Chapter 31.2: Magic Red Tower (2)

 

“Maaf udah bikin nunggu,” kata Hera setelah siap berangkat.

Hari itu dia juga masih pakai topi magic runcing besar khas mage zaman dulu. Eugene sempat mikir apa gaya dari tiga ratus tahun lalu lagi tren, tapi ternyata itu cuma selera Hera yang agak aneh. Di seluruh tower, cuma dia yang kekeuh pakai pakaian klise mage begituan.

“Kayaknya saudara ku nggak nongol lagi hari ini,” Eugene nyeletuk.

“Yah… kadang memang gitu,” jawab Hera dengan senyum pahit sambil merapikan topi besarnya.

Pas minggu pertama Eugene datang ke tower, Eward juga rajin ke perpustakaan. Tapi habis itu? Nyaris nggak pernah kelihatan lagi, bahkan di lorong pun jarang banget ketemu.

Katanya memang udah beberapa tahun begitu.

Meski Lovellian dekat sama Gilead, kemampuan Eward jauh di bawah standar buat bisa jadi murid Lovellian. Demi keadilan dan demi reputasinya sendiri, Lovellian nggak bisa nerima dia. Sebagai gantinya, Lovellian nyariin guru dari mage senior yang lagi nganggur buat ngajarin Eward. Malah sebenarnya Lovellian udah ngasih lebih dari cukup.

Tapi tetap aja, Eward jadi masalah. Setengah tahun pertama dia memang semangat, rajin nongkrong di perpustakaan dan lab. Tapi setelah itu? Kebiasaannya berubah: lebih sering ngendon di kamar atau main di luar tower.

‘Tolol banget.’ Eugene mendengus dalam hati.

Dia tahu alasannya. Tiga tahun lalu, Eward ikutan ujian rekrutmen Magic Tower atas saran Lovellian.

Hasilnya… parah. Teori sih lumayan, tapi praktiknya jelek banget sampai bikin malu. Bukan cuma Lovellian yang dibuat repot, semua guru yang pernah ngajarin Eward juga kena imbas.

‘Kalau kemampuan kurang, harusnya makin keras latihan. Bukannya malah leha-leha hidup pakai duit keluarga. Parahnya lagi, dia jadi semacam ATM buat succubus.’

Kalau Eugene lihat langsung Eward pas diperah sama succubus, dia pasti udah hajar Eward habis-habisan, bodo amat dia saudara nya atau calon penerus Lionheart.

Mungkin gara-gara Eugene juga, Eward sempat ngurung diri pas malam bulan purnama kemarin. Tapi itu nggak akan lama.

Beberapa hari lalu Eugene sempat ketemu Eward di lorong. Kulitnya yang pucat sama rambutnya yang kusam memang kelihatan agak membaik, tapi dia nggak berhenti gigit kuku, dan matanya keruh. Tanda-tanda sakau. Jelas, bulan purnama berikutnya dia bakal nyari succubus itu lagi.

Sambil turun ke basement naik lift, Hera yang bantu suplai mana untuk nggerakin lift buka suara, “Aku tebak kamu mau coba pakai formula magic Circle, kan?”

“Yap,” Eugene mengangguk.

Salah satu alasan kenapa Great mage Sienna begitu dihormati di Aroth adalah karena dia bikin sistem peringkat bakat magic yang jelas.

Tiga ratus tahun lalu, batas antara mage bagus dan mage hebat masih samar.

Orang kuat jelas butuh banyak mana, jadi mage hebat dianggap mereka yang bisa kendalikan mana dalam jumlah besar. Selain itu, cara nge-cast mantranya juga harus rumit dan susah. Jadi intinya, mage hebat harus bisa kontrol mana banyak sekaligus nge-cast banyak jenis magic. Itu memang nggak salah.

Tapi kalau mau disebut Archwizard, bukan cuma harus bisa segala macam magic, tapi juga harus jago nge-cast mantra serumit mungkin, sesuatu yang mage lain bahkan nggak bisa tiru.

Nah, Sienna bikin sistem jelas buat ngukur tingkatan mage. Awalnya cuma buat dirinya sendiri, tapi setelah dia jadi Master Green Tower, sistem itu dipakai seluruh mage Aroth.

Sistem itu dikenal dengan Circle.

