Selama tinggal di Akademi Magic Vivienda selama sebulan, aku menyadari satu hal luar biasa.
Bahwa nasi di tempat ini… enak banget.
Waktu makan siang tiba, aku sudah ambil tiga piring begitu sampai di kafetaria Vivienda.
Sambil makan, aku memperhatikan para bangsawan yang cuma menyentuh sedikit makanan di piring mereka.
Dalam dunia ini, lidahku jelas lidah rakyat biasa, sementara mereka, para bangsawan, menganggap makanan kafetaria ini “nggak pantas.”
Padahal lihat aja menunya: ayam panggang utuh yang berminyak, steak medium well yang juicy, dan cheesecake yang begitu masuk mulut bikin mabuk kenikmatan.
Sistem makannya prasmanan, ambil sepuasnya.
Tapi anehnya, cuma aku satu-satunya yang benar-benar memanfaatkan itu.
Biasanya aku makan sampai larut, sendirian.
Ya gimana, aku ambil banyak banget.
Hari ini pun sama. Saat aku lagi ngisi piring ketujuh, aku melihat seorang murid datang terlambat buat makan.
Araceli Linecare.
Gadis yang masuk sekolah ini sebagai murid terbaik, tapi sialnya bertemu Fiolen, si brengsek yang menekan dia habis-habisan.
Sekarang bahkan para profesor pun berpaling darinya.
Tubuhnya terlihat lemah, geraknya pun lesu. Aku sampai ragu, apakah ini gadis yang sama dengan sebulan lalu?
“Nona, waktu makan sudah habis…”
“Ah…”
Araceli menghela napas pelan mendengar perkataan koki, lalu mengambil piringnya.
Memang salahnya sendiri yang melanggar jam makan, jadi nggak bisa protes.
Dia menunduk lemah, lalu berbalik.
‘Yah…’
Sebenarnya aku nggak perlu peduli.
Tapi entah kenapa, aku merasa sedikit kasihan.
Dia adalah korban dari sang protagonis.
“Araceli.”
“…Hm?”
Dia menoleh begitu mendengar namanya dipanggil.
Dan aku agak terkejut.
Karena di balik matanya yang lelah, masih ada sedikit api semangat yang belum padam.
Yah, siapa sih yang bisa benar-benar kehilangan semuanya dalam sebulan?
Meskipun rasa percaya dirinya sudah banyak terkikis, Araceli tetaplah Araceli.
Seorang dengan bakat besar, yang kelak akan menjadi mage legendaris.
“Aku tadi kebanyakan ambil nasi. Nih, makan aja.”
Aku menyerahkan piring di tanganku.
Dan ya, itu nggak bohong.
Aku memang sudah ambil lebih dari sepuluh piring, padahal niatnya cuma mau makan tujuh.
“Ah…”
Aku nggak tahu apakah makanan ini sesuai seleranya, tapi jelas lebih baik daripada dia kelaparan.
Waktu dia ragu menerima piring itu, aku sempat berpikir sejenak lalu bicara lagi.
“Makalahmu yang kemarin, ‘Prinsip Enam Sirkuit’, bagus, lho. Kalau kamu poles sedikit lagi, bakal kelihatan… cantik banget.”
Kata-kataku mungkin terdengar aneh.
Siapa juga yang nyebut makalah ‘cantik’, coba?
Lagi pula, aku sendiri bahkan nggak ngerti isinya.
Tapi
< ‘Prinsip Enam Sirkuit’ akan disempurnakan oleh karakter pendukung Araceli tiga bulan dari sekarang. >
Itulah alasan kenapa aku bilang begitu.
“Te… terima kasih.”
“Ya. Makan yang banyak, belajar yang rajin. Aku pergi dulu.”
Aku berbalik dan meninggalkan kafetaria.
Entah kenapa, hatiku agak nggak enak.
***
Topik utama yang aku ajarkan di kelasku adalah magic combat, dan daripada mengajarkan teori, aku lebih sering memberi contoh langsung.
Kenapa?
Karena aku sendiri nggak ngerti teorinya.
Lagipula, murid-murid tetaplah manusia, mereka lebih suka aksi nyata daripada membaca buku tebal.
Mungkin itu sebabnya aku cukup populer sebagai profesor.
Sama kayak guru olahraga di sekolah dasar, selalu paling disukai murid.
“Profesor! Walebun akhirnya berhasil menembakkan peluru mana!”
‘Gila.’
Kadang ada murid yang bikin aku terkejut habis kuliah, karena magic mereka tampak seperti hasil dari… ilmu pengetahuan.
Sama seperti alat penyemprot aether-ku dibuat dengan teknologi, tapi terlihat seperti magic murni.
Tapi… apa nggak apa-apa ya, kalau aku menyebarkan ilmu sains di dunia magic ini?
< Ada risikonya, tapi itu nggak seberapa dibanding kerusakan yang sudah protagonis timbulkan di dunia ini. >
Kalau begitu, ya sudah, aku sedikit lega.
