Eugene memang langsung berniat ketemu Gilead, tapi dia nggak bisa asal nyelonong masuk ke kantornya. Sambil basa-basi nyapa para pelayan keluarga utama, Eugene ngirim permintaan resmi buat ketemu. Nggak lama, Kepala Pelayan datang sendiri buat nganter dia ke kantor Gilead.
“Kau mending pikir-pikir lagi sebelum mutusin,” Cyan masih coba nahan.
“Aku udah mikirin baik-baik sebelum mutusin,” jawab Eugene mantap.
Cyan tarik napas dalam, akhirnya diem. Kalau dipikir lagi, emang konyol dia ngotot nahan Eugene biar nggak pergi. Kalau monster itu belok ke magic, bukannya berarti latihan bela dirinya bakal melambat?
‘Itu malah lebih bagus buat aku,’ sadar Cyan.
Sekarang mungkin Eugene lebih maju, tapi dalam beberapa tahun lagi Cyan juga bakal nyampe Star ketiga. Dia pun mutusin ngelihat kepergian Eugene sebagai kesempatan. Tentu aja, dia nggak mau puas cuma di Star ketiga. Harapannya, pas remaja akhir nanti, dia udah bisa tembus Star keempat.
‘...Tapi bisa nggak ya?’
Kalau jujur, dia ragu. Dalam sejarah Lionheart, belum pernah ada yang bisa sampai Star keempat waktu masih remaja akhir. Bahkan para leluhur yang disebut genius, bahkan Gilead dan Gion, semuanya mentok di Star ketiga sampai mereka dewasa.
Artinya, bisa nyampe Star ketiga di umur segini aja udah cukup buat disandingkan sama para genius pendahulu.
Tapi kenyataan itu tetap bikin mulut Cyan terasa pahit. Eugene dan dia sama-sama baru tujuh belas. Tapi hari ini, Eugene udah resmi naik ke Star ketiga.
Kecepatan itu belum pernah ada sebelumnya. Bukan pertama kalinya si monster ini ninggalin jejak di sejarah garis keturunan langsung, tapi tetap aja… Cyan hanya bisa menghela napas berat sambil melirik punggung Eugene. Eugene sekarang lagi nunggu izin dari dalam ruangan sebelum masuk ke kantor Gilead.
‘...Aku juga….’
Cyan nahan lagi desahan yang hampir lolos, lalu tegap menghadap ke depan. Udah empat tahun sejak Eugene masuk keluarga utama. Selama itu, Cyan udah ngalamin kekalahan nggak terhitung lawan saudara angkat absurd ini, yang bahkan nggak ada hubungan darah sama sekali.
Dari kekalahan berulang itu, Cyan belajar satu hal pasti: putus asa cuma melahirkan putus asa. Daripada buang waktu terpuruk, lebih baik setetes keringat untuk berusaha.
“...Tsk…,” Cyan ngeklik lidahnya, keinget kenangan nggak enak.
Soalnya pelajaran itu bukan datang sendiri. Dulu waktu masih kecil, dia sering ngurung diri di kamar gara-gara frustasi nggak bisa ngalahin Eugene. Tapi Eugene bakal dobrak pintu, masuk seenaknya, lalu nendang pantatnya.
“Kau pikir aku bakal leha-leha sementara kau cuma merengek begini?”
Meski Cyan larut dalam putus asa, Eugene tetap latihan tiap hari tanpa absen. Jadi wajar kalau jarak mereka terus melebar.
Ingat hal itu, Cyan mutusin buat biarin Eugene urusannya sendiri. Dia balik lagi ke arena latihan.
***
Penerjemah: Idran
***
“Ada apa datang pagi-pagi gini?” Gilead nyambut Eugene dengan senyum lebar.
Alih-alih langsung ke inti, Eugene membungkuk dulu. “Aku datang untuk melapor sesuatu.”
“Lapor?” Gilead miringkan kepala, matanya berkilat penasaran.
Dia pengen tahu kejutan apa lagi yang dibawa putra angkatnya kali ini.
Begitu duduk di sofa, Eugene bicara, “Pagi ini, aku berhasil naik ke Star ketiga White Flame Formula.”
Gilead langsung bangkit dari kursinya.
“Serius?” tanyanya cepat.
“Ya, benar, Patriark,” Eugene mengangguk.
Dengan langkah terburu, Gilead mendekat. Eugene pun menuruti tanpa diminta, menggetarkan bintang di sekitar jantungnya. Api putih langsung menyelimuti tubuhnya. Gilead menghirup napas panjang saking kagetnya, lalu meledak tertawa.
“...Ha… hahaha!”
Sejak Eugene diangkat jadi anak, Gilead udah ngalamin banyak hal luar biasa, sampai dia pikir nggak bakal kaget lagi. Tapi kali ini pun, dia benar-benar terkejut. Tujuh belas tahun dan sudah mencapai Star ketiga? Bahkan di antara para pendahulu, belum ada yang bisa secepat itu.
