Chapter 14

 Seoul, Korea.

Ada sebuah gang istimewa di Distrik Yongsan.

Gang itu dipenuhi berbagai bengkel pandai besi.

Selama 30 tahun terakhir, perkembangan aether telah membuka jalan bagi teknologi baru.

Dan karena itu, pekerjaan sebagai pandai besi kembali hidup dan gang ini adalah buktinya.

Dari pandai besi Grade 1 sampai Grade 3 yang mengerjakan material senilai miliaran won, sampai ke pandai besi tak berizin Grade 4 yang mengolah barang cacat.

semuanya berkumpul di satu tempat: Yongsan Aether Shopping Center.

Tiga puluh tahun lalu, tempat ini adalah pusat perbelanjaan elektronik.

Namun kini, semuanya berubah menjadi pusat perlengkapan aether, sering dikunjungi para hunter yang tak punya banyak uang tapi butuh peralatan segera.

Desember.

Musim salju dan udara dingin.

Yoo Seodam berjalan mengenakan celana training dan jaket tebal hitam.

Penampilannya sangat kontras dengan Celeste yang berjalan di sampingnya, pakaian rapi dan elegan.

Mata Celeste berbinar menatap deretan bengkel di sepanjang jalan.

Mereka memang agak berbeda dari pandai besi zaman dulu,

tapi kalau bicara soal melelehkan aether dan menempanya dengan palu, sebenarnya tak banyak yang berubah.

“Pertama kali ke sini?”

“Iya. Aku belum pernah datang sebelumnya.”

Kau benar-benar berniat ngikutin aku terus, ya?

Seodam menatap Celeste yang terus mengikutinya dengan tatapan curiga.

Baru kali ini dia sadar, cewek ini mencolok sekali.

Dengan wajah biasa dan pakaian sederhana, Seodam terlihat sangat normal.

Tapi Celeste… rambut pirangnya yang berkilau dan aura yang terlalu hidup membuatnya sulit diabaikan.

Bahkan di Korea yang kini sudah terbiasa dengan orang asing, dia tetap menonjol di mana pun.

Namun meski Seodam menatapnya curiga, Celeste hanya diam dan terus mengikutinya.

Celeste punya banyak pertanyaan tentang Seodam.

Nama, umur, asal, keluarga, di mana dia belajar ilmu pedang, tempat berburu biasa, hubungannya dengan Lost Day, semuanya hanya karena rasa ingin tahu.

Seorang hunter F-Rank yang memiliki aura lebih kuat dari S-Rank mana pun, bagi Celeste, yang sudah melihat banyak jenius meski baru berusia 17 tahun, keberadaan Yoo Seodam terasa… unik.

'Peralatan seperti apa yang dia pakai?'

Zaman pemesanan online.

Peralatan pun tak berbeda.

Banyak peralatan berkualitas dijual di toko daring dengan harga murah, lengkap dengan ulasan dan perbandingan.

Jadi orang yang masih datang langsung ke toko terbagi dua jenis: orang yang matanya sangat tajam dan tahu betul apa yang dicari, atau orang yang sama sekali tidak tahu apa-apa.

Celeste tahu kalau harga di toko aether dan toko online tak jauh beda. Para pedagang pun tak bisa seenaknya menaikkan harga. Karena itu, rasa penasarannya semakin besar.

Seperti apa sih, pandangan seorang hunter seperti Yoo Seodam saat memilih peralatan?

“Emang ada cara buat dapet peralatan yang lebih bagus?”

“Tentu. Semua orang tahu cara itu sejak tempat ini masih pusat elektronik.”

Sebuah metode yang setiap orang tahu.

Metode yang bisa digunakan semua orang, tapi juga tidak oleh siapa pun.

Metode yang kini sudah dianggap legenda.

Seodam melangkah ke dalam gedung pusat elektronik yang kini tenang.

Inilah Yongsan.

Dikenal juga sebagai ‘Dungeon Kedua’.

Bedanya, di sini yang dipertaruhkan bukan nyawa, melainkan dompet.

Tempat mengerikan di mana satu langkah salah bisa membuatmu kehilangan segalanya.

Seodam berhenti dan berdiri tegap.

“…”

Sunyi.

Hari kerja pagi, tak ada pengunjung.

Kenapa dia tiba-tiba berhenti di tengah jalan?

Celeste memiringkan kepala, lalu memasang alat penerjemah di telinganya.

Tiba-tiba, Seodam berteriak,

“Aether Photodynamic Interface! Satu juta dua ratus ribu won!”

“Apa…?”

3, 2, 1

Celeste menatapnya, berpikir, ini orang gila apa gimana?

