Chapter 1

 100 juta.

Di atas meja tergeletak selembar uang.

Itu pesangon sekaligus uang asuransi jiwaku.

100 juta won.

Konyol banget.

Mending mati kena kanker sekalian daripada dikasih segini doang.

 “Ketua Guild ingin menyampaikan rasa penyesalannya atas pengunduran diri anda.”

 “Cuma itu? Nggak sekalian nambahin dikit gitu?”

 “Maaf, itu di luar wewenang saya.”

Tapi aku tahu.

Bagi mereka, nilai hidupku cuma 100 juta won.

Seorang hunter veteran yang udah bertahan 15 tahun di garis depan melawan monster.

Tapi tanpa kekuatan khusus, aku paling banter cuma hunter peringkat F, posisiku di guild sama aja kayak sumpit sekali pakai yang dipakai agak lama.

Tiga tahun setelah debut sebagai hunter, aku gabung ke guild itu.

Udah 12 tahun aku di sana, dari awal berdirinya sampai bisa sebesar sekarang.

Dan ternyata semua itu… nilainya cuma seratus juta.

Ya, aku ngerti.

Aku kerja lebih keras dari siapa pun, tapi dunia ini nggak nyari orang rajin, mereka nyari orang yang *bernilai.*

Dan karena aku cuma “sumpit” yang nggak punya nilai, ya mungkin ini akhir yang pantas buat sumpit seperti aku…

Perempuan yang datang ngasih uang itu aja, aku bahkan belum pernah lihat mukanya.

Kayak pesuruh dari pesuruh.

Yah, lebih baik begini sih.

“Kalau gitu, semoga hidup anda tenang sampai akhir.”

Aku menatap punggung wanita itu yang menjauh, lalu bersandar di ranjang rumah sakit.

“Haha… sialan.”

Penyakit yang nggak bisa disembuhin.

Ada sesuatu di dalam jantungku yang bahkan dokter nggak tahu itu apa.

Waktu dokter bilang kemungkinan aku bertahan hidup sampai akhir tahun kecil, aku malah tenang-tenang aja.

15 tahun.

Aku hunter peringkat F yang paling lama hidup, kan?

Kalau rata-rata umur hunter cupu itu cuma satu-dua tahun, berarti aku udah hidup jauh lebih lama dari perkiraan.

Mangkanya, hunter kayak aku susah banget dapet asuransi.

Dan kalau pun dapet, uang asuransinya bakal dikasih ke keluarga.

Tapi aku nggak punya keluarga.

Jadi ya, uang asuransi itu dikasih langsung ke aku yang sebentar lagi mati.

Nggak ada yang bisa protes, jadi seratus juta ya segitu aja.

Padahal keluarga para hunter F-Rank lain yang udah mati atau pensiun biasanya dapet beberapa miliar.

Apa aku harusnya mati lebih cepet aja?

[Berita terkini: Kematian Hunter peringkat A ke-109 Korea, Yoo Jiwon.]

Berita kematian hunter A-Rank itu masih nongol di TV.

Katanya, keluarga Yoo Jiwon dapet ratusan miliar won.

Aku tahu, meski aku mati, seratus juta atau seratus miliar itu sama-sama nggak akan nyampe ke mana-mana, tapi tetap aja rasanya nyesek.

Aku udah hidup cukup lama.

Itu yang kupikir.

“Sial…”

Bahkan air mata pun nggak keluar.

Kalau tubuhku mati di medan perang dilahap monster, aku mungkin nggak bakal ngerasa segini sedihnya.

Bukan karena kehormatan, aku cuma merasa lebih baik mati dilahap monster daripada mati pelan-pelan kayak gini.

Aku pengen marah.

Pengen langsung datengin ketua guild dan nanya, apa dia bener-bener mau buang aku kayak sampah gini?

Tapi aku tahu, ketua guild “Lost Day” itu dingin banget.

Dia pasti cuma bakal diem aja nunggu aku mati, baru nanti ngurus semuanya.

Waktuku tinggal sedikit, hari ini, besok, entah.

