Chapter 26.2: Aroth (1)

 

“Emang itu mungkin?” tanya Cyan nggak percaya.

Rasanya Cyan udah malu banget sampai lebih baik mati sekalian. Dia udah mulai mengolah mana tujuh tahun lebih dulu daripada Eugene, dan juga udah latihan White Flame Formula hampir sama lamanya. Berkat itu, tiga tahun lalu dia berhasil mencapai Star ke dua.

Tapi sampai sekarang, kemajuannya masih mentok di Star kedua. Star di sekitar jantungnya kayak mau pecah, tapi nggak pernah beneran pecah. Sementara itu… Eugene, si brengsek yang baru mulai olah mana tujuh tahun setelah dirinya, udah tembus ke Star Ketiga.

“Tentu aja mungkin,” jawab Eugene santai sambil melepas mana dari tubuhnya. “Soalnya aku ini genius.”

Dulu, Eugene mikir ngomong kayak gitu tuh norak banget. Tapi sekarang, pura-pura rendah hati malah lebih konyol. Dia terlahir dengan tubuh genius, ditambah lagi punya kenangan dari kehidupan sebelumnya.

Hamel di masa lalu mungkin bukan genius, tapi Eugene jelas-jelas genius.

“Kenapa nggak mati aja sih kau,” umpat Cyan.

“Saudara nggak boleh ngomong gitu satu sama lain,” tegur Eugene.

“Ya kayak kau tau makna saudara aja. Tiap pagi kau gebukin aku sampai rasanya mau mati.”

“Bukan kau sendiri yang minta sparing tiap pagi? Kalau nggak mau babak belur, berhenti aja. Aku sih nggak masalah.”

Cyan ngertakin giginya sambil melotot ke Eugene. Tantangan sparing tiap pagi itu memang caranya sendiri buat ngelampiasin rasa frustrasi karena selalu kalah dari Eugene.

Jujur, Eugene lumayan menghargai perubahan sikap Cyan ini. Awalnya dia pikir Cyan cuma bocah bego, tapi sejak akhirnya nerima Eugene setelah adopsi, kebegoannya mulai berkurang banyak.

“...Tapi kenapa harus magic?” Cyan balik ke topik utama.

“Soalnya aku belum pernah belajar magic,” jawab Eugene.

“Terus gara-gara itu kau pengen belajar magic? Jangan bikin aku ketawa. Kau mau belajar sama siapa? Mau manggil guru dari ibu kota?”

“Aku harus tanya dulu ke Patriark soal itu.”

“Kau serius? Tapi… kenapa tiba-tiba pengen belajar magic segala?”

Cyan bener-bener nggak bisa paham. Eugene udah punya bakat gila-gilaan di bela diri, kenapa malah nyasar ke magic?

“Bukannya Kau terlalu tua buat belajar magic?” coba Cyan membujuk.

“Umur tujuh belas masih muda banget,” bantah Eugene.

“Ngaco. Kau lupa sama Eward?” Cyan nyengir sambil ngebetulin celananya. “Dia pergi belajar magic umur lima belas, dua tahun lebih muda dari kau. Sekarang dia jadi bahan ketawaan di Aroth.”

Eugene melotot galak. “Kurang ajar, berani-beraninya ngomong gitu soal kakakmu sendiri?”

“Aku salah ngomong apa?” Cyan ngangkat bahu, santai meski kena tatapan tajam. “Daripada sok gaya pergi ke Aroth belajar magic, mending tetap di sini di rumah utama. Nyaman juga kan. …Kalau kau beneran bilang pengen belajar magic, bisa-bisa ayah nangis darah.”

Kemungkinan itu ada juga.

Empat tahun lalu, Eward Lionheart, anak tertua keluarga utama, pergi ke Aroth bareng Lovellian, Kepala red tower. Tapi ujung-ujungnya, dia nggak bisa jadi murid Lovellian. Katanya sih potensinya lumayan, makanya boleh tetap di Aroth, tapi hasilnya jauh dari harapan orangtuanya. Sekarang udah empat tahun lewat, dan dia masih nongkrong di Aroth.

Kabar yang Eugene dengar, dia belajar sama mage yang terafiliasi dengan red tower. Tapi ya gitu, nggak ada perkembangan berarti. Nama Lovellian ikut jelek gara-gara itu, dan wibawa keluarga utama juga tercoreng.

Padahal Patriark cuma pengen yang terbaik buat putra sulungnya, sampai pakai koneksi biar bisa belajar di Red Tower, Tapi di mata orang lain, malah keliatan kayak dia buang pewaris gagal jauh-jauh ke sana.

“Kalaupun Patriark nangis darah, Madam Ancilla pasti dukung aku,” celetuk Eugene.

“...Ibuku memang bisa aja gitu,” gumam Cyan dengan pandangan waspada ke arah rumah utama. “T-tapi, bukan berarti ibuku benci kau.”

“Tapi kadang pas ketemu, tatapannya galak banget.”

“Itu karena dia lihat kau ngebantai aku tiap hari,” bantah Cyan.

“Kalau pun begitu, apa salahku? Gimana bisa berhenti mukulin kau kalau kau sendiri yang minta sparing?”

“Dasar brengsek.”

Ya, Cyan sendiri yang minta Eugene serius tiap sparing. Dia pikir kalau Eugene nahan diri, skill-nya nggak bakal naik. Tapi lama-lama dia nyesel berat ngomong kayak gitu.

