Chapter 30.1: Red Tower (1)

 

Succubus itu ras demon malam yang saking terkenalnya hampir semua orang tahu. Tentu aja Eugene juga udah akrab banget sama makhluk itu. Di kehidupan lamanya, waktu dia dan teman-temannya menjelajah Helmuth, demon malam sialan itu sering nyerbu mimpi mereka pas lagi capek dan habis-habisan, cuma buat ngerjain segala macem.

“Ini kan bukan Helmuth, kenapa ada succubus di sini juga sih?” Eugene ngomel keras.

“Te-tenanglah dulu.” Si pemandu panik lihat Eugene ngamuk, buru-buru angkat tangan sambil bikin penghalang tipis. “Ini memang bukan Helmuth, tapi jangan lupa masih ada Black Tower di sini. Selain black mage manusia, cukup banyak ras demon juga yang tinggal di sana.”

“Jadi maksudmu si brengsek itu...eh, maksudku saudara ku main sama succubus dari Black Tower?”

Bahkan dari mulutnya sendiri, Eugene masih susah percaya. Dia kan keturunan Vermouth, anak sulung keluarga utama… tapi mainnya malah sama demon, bahkan sama succubus segala?

“Se-strictnya sih, bukan main sama mereka… lebih tepatnya dia yang ‘dilayani’….”

“Apa bedanya itu?”

“Yah, sama kayak kota lain, Aroth juga punya satu jalanan yang penuh tempat ilegal dan toko-toko aneh yang dibiarkan buka gitu aja. Intinya kayak area ‘kejahatan yang ditoleransi’ lah. Memang yang paling terkenal pasar gelapnya, tapi ada juga beberapa tempat murahan yang nyewa succubus jadi hostess. Aku dengar Tuan Eward sering mampir ke situ….”

“Dasar gila tu anak,” suara Eugene makin dingin.

Tadinya Eugene sempat curiga Eward mungkin terikat sama Black Mage yang punya kontrak succubus. Tapi ternyata? Malah lebih parah. Jadi budak nafsu buat succubus kelas rendahan yang kerja di tempat kayak gitu.

Bilang mereka “hostess” aja udah terlalu sopan. Kalau pakai istilah manusia, ya nggak beda jauh sama pelacur jalanan.

“Anak tolol bego. Apa yang dipikirin bocah ingusan itu?” Eugene mendesis penuh benci.

Si pemandu cuma bisa kebingungan, karena nada Eugene bener-bener kayak orang tua lagi ngomelin anak kecil yang nyusahin.

“Udah pasti kabar itu?” Eugene tiba-tiba menatapnya tajam.

Pemandu gemetar. “Ngg… nggak juga. Baru sebatas rumor aja….”

“Kau tahu jalan itu di mana?”

“Namanya Bolero Street. Tempatnya nggak buka tiap hari. Baru rame dan kelihatan busuknya pas malam bulan purnama.”

“Oke,” Eugene menjawab sambil ngertakin gigi.

Awalnya dia sama sekali nggak berniat nyari masalah sama Eward. Rencananya cuma jaga jarak aman, bodo amat sama urusan dia, lalu fokus sama tujuannya sendiri.

Tapi setelah dengar kabar ini, darahnya langsung naik. Bukan karena nama besar Lionheart tercoreng. Tapi lebih karena dia nggak bisa terima keturunan Vermouth ngasih tenaga hidupnya ke demon murahan.

‘Kurang ajar banget, nyerah gitu aja sama sampah kayak mereka.’

Eugene benci Demon King, itu udah jelas. Tapi rasa bencinya ke kaum demon juga sama besarnya. Dan kalau harus urutin, demon malam kayak succubus pasti nomor satu di daftar yang paling dia benci. Alasannya simpel: dulu waktu pertama kali kena serangan succubus di Devildom, dia pernah ngalamin aib yang bikin malu setengah mati.

‘Mau itu succubus atau incubus, semua demon malam harus dilenyapin.’

Dia nggak mau lagi mengingat kejadian memalukan itu. Yang jelas, setelahnya Eugene udah bunuh banyak succubus dan incubus sebagai pelampiasan dendam.

“...T-tuan Eugene, tolong rahasiakan cerita ini ya…?” si pemandu akhirnya memberanikan diri.

“Tenang aja. Bukannya aku udah sumpah atas nama keluarga? Aku nggak bakal bilang ke siapa pun. Apalagi ke saudara goblok itu.”

Kereta udara mulai turun, mendekat ke Red Tower. Eugene mengangguk seadanya lalu balik lagi ke pikirannya sambil nahan emosi.

‘Kalau bisa, aku udah pengen jambak dia terus gampar biar keluar semua kebenarannya.’