Tapi bahkan kalaupun aku masih punya banyak waktu, hunter biasa kayak aku mana bisa ngelawan perusahaan besar.

Aku nyandarin kepala ke ranjang, lalu ngeluh pelan.

“Seratus juta… Baru kali ini pegang uang segini. Besok aku mau makan enak, deh.”

Proses keluar dari rumah sakit nggak susah.

Minum banyak obat penghilang rasa sakit, pencet tombol di gelang kalau sakit, dan kalau mati sensornya bakal bereaksi. rumah sakit yang ngurus sisanya.

Sejak dunia berubah karena munculnya monster 30 tahun lalu, pasien yang sekarat kayak aku keluar dari rumah sakit tuh udah hal biasa.

Kamar di rumah sakit nggak cukup, dan nggak ada yang bisa melarang hunter yang udah di ambang kematian buat mengakhiri hidupnya dengan tenang di luar sana.

Udah tiga puluh tahun berlalu, tapi sistem itu masih aja sama.

Aku tinggal di vila tua lima lantai.

Bangunannya udah bobrok, dibangun lebih dari 50 tahun lalu.

Masalahnya cuma satu: nggak ada lift.

“Sial…”

Setengah tahun terakhir ini, ada sesuatu di tubuhku yang bikin aku nggak bisa ngelakuin hal berat.

Sedikit aja gerak kasar, aku bisa pingsan.

Kayak ada bom di dadaku.

Artinya, buat naik ke lantai empat tempat aku tinggal, aku harus berhenti istirahat puluhan kali di tangga.

“Sekarang bahkan buat ngabisin duit pun susah gara-gara kondisi tubuh ini.”

Tapi karena aku bakal di rumah terus, ya udah, aku mau pesen banyak makanan yang belum pernah aku coba.

Soalnya, makan malam terakhirku harusnya nggak semewah itu.


Dering! Dering!

Baru aja nyender di sofa, HP-ku bunyi.

> [Ryu Jinsu: Seodam]

> [Ryu Jinsu: Kudengar kamu udah keluar rumah sakit]

> [Taylor Nine: Hah???? Seriusan?]

> [Ryu Jinsu: Kenapa nggak ngabarin kami?]

“Hah? Kok dia tahu?”

Grup chat itu isinya tujuh orang.

Dulu, lima belas tahun lalu, kami janji buat bareng-bareng jalan di jalur hunter.

Kami semua debut di waktu yang sama, tapi sekarang semua udah punya jalannya masing-masing.

Ada yang jadi superstar dunia, ada yang jadi hunter peringkat S, ada juga yang jadi ketua guild besar.

Sementara aku… masih di dasar peringkat F, sementara semuanya udah ninggalin aku jauh di atas.

Aku sebenarnya nggak terlalu suka grup chat itu.

Dan malam ini… suasana hatiku benar-benar jelek.

Aku sempat kepikiran buat minta bantuan mereka, tapi ya jelas nggak mungkin.

Udah lama banget nggak kontak juga.

Tapi sempat terlintas, apa mungkin mereka bisa “mengguncang” Lost Day?

Dulu aku jarang banget nimbrung di grup itu, tapi karena ini mungkin terakhir kalinya, aku pikir ya nggak ada salahnya nulis satu kalimat.

Jadi aku pencet tombol *balas*.

[Yoo Seodam: Katanya sih nggak ada masalah.]

[Taylor Nine: Harusnya bilang dulu, dasar kampret.]

[Taylor Nine: Gue lagi free, jadi bakal ke Korea. Udah lama juga nggak ke sana.]

[Taylor Nine: Buka pintunya, ya.]

Aku ketawa kecil, teringat samar-samar rambut pendek peraknya yang indah.

Aku ngasih tahu mereka soal aku keluar dari rumah sakit, tapi dari dulu aku emang bukan tipe yang gampang buka hati.

Jadi nggak banyak yang tahu keadaanku sebenarnya.

Masih ada sedikit hiburan sih, beberapa rekan lama dan hunter yang entah dari mana dengar kabar tentangku, datang menjenguk atau sekadar ngasih pesan.

