu pun sudah jadi beban berat buat Tempest. Bahkan spirit kuat tidak bisa sembarangan membuka pintu dunia spirit sendirian. Tapi sebagai Spirit king, Tempest mampu memaksa membukanya, sambil menanggung beban itu sendiri.

‘Kayaknya dia sendiri terlalu antusias juga.’

Tempest dengan gegabah menanggung resikonya, memaksa turun hanya untuk memastikan kebenaran. Begitu kagetnya Wind Spirit King (Raja Roh Angin) itu saat tahu Eugene atau tepatnya Hamel sudah bereinkarnasi.

‘…Pasti makin bikin kaget lagi, bukan cuma karena aku lahir kembali dengan ingatan, tapi juga karena aku jadi keturunan Vermouth.’

Spirit mengenali orang lewat jiwa, jadi Tempest bisa mengenali si pemegang Wynnyd, Eugene, sebagai Hamel….

Mengingat itu bikin Eugene nyengir lebar.

Setelah menerima kenyataan bahwa dia memang bereinkarnasi, Eugene masih sering dihantui keraguan yang bikin risih.

Apa benar dia Hamel? Hamel yang ada dalam ingatan tiga ratus tahun lalu itu?

Atau… jangan-jangan dia bukan reinkarnasi, cuma orang lain yang ditanam ingatan Hamel?

‘Meski begitu, ingatan ini jelas nyata,’ Eugene selalu meyakinkan diri tiap kali rasa was-was itu muncul.

Dia juga menghibur dirinya dengan bilang, meski pun dia bukan reinkarnasi Hamel, toh ingatan ini tetap ada. Jadi ya, apa bedanya? Aku berpikir, maka aku ada. Keyakinan itu cukup jadi pegangan.

‘Tapi Tempest manggil aku Hamel,’ Eugene teringat lagi sambil nyengir.

Kalimat itu langsung menghapus semua keraguan jelek. Eugene menggeleng ringan dengan senyum lega.

“…Tuan Eugene, beneran nggak apa-apa?” Nina tanya ragu.

“Aku baik-baik aja. Aku pingsan berapa lama?”

“Kira-kira setengah hari….”

“Pasti bikin kalian khawatir.”

“Patriark dan Tuan Gion sudah menunggu di paviliun sejak tadi, menanti Tuan sadar.”

“Mereka nggak perlu repot begitu,” Eugene menggeleng sambil melirik ke pintu kamar yang tertutup.

Berkat mana yang terserap ke tubuhnya, inderanya jadi lebih peka. Dia bisa merasakan ada beberapa aura yang mondar-mandir gelisah di balik pintu.

“Buka aja pintunya,” Eugene menyarankan pada Nina. “Aku bikin mereka khawatir.”

Mereka memang punya hak untuk khawatir. Gilead sudah memberinya banyak kemudahan, mengangkatnya jadi keluarga inti, menyerahkan Wynnyd, mengajarinya White Flame Formula yang biasanya cuma untuk keluarga inti, bahkan membuka leyline supaya dia bisa memulai mana. Dengan semua itu, hasilnya Eugene malah ambruk. Wajar kalau kabar itu bikin Gilead dan Gion buru-buru datang, sekarang menunggu cemas di luar.

Begitu pintu dibuka, Gilead dan Gion langsung masuk. Melihat Eugene sudah duduk, Gilead menghela napas lega sebelum mendekat dengan langkah yang lebih tenang.

“Kau nggak apa-apa?” tanya Gilead penuh perhatian.

“Iya, aku baik-baik saja,” jawab Eugene sambil tersenyum meyakinkan.

Dia memang belum lihat wajahnya di cermin, tapi bisa ditebak wajahnya pucat pasi kayak habis kehabisan darah. Gilead dan Gion sempat saling pandang setelah menatapnya beberapa detik.

Giliran Gion buka suara, “Sebenarnya apa yang terjadi?”

Soalnya, waktu keluar dari leyline dan balik ke paviliun, Eugene terlihat baik-baik saja. Tapi tak lama setelah itu, tiba-tiba saja dia roboh.

Karena itu Gion jadi waswas. Dia yang sudah mengajarkan White Flame Formula dan membimbing Eugene bikin siklus pernapasan mana. Bagaimana kalau ada kesalahan? Meski dia percaya diri, tetap saja rasa bersalah menekan.

“Aku sudah dengar sebagian cerita,” Gilead menimpali. “Katanya setelah kau menghunus Wynnyd, tiba-tiba muncul angin kencang. Apa itu karena kau memanggil spirit?”

Eugene memang sudah menduga pertanyaan ini. Dia sempat ragu beberapa detik. Apa harus bohong terang-terangan?

“Aku memanggil Wind Spirit King,” akhirnya Eugene mengaku.

Tidak ada gunanya nutupin semuanya. Terlalu banyak saksi yang melihat Tempest turun. Lagipula, tidak mungkin spirit angin biasa menimbulkan badai sehebat itu.

“…Apa?” Gilead sampai bersuara kaget.

Eugene menjelaskan, “Katanya sudah lama dia nggak dengar panggilan, jadi penasaran siapa yang manggil.”

“Bagaimana bisa…!” Gilead terhenti, shock.