Gilead duduk kembali di kursi depan Eugene, geleng-geleng kepala.
“...Mengangkatmu ke keluarga utama… mungkin keputusan terbaikku,” aku Gilead tulus.
“Semua ini berkat dukungan Patriark,” jawab Eugene dengan senyum tipis.
Meski udah empat tahun diangkat, Eugene belum pernah sekali pun memanggil Gilead ‘ayah’. Satu-satunya yang dia panggil ayah hanyalah Gerhard, ayah kandungnya.
Gilead sama sekali nggak tersinggung. Dia malah menghargai bakti Eugene pada ayah kandungnya, dan bangga punya anak angkat setulus itu. Tapi… andai anak sekeren ini beneran darah dagingnya sendiri, nggak ada yang bakal nolak kalau Eugene ditunjuk jadi Patriark selanjutnya. Bahkan, semua orang mungkin bakal setuju.
‘...Nggak boleh mikir kayak gini,’ Gilead buru-buru buang pikiran berbahaya itu.
Kalau terlalu ceroboh, yang ada malah bikin darah tertumpah dan keluarga hancur. Dia nggak mau anak-anaknya harus saling hunus pedang demi posisi.
Setelah menyingkirkan pikirannya, Gilead lanjut bicara, “Dukungan, kau bilang…? Rasanya aku nggak ngasih apa-apa yang istimewa. Jadi ini semua hasil kerja kerasmu sendiri.”
“Tapi tanpa dukungan Patriark, aku nggak bakal bisa kerja keras sejauh ini,” Eugene tetap ngotot.
Gilead menatap wajah Eugene lekat-lekat, lalu kembali tertawa.
“Kelihatannya kau butuh sesuatu,” tebaknya.
Tanpa ragu, Eugene mengaku, “Aku ingin belajar magic.”
Dulu, Eugene masih harus jaga image kekanak-kanakan tiap ngomong ke Gilead. Tapi sekarang udah nggak perlu. Dia sudah tumbuh, dan Gilead juga udah terbiasa dengan sikap terus terang Eugene selama empat tahun ini.
“...Magic?” Gilead mengulang, alisnya naik.
Meski begitu, permintaan ini jelas nggak bisa diputuskan gampang. Rasa bingung Gilead sama persis kayak Cyan tadi. Kenapa tiba-tiba Eugene mau belajar magic? Empat tahun ini, dia nggak pernah sekalipun nunjukin ketertarikan.
“...Kau serius?” tanya Gilead akhirnya.
“Ya, Patriark,” Eugene mengangguk mantap.
“Tapi kenapa? Dari semua keturunan keluarga kita, nggak ada yang bisa sampai Star ketiga di umurmu. Kalau terus latihan seperti sekarang, kau bahkan mungkin bisa mencapai Star keempat sebelum dewasa.”
“Aku tetap bisa latihan keras, sambil belajar magic,” jawab Eugene tanpa ragu.
Kedengarannya sombong, tapi Eugene tahu dia punya hak ngomong begitu.
“Patriark. Empat tahun sejak aku diangkat ke keluarga utama, aku belum pernah keluar dari naunganmu,” Eugene tegak menatap Gilead. “Hari ini, setelah menembus Star ketiga, aku sadar. Kalau aku terus tinggal di rumah utama dan berlatih seperti biasa, pertumbuhanku nggak akan sama lagi.”
“...Hmm…,” Gilead bergumam mikir.
“Aku sangat kurang pengalaman nyata,” Eugene menutup tegas.
Meski suaranya tenang, Gilead bisa merasakan semangat hidup yang membara di balik kata-kata itu. Sungguh sesuai dengan umur mudanya, penuh ketulusan dan hasrat berkembang.
“Aku ingin belajar lebih banyak, terutama tentang magic. Memang aku belum pernah menyentuhnya, tapi aku tahu itu juga ilmu yang pakai mana. Meski belum tahu punya bakat besar atau nggak, aku percaya dengan belajar magic, aku bisa melihat mana dari sudut pandang baru.”
Gilead masih diam.
“Kalau pun perkembangannya kecil, belajar hal baru tetap pengalaman berharga. Aku yakin semua itu nggak akan sia-sia. Itu sebabnya aku berani mengajukan permintaan ini,” Eugene menutup dengan mata berkilat, lalu menunduk dalam-dalam. “Aku mohon dengan tulus.”
“...Haha,” Gilead kembali tertawa, geleng-geleng kepala. “Angkat kepalamu. Masa kau perlu sampai membungkuk cuma buat permintaan kecil begini?”
“Ya, Patriark.”
“Walaupun aku Patriarch-mu, mana mungkin aku tega menyiram air dingin ke api semangatmu buat belajar dan berkembang? Eugene, aku paham maksudmu. Jadi kalau kamu beneran mau belajar magic, ya… aku kasih izin.”
Eugene menunduk lega, lalu tersenyum tipis. Tapi waktu dia angkat kepala, senyum itu sudah hilang, wajahnya kembali serius.