Pas aku balik ke rumah sakit buat ngambil barang, ruanganku udah penuh bunga dan hadiah.

Ternyata hubungan yang kubangun selama bertahun-tahun nggak sia-sia juga.

Aku harus beresin semuanya satu-satu.

Tapi tetap aja, aku bukan tokoh utama tragis yang mati gara-gara penyakit mematikan.

Aku cuma karakter pendukung.

Setelah melempar ponsel ke sofa, aku buka tumpukan surat yang datang waktu aku di rumah sakit.

Kebanyakan sih isinya tagihan bulanan sewa apartemen, air, pulsa, sama hasil game online-ku.

Tapi ada beberapa yang menarik perhatian.

“Undangan dari Asosiasi Hunter? Apaan nih?”

Aku ngangkat alis.

'Serius nih, undangan dikirim ke hunter F-Rank kayak aku?'

Rasanya wajar aku heran.

Soalnya dari isi suratnya, mereka ngundang para hunter veteran dengan pengalaman lebih dari 10 tahun buat diskusi soal industri hunter.

Hunter yang bisa bertahan lebih dari 10 tahun tuh langka banget.

Jujur aja, kalau ngeluarin aku, jumlahnya bisa dihitung pakai jari.

“Nggak ada kenangan bagus juga sih dari tempat itu…”

Lagipula, aku juga nggak bisa pergi.

Seorang hunter nggak berguna yang udah bertahan lebih dari sepuluh tahun ini… sebentar lagi bakal mati.

Aku lipat suratnya, lanjut ngecek tumpukan lain.

Sampai mataku nemu satu amplop putih di antara yang terbaru.

Bahannya aneh banget, lembut, halus, kayak bukan kertas biasa.

“Bahan baru kali, ya?”

Nggak ada nama pengirimnya.

Cuma tulisan rapi di depan: To: Yoo Seodam.

Aku buka pelan-pelan.

Isinya cuma selembar kertas, dan di tengahnya ada kalimat aneh.

[Apa kamu ingin hidup?]

Saat itu…

Aku kayak kerasukan.

Kepalaku kayak lagi nggak waras.

Karena gimana mungkin… tulisan itu tiba-tiba muncul begitu aja.

Tanpa sadar, aku ngangguk ke tulisan itu.

Tulisan itu memudar, lalu muncul lagi kalimat baru.

[Apa kamu ingin terus hidup?]

Tulisan itu lenyap lagi.

Lalu muncul lagi.

[Kalau kamu bisa hidup lebih lama, apa kamu mau hidup yang lebih baik dari sekarang?]

[Bukankah kamu capek hidup tanpa bakat, kekuatan, uang, atau masa depan?]

“…Terus aku harus ngapain?”

Tulisan itu kembali hilang.

Lalu muncul kalimat berikutnya.

[Kalau kamu bisa memburu dengan tanganmu sendiri para ‘tokoh utama’ yang membuatmu jadi pecundang, dan mengambil bakat mereka…]

[Apa kamu akan melakukannya?]

Mengambil milik orang lain, dan menjadikannya milikku.

Logika yang cuma berlaku di dunia “hukum rimba”.

Tapi entah kenapa, aku malah nyengir, dan mengangguk pelan.

“Ya jelas lah aku mau. Sial, emang aku masih di posisi buat nolak?”

Begitu aku mikir gitu, muncul hologram bening di depan mataku.

[sisa Waktu Hidupmu: 10 hari, 21 jam, 39 menit, 23 detik.]

Itu bukan apa-apa selain… sisa hidupku.

Ternyata aku masih punya sepuluh hari lagi.

<Kalau begitu, tandatangani kontraknya.>

<Isi kontrak: ‘Berburu para tokoh utama.’>

Serius?

Aku bahkan nggak sempat mikir panjang.

Tubuhku udah sekarat dari awal.

Aku bukan orang yang percaya hal mistis, tapi entah kenapa… aku pengen banget nyangkut di secuil harapan terakhir ini.

Dan ya, siapa sih yang bakal nolak di posisiku sekarang?

<Kontrak telah ditandatangani.>  

0 komentar:

Posting Komentar

My Instagram