Caranya: mana dalam tubuh dialirkan ke circle (lingkaran), terus aliran itu narik mana pas mantra dipakai. Semakin banyak mana yang bisa dikontrol, circle nya makin tebal dan kuat. Kalau jumlah mana melebihi kapasitas satu Circle, maka jumlah Circle bertambah, tumpang tindih satu sama lain. Tiap naik Circle, kekuatan magic naik berkali lipat. Bahkan mantra sederhana bisa beda jauh hasilnya tergantung Circle yang dipakai.

Sejak itu, hampir semua mage belajar magic mulai dari Circle. Kecuali yang fokus ke spirit magic atau black magic, karena sistem mereka beda.

“Yah, memang nggak ada pilihan lain. Walau ada formula magic lain, tiga ratus tahun ini Circle terbukti paling efektif dan logis,” kata Hera bangga.

Lovellian bukan satu-satunya. Semua mage yang pakai Circle sebagai dasar pasti ngakuin Sienna sebagai master mereka. Red tower dan Green Tower malah paling bangga soal ini.

“...Aku kepikiran mau ubah dikit,” kata Eugene begitu lift sampai basement. Dia melangkah keluar duluan. “Cuma aku sendiri belum yakin bakal berhasil.”

“Mau diubah? Itu… nggak kelihatan ide bagus,” Hera menyusul dengan wajah khawatir. “Penyesuaian Circle itu topik riset yang semua mage pernah coba. Tapi, Tuan Eugene, kamu bahkan belum benar-benar mulai belajar magic. Bukankah lebih baik mulai dengan cara ortodoks dulu, baru setelah levelmu naik kamu coba ubah?”

Nada Hera bukan meremehkan, tapi beneran khawatir. Ngutak-atik formula magic sama susahnya kayak bikin dari nol. Kalau mana habis pas percobaan, formula bisa runtuh di dalam tubuh. Akibatnya bisa fatal, kehilangan kemampuan pakai mana, cacat, bahkan mati. Kalaupun nggak separah itu, tetap bisa bikin sakit parah berhari-hari.

“Tenang aja, aku nggak bakal bongkar total dari awal. Nggak segitu bahayanya kok,” Eugene coba nenangin.

“Kalau boleh tahu, sebenarnya apa yang mau kamu lakuin?” Hera penasaran.

“Aku mau nyoba gabungin Circle dengan formula mana Lionheart,” Eugene jawab blak-blakan.

Hera sampai melongo beberapa detik.

‘...Apa jangan-jangan umur aslinya bukan tujuh belas?’ pikir Hera.

Dia memang tahu Eugene luar biasa dewasa buat usianya, tapi yang barusan dia dengar jelas bikin pikirannya goyah.

“...Tuan Eugene. Sistem mana buat martial arts dan buat magic itu jalan berbeda. Aku nggak tahu detail formula Lionheart, tapi setidaknya ada konsep operasi magic atau mantra di dalamnya?” tanya Hera hati-hati.

“Nggak ada,” Eugene ngaku jujur.

Hera langsung ngejelasin, “Kalau gitu, mustahil dipakai buat magic. Mana memang bisa ditarik keluar, tapi kalau nggak dibentuk pakai prinsip magic dan dipicu dengan mantra, hasilnya nggak akan jadi fenomena magic.”

“Itu makanya aku mau coba gabungin,” Eugene tetap bersikeras meski dengar nasihat Hera.

Dia sendiri nggak seratus persen yakin. Berkali-kali dia juga sempat ragu, apa mungkin berhasil? Tapi ada perasaan yang bilang: bisa. Untuk memastikan firasat itu, dia sampai melahap semua buku pengantar di perpustakaan.

“Nggak bakal terlalu bahaya,” Eugene ulang lagi.

Hera akhirnya menghela napas panjang, “...Hhh… yaudah, coba aja dulu. Tapi kalau aliran mananya kelihatan berbahaya, aku bakal langsung turun tangan. Kalau kamu kenapa-kenapa, Tuan Eugene, bukan cuma aku yang kena masalah, Master tower juga bakal repot.”

“Siap, Nona.”

Eugene mengangguk dan berhenti di depan sebuah pintu. Di basement ini ada banyak lab, dan Eugene pilih lab yang sama dengan yang biasa dia pakai sebulan terakhir.

Begitu pintu dibuka, ruangan luas luar biasa langsung menyambut. Berkat magic distorsi ruang tingkat tinggi, basement ini bisa menampung puluhan lab sebesar ini. Dulu Eugene sempat kaget, tapi sekarang dia bisa berdiri tenang di tengah ruangan.

0 komentar:

Posting Komentar

My Instagram