Selain itu, aku juga terus memikirkan cara mencuri magic Fiolen… dan apa yang akan terjadi kalau aku sampai ketahuan.
Tapi toh aku nggak berencana balik ke sini.
Mataku menatap ke empat murid yang sedang berlatih di sisi lapangan.
Entah kebetulan atau nasib, Araceli, Gurim, Mazelon, dan Fiolen semua masuk ke kelasku.
Dan karena itu, kelas ini selalu jadi yang paling menegangkan buatku.
Soalnya aku sedang berusaha mengukur kemampuan tempur Fiolen.
‘Menembak dia? Mustahil.’
Di dada Fiolen, tepat di jantungnya, sudah ada magic circle tingkat empat.
magic tingkat empat ke atas disebut Cast Magic, dan bisa diaktifkan seketika.
Kalau dijelaskan dengan istilah modern, dia selalu “terisi peluru magic.”
Biasanya, para mage memasang magic pertahanan yang langsung aktif begitu terkena serangan.
Dan jujur aja, aku nggak yakin tembakanku bisa menembus pertahanan itu.
Jadi, untuk sementara… jangan cari gara-gara.
Kalau aku gagal membunuhnya, aku harus berhadapan dengan mage level 70.
Dan selain itu, dia punya dukungan penuh dari para profesor dan gadis-gadis sekolah, mana bisa aku lawan sendirian?
Ngomong-ngomong soal gadis-gadis itu… dia masih saja dikelilingi mereka.
“Itu bukan cara pakai Circle Spiral Cut yang benar.”
“Oh, ya a-ampun…!”
Ketika Fiolen meraih tangan seorang murid perempuan dan pura-pura tenang sambil menyalurkan mana ke tubuhnya, pipi si gadis langsung memerah.
Mereka… beneran suka sama dia?
Aku nggak ngerti. Tapi ya, aku juga nggak mau komentar, namanya juga klise protagonis.
Aku cuma membayangkan, kalau semua gadis itu tiba-tiba berubah jadi musuh, aku pasti mati duluan.
Fiolen memang punya sifat suka pamer.
Kalau ada murid yang kesulitan sedikit aja, dia pasti langsung datang, dengan gaya sok tahu dan pengetahuan masa depan, mengajari mereka.
Jujur aja, kadang kelas ini rasanya bukan punyaku, tapi milik dia.
Tentu saja, Fiolen cuma mengajari murid perempuan.
Dan hanya yang cantik-cantik.
Dalam satu sisi… dia memang jenius.
Di usia tujuh belas tahun, dia sudah memainkan magic yang bahkan profesor sekalipun kesulitan pahami.
Dengan menggabungkan pengetahuan dari masa depan, dia menciptakan magic seolah lahir spontan dari pikirannya.
Kemampuan magic Fiolen begitu luar biasa, sampai dia otomatis dibandingkan dengan Araceli.
Sebuah seruan kagum terdengar ketika Araceli menembakkan panah putih dari ujung jarinya, menembus udara sejauh lima puluh meter dengan kecepatan dan presisi luar biasa.
Namun tak lama kemudian, Fiolen menciptakan tiga panah yang lebih besar dan menembakkannya berturut-turut.
Sorotan pun langsung beralih padanya.
“Kayaknya Fiolen lebih hebat, ya?”
“Panahnya lebih kuat! Nggak nyangka dia bisa menembak tiga sekaligus.”
Ekspresi Araceli perlahan menggelap.
Biasanya aku nggak akan ikut campur, tapi kali ini, aku melangkah maju.
Bukan karena kasihan.
Dan bukan juga karena berpihak padanya.
Bukan.
Permainan mengamati dengan tenang sudah berakhir.
Mulai sekarang, aku berniat untuk perlahan-lahan membangun jalan menuju perburuan.
Langkah pertama untuk itu, Aku harus menghancurkan citra dan rasa percaya diri Fiolen di mata orang-orang.
“Fiolen. Dalam pertempuran, apa kamu akan buang-buang mana sebanyak itu?”
“Apa?”
Mata Fiolen membulat, jelas tak menyangka aku akan menegurnya di depan umum.
Namun sesaat kemudian, ekspresinya kembali datar.
Selama sebulan ini dia memang agak waspada padaku, mungkin karena dia tak punya ingatan tentangku sebelum regresinya.
Wajar, dia datang dari dua puluh tahun di masa depan. Mana mungkin dia ingat semua profesor?
Mungkin dia menganggapku cuma profesor tak penting yang tak punya kehadiran.
“Kau pakai sepuluh kali lebih banyak mana hanya untuk menumbangkan satu target. Kalau itu bukan pamer kekuatan, lalu apa? Mau pamer kemampuanmu di hadapan musuh sungguhan nanti?”
“Aku hanya berlatih untuk bisa menaklukkan musuh dengan efisien. Meski targetnya satu, aku berlatih seolah sedang menghadapi sepuluh.”