Namun, seketika…

“Barangnya bagus, 1,20 juta won!”

“Bekas! 1,17 juta won!”

“Apaan? Nilainya minimal 1,15 juta!”

“1,10 juta!”

“…1,08 juta!”

“Hey! Nggak ada moralnya!”

“1,05 juta!”

“Untuk barang kayak gini, 1,03 juta!”

Pedagang itu ragu sejenak, dan seperti serangan pamungkas dari Seodam,

“1,03 juta won, DEAL!”

Celeste hanya bisa menatap, wajahnya jelas berkata ini konyol banget.

Tapi ternyata belum selesai.

“Aethertaker Hollow Point 1.200 ft! Mulai dari 1,20 juta won!”

***

Seodam akhirnya membeli 12 peralatan tambahan, total 20 juta won.

Padahal seharusnya semua itu bernilai antara 25 sampai 30 juta won.

Bisa dibilang, dia benar-benar ahli menawar.

Tentu saja, dia tak asal beli hanya karena murah.

Kalau ada satu peluru cacat saja, dia akan menurunkan harga lebih jauh atau minta tambahan barang.

Dia juga memeriksa dispenser aether satu per satu dengan teliti.

Setelah semua selesai, dia berkata puas,

“Sekarang, ayo cek peralatan Grade 2.”

“…Baik.”

Celeste, yang masih mengenakan alat penerjemah bahasa Korea, bisa memahami percakapan mereka meski agak kikuk.

Sejujurnya, dia mulai lelah.

Karena ini bukan seperti yang dia bayangkan.

Jadi dia tak berharap banyak saat Seodam bilang ingin mengecek peralatan Grade 2.

Namun

Begitu mereka masuk ke bengkel pandai besi Grade 1,

mata Yoo Seodam langsung berubah.

Tatapan seorang hunter veteran yang sedang menilai mangsa.

Swish!

Setelah mengeluarkan bilah logam dari aether blade, Seodam mengetuknya pelan dengan jari.

Lalu sambil membelai tepiannya perlahan, dia berkata,

“Menurutmu, pelapisan aether-nya nggak kebanyakan?”

“Apa maksudmu? Kalau nggak sebanyak ini, gimana mau motong monster?”

“Kalau aktif lebih dari tiga jam, ini bakal panas dan rusak. Sistem pendinginnya jelek banget.”

“Itu… supaya lebih ringan.”

“Sekarang semua orang suka yang kecil dan ringan, tapi masa harus ngorbanin daya tahannya?”

Seodam memeriksa setiap peralatan di toko itu satu per satu,

sampai akhirnya sang pandai besi kehabisan kata.

Pada akhirnya, Seodam cuma membeli satu peluru.

“…Kenapa cuma beli itu?”

“Rampasan perang.”

“….”

Hal yang sama terjadi di toko-toko berikutnya.

Peralatan adalah nyawa seorang hunter.

Kalau senjata tidak berfungsi dengan benar, baik yang lemah maupun yang kuat akan sama-sama tak berdaya.

Celeste pun tanpa sadar terus mengikuti Seodam seperti anak anjing.

Ia teringat semua peralatan yang selama ini digunakannya, peralatan terbaik yang disiapkan keluarganya.

Dulu, dia tak tahu kenapa peralatan itu bagus, hanya memakainya karena disuruh.

Tapi sekarang… dia mulai mengerti.

Dia mulai tahu bagaimana cara menggunakannya lebih efisien.

Seodam sudah membeli dua belas peluru lagi sejak itu.

Setengah hari berlalu tanpa terasa, tapi Celeste sama sekali tak menyadarinya.

Namun pada titik ini, rumor tentang mereka sudah menyebar.

Pandai-pandai besi mulai menolak melayani mereka.

“Tidak ada layanan!”

“Kenapa?”

“Kami sudah dengar semuanya! Kalian cuma ribut, nggak beli apa-apa!”

 “Waspadalah pada hunter mencurigakan yang dikeliling dengan gadis cantik!”

Para pandai besi di Yongsan Aether Shopping Center sudah waspada terhadap mereka.

Seodam hanya bisa mengangguk, tampak sedikit kesal.

“Hm… apa yang harus kulakukan kalau nggak ada satu pun yang aku suka? Ya sudah, kita cari tempat lain aja.”

Kalau para pedagang kompak menolak melayaninya, Seodam juga tidak bisa berbuat banyak.

Saat ia hendak pergi untuk mencari toko lain, Celeste tiba-tiba mengeluarkan smartphone-nya dan mulai merekam ke sana-sini, termasuk papan nama toko tempat mereka berdiri.

Pandai besi di sana menatap bingung, tidak tahu apa yang sedang dilakukan gadis kecil itu.