Soalnya Eugene nggak pernah kasih ampun. Begitu lihat celah dikit, langsung ditembus tanpa henti. Sambil terus nunjukin kekurangan Cyan satu per satu. Meski bikin darah naik, penjelasan Eugene jelas dan gampang dimengerti, jadi Cyan terpaksa dengerin meski hatinya rasanya mau meledak.

Akhirnya Cyan bertanya, “...Kau beneran mau ke Aroth?”

“Kalau mau belajar sesuatu, ya harus serius,” jawab Eugene enteng.

Dan kalau mau belajar magic sungguhan, tempat terbaik ya Aroth.

‘Selain itu, ada hal yang pengen aku cari tahu juga.’ Eugene bergumam dalam hati.

Dia pengen tahu gimana kehidupan Sienna di Aroth setelah perjalanan mereka dulu. Keinginan itu udah lama ada. Bukan cuma Sienna, tapi juga Anise dan Molon. Dia pengen tahu gimana mereka hidup setelah balik dari Devildom tiga ratus tahun lalu, dan pada akhirnya… kebenaran apa yang sebenarnya terjadi waktu itu.

‘Bahkan di rumah utama pun, hampir nggak ada catatan tentang mereka.’

Sejarah Vermouth, leluhur pendiri, juga sengaja dibuat samar. Selama empat tahun dia cari ke sana kemari, nyaris nggak ada jejak tentang apa yang dilakukan sang Hero dan rekan-rekannya setelah pulang dari Devildom.

‘Dan juga kalung ini.’

Eugene menatap kalung yang selalu dia pakai sejak empat tahun lalu, yang dia ambil dari ruang harta karun. Bahkan Lovellian sendiri, saat melihat memori dalam kalung itu, nggak bisa menemukan bukti bahwa kalung itu peninggalan Hamel.

Artinya, ada yang bikin lapisan palsu di dalam memori kalung ini.

Menurut Eugene, yang bisa bikin hal kayak gitu cuma Sienna atau Vermouth. Tapi kenapa mereka harus melakukan itu? Dia nggak bisa menemukan alasannya.

Kalau harus milih, Sienna lebih mungkin jadi pelakunya. Vermouth yang dia kenal bukan tipe orang yang suka main-main begini.

“...Kalau kau beneran pergi ke Aroth…,” Cyan batuk kecil, ragu, “...Ciel bakal sedih.”

“Serius?” Eugene ngakak. “Kita ngomong soal Ciel yang tiap lihat aku selalu jijik?”

“Itu bukan perasaan aslinya,” kata Cyan, tapi nadanya sendiri nggak yakin.

Ciel Lionheart, bocah licik itu, kayaknya mulai puber awal tahun ini. Dia nggak nempel ke Eugene kayak dulu, bahkan jarang ngomong sama sekali. Mungkin karena gejala pubernya parah, dia lebih sering ngurung diri di kamar. Latihan sih tetap, tapi udah nggak bareng Eugene dan Cyan.

‘Aku nggak suka bau keringat,’ itu alasan yang dia kasih.

Gara-gara itu, Gion dan Gilead jadi repot. Setiap pagi harus ngajarin Ciel setengah hari, sisanya baru ngajarin Cyan dan Eugene.

“...Pokoknya kalau kau pergi ke Aroth, Ciel bakal sedih,” ulang Cyan.

“Kau pikir aku bakal berubah pikiran cuma karena itu?” Eugene nanya dingin.

“Dasar nggak punya hati,” umpat Cyan dengan tangan gemetar. “Pernah mikirin gimana perasaan Paman Gerhard?”

“Ayahku bakal baik-baik aja tanpaku.”

Mau nggak mau Cyan setuju. Gerhard yang dulu kikuk tinggal di rumah utama, sekarang udah betah banget. Sering ikut berburu sama kepala keluarga cabang lain, minum semalaman bareng Gion dan Gilead. Bahkan Ancilla juga lumayan akrab sama dia.

Eugene tahu alasannya. Ancilla cuma nggak mau terlihat bermusuhan sama Eugene. Meski tetap waspada, lebih baik terlihat akrab daripada terang-terangan bermusuhan.

Tapi Tanis, ibu Eward sekaligus istri pertama resmi, terang-terangan waspada pada Eugene dan Gerhard. Sejak kegagalan Eward jadi murid Lovellian, sifat sensitif Tanis makin parah.

‘Kayaknya aku harus hati-hati sama Tanis,’ Eugene mengingatkan diri.

Kalau dia tahu Eugene mau ke Aroth, pasti Tanis makin merasa terancam. Itu masalah yang harus dia serahin ke Patriark, Gilead, bukan dia tangani sendiri.

“...Kau mau ke mana?” tanya Cyan waktu lihat Eugene pergi.

“Ketemu Patriark,” jawab Eugene sambil terus jalan.

“Kau mau ketemu sekarang juga?”

“Aku harus dapat izin secepatnya,” balas Eugene, lalu keluar dari arena latihan.

Cyan menatap punggung Eugene yang menjauh, lalu menghela napas panjang.

“...Apa-apaan sih sok-sokan belajar magic." gumamnya, kemudian ikut jalan di belakang Eugene.

0 komentar:

Posting Komentar

My Instagram