Baik Gilead maupun Gion sama-sama melongo. Tiga ratus tahun sudah lewat sejak Vermouth pergi. Selama itu, beberapa leluhur keluarga inti memang sempat menggunakan Wynnyd. Mereka bisa memanggil spirit angin lewat pedang itu. Tapi Wind Spirit King? Itu level yang lain.

Sejak Vermouth, tidak ada satu pun keturunannya yang berhasil memanggil Tempest. Standar sang Spirit king terlalu tinggi.

Gion sampai menelan ludah, lalu bertanya, “Benarkah itu…?”

Dia tahu Eugene tidak ada alasan untuk bohong, tapi kabar ini terlalu mencengangkan sampai rasanya mustahil.

“Iya. Wind Spirit King… hmm…” Eugene mengerutkan kening, jelas-jelas seperti lagi berusaha mengingat.

Sambil mengetuk kepala kusutnya, dia melanjutkan, “…Dia bilang aku belum cukup kuat. Katanya, kalau nanti aku sudah lebih kuat, dia menunggu untuk ketemu lagi. Lalu dia balik ke Dunia spirit.”

“…Hahaha…!” Gilead, yang dari tadi mendengarkan serius, mendadak meledak tertawa.

Sambil menggeleng, dia menjatuhkan diri di kursi samping ranjang.

“…Eugene. Kau benar-benar… anak yang bikin semua orang terkejut,” ucapnya lega.

Eugene cuma bisa nyengir tanpa tahu harus jawab apa.

Setelah menatap Eugene sebentar, Gilead merogoh ke dalam rompinya.

“Aku sudah dengar dari Gion. Dalam waktu kurang dari sejam, kau berhasil merasakan mana dan membentuk inti pakai White Flame Formula. Itu saja sudah luar biasa, tapi sampai menarik perhatian Wind Spirit King juga.”

Hal seperti ini belum pernah terjadi. Tapi bukannya semua hal yang Eugene lakukan memang belum pernah terjadi? Menang upaca Pewarisan darah sebagai anak cabang, diangkat ke keluarga inti, jadi pemilik baru Wynnyd, menerima White Flame Formula dengan bantuan leyline… semua itu pertama kalinya dalam sejarah Lionheart.

‘Dan dia bisa merasakan mana lalu mengumpulkannya ke tubuh dalam waktu kurang dari sehari. Itu pun… benar-benar belum pernah ada,’ Gilead membatin.

Rasa bangganya meluap. Wind Spirit King turun langsung karena tertarik pada bocah ini. Itu layak disebut kebangkitan baru bagi keluarga Lionheart.

“Minum ini,” kata Gilead.

Dari rompinya, ia mengeluarkan botol kecil berisi potion(ramuan).

“Ini bisa memulihkan mana-mu. Tapi janji dulu, jangan maksain diri. Kau harus istirahat di ranjang beberapa hari ke depan.”

“Tapi tubuhku rasanya baik-baik aja.”

“Aku tetap minta janji. Kalau tubuhmu rusak karena dipaksa, nanti kau sendiri yang nyesel.”

“Baik, aku janji,” Eugene mengangguk tanpa banyak protes.

Potion pemulih mana itu sama berharganya dengan manfaatnya. Eugene menenggaknya habis di bawah tatapan Gion dan Gilead.

Tubuhnya yang kosong mulai terisi lagi. Tanpa panik, Eugene langsung mengaktifkan White Flame Formula untuk mengisi inti-nya. Meski begitu, isi potion tidak cukup untuk memulihkan penuh inti yang sudah terkuras habis. Memang begitu sifatnya, mana dalam potion jumlahnya terbatas. Tapi setidaknya setelah habis, sakit kepala dan kaku di tubuhnya lumayan hilang.

“Setelah kau istirahat beberapa hari, Gion akan melanjutkan pelajaranmu,” ucap Gilead sambil berdiri. “Awalnya kami berencana latihan keluar setelah upacara Pewarisan darah , tapi… sepertinya itu tidak mungkin.”

“Itu gara-gara aku?” Eugene bertanya.

“Betul. Aku rasa sekarang kami harus lebih fokus mengasah bakatmu, daripada melanjutkan latihan kami sendiri.”

“Aku tidak enak, takut merepotkan Patriark dan Tuan Gion,” Eugene menjawab agak kikuk.

“Jangan anggap begitu. Justru aku ingin membimbingmu langsung,” kata Gion sambil nyengir.

Dia menepuk bahu Eugene.

“Tentu saja, aku juga akan melatih Cyan dan Ciel bersamaan denganmu. Patriark juga akan ikut membimbing.”

Eugene memang istimewa. Tapi terlalu memanjakannya juga tidak baik. Putra sulung, Eward, sudah pergi ke Aroth. Sementara Cyan dan Ciel masih di rumah utama. Mereka juga berhak dapat bimbingan setara.

‘Dengan Eugene berlatih bareng mereka, aku yakin akan jadi pemicu bagus,’ pikir Gilead.

Begitu dengar Eugene pulang dari leyline dengan hasil mengesankan dalam sehari, Cyan dan Ciel langsung tancap gas berlatih di tempat pelatihan. Itu membuat Gilead menaruh harapan besar pada keduanya juga.

0 komentar:

Posting Komentar

My Instagram