“Efisien, katanya?” aku mengangkat alis. “Kau benar-benar menganggap magicmu efisien?”
Perlahan aku menunjuk target di ujung lapangan.
“Benar, daya hancurnya besar. Tapi berapa detik yang kau butuhkan untuk mengeluarkan magic itu?”
“…Enam detik.”
Cukup cepat. Tapi dalam pertarungan sungguhan, tidak.
“Enam detik cukup untuk orang dewasa berlari dari jarak lima puluh meter dan menebas lehermu. Bagaimana kalau yang datang itu seorang mage atau kesatria? Masih yakin kepalamu nggak akan copot?”
“Itu…”
“Lihat Araceli. Dari mulai mengucap mantra sampai panahnya mengenai sasaran, butuh waktu kurang dari dua detik.”
Asisten Willis ikut menimpali dari samping, “Araceli memang lebih efisien, bukan cuma dari segi akurasi, tapi juga konsumsi mana.”
Aku nggak sepenuhnya ngerti apa maksudnya, tapi sepertinya benar juga.
“Pertarungan bukan pertunjukan, Fiolen. Musuh tidak akan menunggumu menyelesaikan magic indahmu itu.”
Suasana di sekitar langsung berubah. Beberapa siswa mulai berbisik, mengangguk setuju.
“Benar juga. Aku jadi malu karena tadi sempat mengira magic Fiolen lebih hebat.”
“Ya, pertarungan bukan soal gaya… Nggak kayak duduk di kamar, baca buku, dan nulis teori magic.”
Tanpa sadar, aku mulai menciptakan citra diri sebagai Battle Mage hebat.
Sengaja atau tidak, itu bisa kupakai sekarang.
Walaupun cuma citra palsu.
Sebagian besar profesor di sini nggak punya pengalaman bertarung sungguhan, jadi istilah ngawur pun bisa terdengar masuk akal.
Padahal sebenarnya aku juga nggak ngerti-ngerti amat soal magic, tapi toh nggak ada yang salah dari ucapanku.
Sementara ekspresi Araceli tampak sedikit lebih cerah, wajah Fiolen justru perlahan mengeras.
Dasar brengsek, padahal umurmu delapan tahun lebih tua dariku, tapi nggak bisa nyembunyiin ekspresi sama sekali.
Kau benci kalah, ya?
“…Profesor, bisa buktikan kalau ucapan Anda benar?”
Aku tahu.
Pada akhirnya, dia akan bicara seperti itu.
Karena yang dia khawatirkan bukan kebenaran, tapi egonya, dan taman harem-nya.
“Tentu. Aku sudah bertarung di medan perang selama lima belas tahun.”
“Pengalaman tidak penting. Yang penting apakah ucapan Anda benar atau tidak.”
Anak-anak di sekitar kami langsung bereaksi.
“Eh, dia berani ngomong begitu ke profesor?”
“Oh tidak, ini gawat.”
Tapi sebelum Fiolen sempat menambahi kata, aku sudah menyiapkan umpan manis-ku.
“Karena aku seorang profesor, tentu tidak pantas kalau harus berduel dengan muridku langsung… Jadi bagaimana kalau kita buktikan di Maelka Dungeon?”
Maelka Dungeon.
Sebuah event tahunan di mana siswa dan profesor Vivienda membentuk tim untuk menaklukkan dungeon bersama.
Persaingan antar departemen dan angkatan selalu sengit.
Sebab, siapa pun yang berprestasi di sana bisa langsung direkrut jadi mage nasional, atau bahkan magang di magic tower ternama.
Bisa dibilang, Maelka Dungeon adalah panggung audisi bagi murid-murid tanpa koneksi.
Dan tentu saja, Fiolen pasti tahu semua “kejutan” yang akan terjadi di dalam dungeon itu.
Dia seorang regresor, toh.
“Maelka Dungeon?” matanya menyipit.
“Ya. Dan kebetulan, aku akan bekerja sama dengan Aracel, yang tadi menunjukkan performa lebih baik.”
Sudut bibir Fiolen perlahan terangkat.
Aku tahu. Sudah kuduga.
Dia pasti tak tahan.
Pasti bersemangat menghadapi profesor yang baru saja mempermalukannya di depan banyak orang dan membalas dengan kemenangan telak.
Bagi seorang regresor, ini adalah pertarungan yang tak boleh kalah.
Karena hanya dia yang tahu semua yang akan terjadi di dalam dungeon itu.
“Baiklah,” katanya mantap.
Aku menatapnya, dan dalam hati, tertawa pelan.
Karena
[Protagonis Fiolen telah mulai mengganggu Chapter ‘Maelka Dungeon Hell Beasts (3).’]
[Perubahan terdeteksi dalam chapter ini.]
Masa depan yang kulihat… kini telah berubah.
0 komentar:
Posting Komentar