Sayangnya, Celeste hanya membawa translator pendengaran, bukan penerjemah suara.

“Kenapa kamu merekam?”

“(Bahasa Italia)”

“Oh, kamu mau unggah ulasan di blog?”

“(Bahasa Italia)”

“Di media sosial? Oh iya, kamu sempat bilang baru bikin akun, kan? Tapi itu keterlaluan juga. Follower kamu kan sudah banyak. Gimana kalau nanti malah muncul rumor?”

“(Bahasa Italia)”

“Hah? ‘Mengusir pelanggan tak bersalah’? Iya juga sih, aku setuju…”

“Hey, tunggu dulu! Kita bisnis aja! Silakan masuk! Masuk!”

Abad ke-21.

Zaman di mana media sosial adalah senjata pamungkas.

Tak ada lagi rahasia di dunia.

Yang paling menakutkan sekarang bukanlah hunter seperti Seodam, melainkan blogger.

***

“Belanja yang bagus.”

“Menurutku juga.”

Menjelang malam.

Seodam tersenyum puas, kedua tangannya penuh kantong belanjaan.

Akhirnya, ia berhasil membeli dua peralatan Grade 2 dengan performa tinggi dan masih punya sisa uang.

Hanya saja, ia tak menemukan peralatan terakhir yang ia inginkan.

Celeste, yang ikut sepanjang hari, juga membeli berbagai barang kecil yang biasanya tidak akan ia lirik.

“Maaf, aku nggak bisa beli yang terakhir. Tapi ya, mau gimana lagi.”

Saat mereka keluar dari area belanja, Seodam tiba-tiba melihat sebuah bangunan tua yang mencolok.

Tempat itu berbeda dari toko-toko lainnya, karena hanya menjual senjata api.

Memang, tidak hanya tempat itu saja yang menjual senjata, tapi sangat jarang, terutama di pusat aether seperti ini.

Tulisan lama di papan toko, “3rd-Grade,” menarik perhatian Celeste, tapi Seodam justru melangkah ke sana seperti orang yang ditarik oleh sesuatu.

Begitu pintu kaca tua itu terbuka, aroma mesiu yang basi langsung menyeruak.

Senjata yang digunakan untuk menghadapi monster biasanya berisi aether, bukan mesiu, yang berarti pandai besi ini tidak hanya ahli di senjata aether, tapi juga masih menekuni senjata api klasik.

Ia adalah salah satu dari dua pandai besi terakhir di zaman modern yang masih mengerjakan senjata semacam itu.

Mungkin seorang tua yang tak bisa melupakan masa lalu… atau seseorang yang benar-benar mencintai senjata.

Bagi Seodam, jawabannya jelas yang kedua.

Karena senjata aether jauh lebih menguntungkan.

“Ini… seni, ya?”

Seodam mengelus perlahan sebuah senapan yang tergantung di dinding.

Tatapannya seperti seorang kolektor yang menatap karya seni langka.

“Ho. Matamu tajam juga. Orang tanpa kekuatan biasanya pandai pakai senjata api.”

Suara berat seorang pria tua terdengar dari balik pintu dalam.

Seodam menatapnya.

“Dari mana kau tahu aku nggak punya kekuatan?”

“Kelihatan dari satu pandangan. Kapalan di tanganmu dan sorot matamu bilang kamu pernah bertarung. Tapi orang yang punya kekuatan nggak butuh senjata api. Jadi, kau tahu banyak tentang senjata karena ingin menutupi kelemahanmu, bukan?”

Peluru aether memang mahal.

Namun kekuatan superhuman sudah jauh melampaui senjata api.

Berbeda dengan peluru, sulit menjaga kestabilan energi di aether blade, karena itu, senjata seperti itu jarang dipakai dalam situasi normal.

Tapi orang biasa… mereka harus mencari cara untuk menutupi kelemahan karena tidak punya kekuatan super.

Mereka rela meneteskan darah demi menembakkan senjata yang satu pelurunya bisa seharga ratusan ribu won.

Maka, selama masih hidup, orang biasa hanya punya dua jalan: berhenti jadi hunter, atau menjadi ahli senjata api.

Dan bagi mereka yang memilih jalan kedua… biasanya, hidup mereka tidak bertahan lama.

“Aku nggak tahu apakah ada sesuatu di sini yang menarik minatmu, Nak…”

Tapi mata Seodam sudah tertuju pada satu benda sejak awal.

“Apa itu?”

Senjata yang ia tunjuk panjangnya seperti senapan sniper, tapi tebal seperti senapan mesin.

Sekilas saja, Seodam tahu senjata itu adalah hasil puncak sains aether. namun entah kenapa, tampak seperti pajangan.