Tapi itu baru rumor, belum bukti jelas. Kalau langsung hajar Eward cuma karena rumor, jatuhnya malah dia yang salah. Jadi Eugene harus nahan dulu sampai ada kepastian.

“...Kau bilang cuma buka tiap bulan purnama, namanya Bolero Street, kan?”

“I-iya….”

“Baiklah. Aku catat.”

Kereta udara mendarat di depan Red Tower. Eugene langsung buka pintu dan lompat turun.

Dia sempat menoleh sebentar. “Nggak usah ikut turun, kita juga udah berpisah di sini. Hati-hati, ya. Kalau ketemu lagi di jalan, ayo minum bareng.”

“Ha-haruskah aku memberikan kartu bisnis ku? Nama ku—”

“Udahlah, nggak usah. Aku gampang ingat orang. Kalau ketemu lagi, aku pasti sapa.”

Eugene melambaikan tangan lalu jalan pergi. Pemandu bisa nebak maksud Eugene: dia cuma mau manfaatin kesempatan buat nyari koneksi sama Lovellian lewat Eugene. Tapi Eugene nggak peduli.

“Mungkinkah Anda Tuan Eugene Lionheart?”

Seorang wanita berdiri di depan pintu masuk red tower tinggi itu. Dia pakai jubah ungu mencolok dan topi runcing lebar khas mage.

‘Tiga ratus tahun lalu aja nggak ada yang pakai gaya se-klise ini….’ Eugene melirik topinya sekilas. Apa ini tren retro?

“Ya, aku Eugene,” jawabnya singkat.

“Nama ku Hera, mage Red Tower, " ucapnya sambil buka topi dan membungkuk sopan. “Master tower sedang menunggu di atas. Sebenarnya beliau berniat menyambut langsung, tapi ada masalah kecil yang harus diurus dulu.”

“Masalah apa?” Eugene balik tanya.

Hera kelihatan kikuk, sempat ragu sebelum melirik ke arah menara.

Tching!

Gelombang mana mendadak menyapu udara, bikin bulu kuduk berdiri. Hera refleks gemetar, Eugene juga mengerutkan alis menatap ke atas.

“...Hmm, kayaknya ada kecelakaan?” gumam Eugene.

“...Memang agak sering begini,” Hera pasrah sambil batuk kecil lalu pasang lagi topinya. “Di Red Tower, banyak mage yang meneliti magic pemanggilan. Nah, jenis magic ini… yah… resiko gagalnya paling tinggi….”

“Kalau mau jelasin, jelasin yang bener,” suara lain menyela dengan nada sebal. “Bukan cuma resikonya tinggi, tapi mereka memang sengaja nyoba gagal. Mereka maksa magic circle nya kelebihan mana biar bisa manggil sesuatu yang beda total!”

Itu suara Lovellian. Dia muncul dari jendela tower lalu terbang keluar.

Fwoosh!

Asap hitam keluar dari jendela.

“Parah banget sih. Hebat juga para jenius ini. Gimana caranya bisa manggil Shadowbeast dari Magic circle Lava Shark?”

Sambil terbang, Lovellian mengayunkan tangan. Shadowbeast yang udah melebur ke langit malam langsung tertahan oleh mananya.

“Kreatif sih, tapi tolol banget. Kalau Shadowbeast lolos, tahu nggak berapa orang yang bisa mati? Bisa ratusan, sebelum ada yang sempat nahan!”

“Maafkan kami….”

Sekelompok mage muda keluar dari tower sambil nunduk minta maaf. Tapi Lovellian masih murka.

‘Mereka sinting,’ Eugene juga ikut bengong.

Shadowbeast itu demonbeast penghuni malam di Helmuth. Sama kayak kebanyakan demonbeast, mereka nggak punya akal, cuma insting buat menghancurkan. Kalau sampai lolos, pasti langsung bunuh orang-orang di kota.

“Kami tidak bermaksud memanggil demon… kami hanya….”

“Mulai sekarang kalian aja yang jadi Master Red tower,” tiba-tiba Lovellian nyeletuk.

“Hah?” para mage muda bengong.

“Bahkan aku pun nggak bisa bikin Shadowbeast keluar dari circle Lava Shark. Jadi kalau kalian bisa, artinya kalian lebih hebat dari ku dong? Yaudah, ambil alih posisi Master sekarang juga!”

“Ma-Master—!”

"Kalian kira mata ku pajangan? Circle kalian dari awal aja udah cacat! Bahkan kalau salah pun, harusnya nggak sampai se-parah ini! Udah, beresin barang kalian dan angkat kaki dari sini!”

Para mage muda itu terus nunduk sambil nangis. Tapi Lovellian nggak goyah. Akhirnya dia buang muka, lalu menoleh ke Eugene.

“...Ehem.”

0 komentar:

Posting Komentar

My Instagram