“Kalau gitu, kamu mau belajar magic dengan cara gimana?” tanya Gilead.
“Itu…” Eugene sempat ragu.
“Kan kamu sudah datang minta izin, berarti pasti udah mikirin caranya kan?”
“Aku mau pergi ke Aroth.”
Gilead sebenarnya sudah menduga, tapi tetap saja dia nggak bisa nutupin rasa nggak enaknya begitu Eugene nyebut Kerajaan Magic Aroth. Kalau mau belajar magic, Aroth memang tempat terbaik. …Cuma kalau bukan gara-gara pengalaman Eward, putra sulungnya, mungkin dia nggak bakal merasa seberat ini.
“...Aroth, ya…,” gumam Gilead pelan.
“Aku nggak butuh apa-apa, cukup izinnya aja,” Eugene buru-buru menambahkan.
Sejak titik ini, Eugene tahu dia harus ekstra hati-hati milih kata. Soalnya nama Eward itu titik lemah Gilead. Meski anak sulung, Eward nggak pernah punya pencapaian berarti di martial arts. Dari kecil dia memang suka magic, tapi perkembangannya juga payah.
Sudah empat tahun tinggal di Aroth, tapi Eward masih nggak bisa lepas dari bayang-bayang besar nama Lionheart. Malah jadi bahan olok-olokan karena cuma bisa masuk ke menara lewat koneksi.
Eugene sama sekali nggak mau terseret urusan Eward. Dia cuma mau belajar magic dan ngikutin jejak petunjuk yang ditinggalin Sienna. Tapi begitu nama “Aroth” keluar di estate utama, orang-orang otomatis bakal mikir soal Eward. Jadi Eugene harus benar-benar hati-hati biar nggak timbul salah paham yang nggak perlu.
Akhirnya Gilead buang rasa waswasnya dan bilang, “...Kalau itu maumu, aku nggak bisa selain kasih izin. Tapi biar aku kabarin Lovellian dulu.”
“Walaupun aku bersyukur, aku sebenarnya nggak pengen dapat terlalu banyak bantuan,” Eugene berhenti sejenak, memperhatikan ekspresi Gilead, lalu lanjut, “...Terus terang, rasanya bantuan itu malah jadi beban. Lagi pula Master Lovellian pasti sibuk. Kalau bisa, aku pengen belajar tenang sendiri tanpa repot-repotin Master Lovellian.”
“Hal itu bakal susah banget,” Gilead tersenyum kecut. “Meski kamu keluar dari estate utama, statusmu tetap anggota Lionheart. Begitu nyampe di Aroth, banyak mage sana pasti bakal ngelirik kamu. Bahkan kalau kamu nolak, banyak orang tetap bakal datang nyari koneksi ke Lionheart.”
“Kalau gitu ya tinggal aku tolak aja,” jawab Eugene mantap.
“Keyakinanmu patut dipuji,” Gilead menghela napas.
Andai saja anak sulungnya bisa kayak Eugene. Pikiran berbahaya itu sempat muncul lagi di kepalanya, tapi Gilead buru-buru menggeleng.
“...Eugene, janji satu hal aja,” pinta Gilead.
“Apa itu?”
“Jangan pernah terlibat dengan black magic.”
Di Aroth memang ada Black Tower of Magic, tempat para Black mage ngumpul. Meski sekarang nggak ada isu serius soal mereka, dan opini publik juga nggak seburuk dulu, tetap saja… Lionheart yang didirikan oleh Great Vermouth punya aturan tak tertulis: black magic itu pantangan.
“Aku juga benci black magic,” jawab Eugene tanpa ragu.
Gilead mengangguk lega. “Selama kamu bisa janji itu, aku nggak akan ikut campur. Kamu bebas berangkat ke Aroth dengan caramu sendiri. Aku bahkan nggak bakal kabarin Lovellian. …Semoga saja kamu nggak ngalamin masalah kayak yang Eward alamin. Ada lagi yang mau kamu minta?”
“Aku mau dengan tebal muka minta uang jajan.”
“Berapa lama kamu rencana tinggal di Aroth?”
“Aku harus ke sana dulu, belajar dulu biar tahu kira-kira butuh waktu berapa lama. Tapi rasanya aku nggak bakal balik sebelum jadi dewasa.”
“Berarti minimal beberapa tahun, ya.”
“Yah, cuma dengan cara itu aku bisa beneran belajar sesuatu,” Eugene terkekeh ringan.
“Hmm, masuk akal. Tapi ingat, magic itu disiplin yang beda banget dari apa yang sudah kamu pelajari selama ini. Kalau setengah hati, mustahil kamu bisa berkembang,” Gilead memperingatkan.
Di kehidupan sebelumnya, Eugene memang nggak pernah belajar magic. Jadi bahkan dia sendiri nggak bisa yakin bisa langsung berkembang cepat.
0 komentar:
Posting Komentar