“Itu versi modifikasi dari DK-001 Crossbow Shooter. Bisa menembakkan enam peluru sekaligus.”

“G-gila. Crossbow Shooter…”

Minimal Grade 2.

Masalahnya cuma satu: senjata itu terlalu berat untuk manusia biasa.

Dan versi ini malah dimodifikasi jadi bisa menembakkan enam peluru sekaligus…

“Masalahnya, monster ini cuma bisa dipakai orang dengan kekuatan fisik minimal E-Rank.”

Seorang F-Rank mungkin bisa membawanya, tapi di medan pertempuran nyata, senjata seberat itu akan jadi beban.

“Jadi, begitulah dilema-nya. Orang super nggak butuh senjata api, sementara orang biasa terlalu lemah buat menggunakannya.”

Benar.

Sekarang Yoo Seodam memang punya kemampuan E-Rank, dan dengan White Swordsmanship serta kemampuan Swordsmanship (A), dia sebenarnya tidak butuh senjata sebesar itu.

Kecuali… untuk situasi sangat khusus.

Dan kini, buruannya bukan lagi monster.

Targetnya berikutnya adalah mage.

Musuh yang bertarung dari jarak jauh.

Kau pikir mereka akan membiarkanmu mendekat hanya dengan pedang atau pistol?

Tentu tidak.

Mereka cukup pintar untuk menciptakan berbagai cara mencegahmu.

Untuk menembus barrier magic mereka, dibutuhkan senjata jarak jauh yang luar biasa kuat.

“…Aku beli ini.”

***

Perjalanan belanja berakhir.

Aku menarik napas panjang dan membuka mata.

Semua perlengkapanku sudah selesai diperiksa.

Meski harus meninggalkan beberapa peralatan tambahan, di punggungku kini tergantung senjata bernama Mega Shooter.

Sebuah aether coat, mega shooter berdaya tinggi, aether blade, dan peralatan Grade 2.

semuanya siap untuk menghadapi mage.

Dompetku hancur, tapi kalau aku berhasil memburu mage, semua ini sepadan.

“Berikan misi selanjutnya.”

< … >

“Hey, klien?”

< Maaf, aku lagi istirahat sebentar. >

“Kau… istirahat?”

Biasanya kapan pun aku memanggilnya, dia selalu menjawab. Aku pikir itu layanan 24 jam.

“Aku siap.”

#Student_Turned_Out_To_Be_A_Magic_Genius

#Fantasy #Regression #Academy #Harem

 [Bepergian ke Kekaisaran mage Vivienda. Dunia milik protagonis level 70, Fiolen.]

[10… 9… 8…]

Pandangan mataku bergoyang sesaat.

Ketika kubuka lagi

 [2… 1… 0]

[Perjalanan selesai.]

[Anda menjadi Profesor Tamu magic combat di Akademi magic Tinggi Vivienda.]

Dunia baru terbentang di depan mataku.

“…!”

Hal pertama yang kulihat adalah langit.

Lewat jendela, awan biru berarak perlahan.

Langit terasa begitu dekat.

Aku mendekati jendela dan menatap ke bawah jurang tanpa dasar menyambutku.

“Gila…”

Lalu kulihat bangunan raksasa, melayang di udara.

Bola-bola kristal berputar, kadang ada kadal bersayap melintas di langit.

Aku mundur perlahan, masih belum bisa percaya.

Sehebat itukah magic di dunia ini?

Aku menatap sekeliling.

Ruangan bergaya klasik, penuh buku-buku tebal bersampul kulit.

Namun meski bisa kubaca, aku tak mengerti isinya.

 [Kajian Singkat tentang Hukum Ketiga Eurwen (1098P)]

[Pemecahan Paradoks Trigonometri oleh Peri Eleden]

[Esensi magic (Edisi Pertama)]

Apa-apaan ini…?

Saat aku masih memandangi rak buku itu, tiba-tiba pintu di belakang terbuka, seorang pria berlari masuk.

“Profesor Yoo!”

Hah?

Kau mau berantem, apa gimana?

Refleks, aku menaruh tangan di gagang aether blade, walau tak kurasakan niat jahat.

“Profesor, kenapa masih di sini!? Orientasi Sirkulasi Mana Mahasiswa Baru sudah dimulai!”

“Profesor?”

“Iya!”

“...Aku?”

“Iya!!”

Aku bengong, ingin membantah, tapi pria itu langsung menarik pergelangan tanganku.

“Profesor, cepat sebelum makin terlambat!”

“…?”

Begitulah.

Aku resmi menjadi seorang profesor di dunia magic.

0 komentar:

Posting Komentar

My Instagram