Willis, pria yang memperkenalkan diri sebagai asistenku untuk kelas Combat Magic tingkat satu, terus saja bicara tanpa henti sambil menuntunku ke suatu tempat.
Dia benar-benar cerewet.
“Gila ya, keren banget! Tahun ini ada tiga jenius sekaligus yang masuk Vivienda Academy!”
“Uh, iya… iya juga.”
Aku menjawab seadanya, tapi ada satu masalah.
<Vivienda Magic Academy didirikan lima ratus tahun lalu oleh mage Linecare. Ia membangun sekolah ini di atas struktur raksasa, sepuluh kilometer di atas tanah, supaya manusia biasa tak bisa masuk.>
Masalahnya, sekarang ada dua orang yang bicara bersamaan.
<…Akademi ini ditenagai oleh Mana Stone terbesar di dunia ini…>
‘Hey.’
< Apa? Kenapa?>
‘Kenapa kamu tiba-tiba ngoceh banyak banget?’
<Skill-mu “Protagonist Hunter” sekarang sudah naik ke level 2, jadi kamu bisa memahami alur dunia ini.>
“Serius?”
Tapi ya sudahlah, itu nggak terlalu penting.
‘Oke, cukup. Diam dulu.’
Kalau ada dua makhluk yang menjelaskan sesuatu di saat bersamaan, lebih baik dengarkan yang informasinya lebih berguna.
Dan jelas, antara Client yang menjelaskan sejarah nggak penting akademi ini, dan Willis yang sedang cerita tentang kondisi terkini, aku tahu harus denger yang mana.
< …Baiklah.>
Entah kenapa, si Client yang biasanya datar tanpa emosi tiba-tiba terdengar agak merajuk dan menahan suaranya.
“Makanya itu… Profesor? Profesor Yoo? Anda dengar aku nggak?”
Aku tersadar dari lamunan. “Iya, iya. menarik banget tadi.”
“Hah? Menurut Anda menarik kalau wig Kepala Sekolah Matalani copot pas pidato?”
“Ya, tiap orang punya selera humor masing-masing.”
“Ah, benar juga.”
Willis mengangguk cepat lalu lanjut berceloteh lagi.
“Ngomong-ngomong, Profesor, menurut Anda siapa yang bakal dapat nilai tertinggi di circling tahun ini?”
“Circling?” aku mengulang, bingung.
Aku nggak tahu apa maksudnya, jadi kupilih untuk balik tanya. “Menurutmu siapa?”
“Hmm… aku rasa Gurim, peringkat dua di ujian masuk. Walaupun dia lemah di teori, tapi mana circling-nya sudah diwariskan turun-temurun di keluarganya. Luar biasa, kan? Profesor juga setuju, kan?”
Aku menatapnya datar.
Mana aku tahu, dasar cerewet.
“Oh, tapi Mazelon juga hebat, dia yang peringkat tiga. Ajaib banget, anak dari keluarga jatuh bisa mencapai Circle tingkat 2 di usia segitu. Kalau saja keluarganya nggak bangkrut, mungkin dia bisa jadi nomor satu.”
“Iya, aku setuju,” jawabku asal.
“Tapi ya… meski mereka hebat…”
Willis mengangkat bahu dan terkekeh.
“…tetap aja teori dan praktik mereka nggak sebanding dengan Araceli, si peringkat satu yang dapat nilai sempurna dan ngalahin semua orang.”
Araceli di peringkat satu.
Gurim di peringkat dua.
Mazelon di peringkat tiga.
Protagonis dunia ini bernama Fiolen. Jadi, nggak ada satu pun dari mereka yang cocok.
Tapi… bisa jadi protagonisnya pakai nama samaran.
Karena dunia ini punya hashtag “#Genius,” jadi aku nggak bisa sepenuhnya mengabaikan kemungkinan salah satu dari mereka adalah sang protagonis.
“Mungkin hari ini kita bakal lihat catatan magic grade tertinggi sepanjang sejarah Vivienda Magic Academy.”
Sambil terus ngobrol, kami akhirnya sampai di depan gerbang besar di ujung koridor.
Banyak anak muda berkerumun di sana, memakai jubah aneh berwarna hijau tua.
Mungkin mereka para murid akademi ini.
“Ayo, Profesor.”
Begitu pintu terbuka, pemandangan aula raksasa terbentang di depan mata.
“Whoa…”
Aula itu seperti stadion Olimpiade, tersusun melingkar spiral ke bawah.
Di pusatnya, sebuah kristal biru memancarkan cahaya lembut, dan di atasnya tergantung kursi seperti lampu gantung yang melayang di udara.
“Tempat duduk Anda di sana, Profesor.”.
Willis menunjuk ke arah atas sebelum buru-buru pergi.
Gila, tinggi banget tempatnya.
Aku naik perlahan ke atas struktur seperti eskalator dan duduk di kursi yang disediakan.
Beberapa menit kemudian, profesor-profesor lain mulai berdatangan.
“Baik, semuanya tenang!”
Suara seseorang menggema keras di seluruh aula.
Seorang mage tua duduk di tengah, suaranya tak keras, tapi bergema seolah menyihir udara itu sendiri.
“Upacara circling untuk murid baru tahun ini… dimulai sekarang.”
Tepuk tangan riuh terdengar.
Satu per satu murid berjubah hijau turun ke tengah spiral.
Baru saat itu aku paham apa yang dimaksud circling.
Sama seperti tes kekuatan untuk para superhuman di Bumi, mana circling di dunia ini adalah metode untuk mengukur jumlah mana yang dimiliki seorang mage.
Kalau di SMA, para calon hunter menjalani tes kekuatan di awal dan akhir semester, maka di sini para mage diuji kekuatan mana-nya secara terbuka lewat kristal biru itu.
“Tahun pertama, Departemen Teori Magic, Zandarite. Mana, tiga puluh satu.”
ndb
“Waaah…”
Sorak-sorai langsung terdengar dari para murid.
Cahaya kristalnya terlihat luar biasa bagi mataku, tapi sepertinya angka itu memang tinggi.
Setelah itu, beberapa murid lain ikut menguji, dan rata-ratanya ada di kisaran sepuluh sampai dua puluh.
Tak lama, para profesor mulai berbisik satu sama lain.
“Dia datang.”
“Anak itu Mazelon, ya?”
“Sepertinya begitu.”
Seorang anak laki-laki dengan wajah tegas berjalan ke depan dan meletakkan tangannya di atas kristal biru.
“Tahun pertama, Departemen Combat Magic, Mazelon Verith. Mana, empat puluh enam.”
Keributan langsung pecah.
“Astaga… itu udah cukup buat Circle tingkat 3, kan?”
“Luar biasa banget…”
Mazelon jelas jenius. Tapi bukan dia protagonisnya.
Aku tahu karena tak ada hashtag yang muncul di atas kepalanya.
Satu kandidat tereliminasi.
Tiga puluh murid berikutnya lewat tanpa hasil.
Lalu muncullah kandidat kedua, Gurim.
Anak itu punya wajah licik dan senyum menjengkelkan.
“Tahun pertama, Departemen Combat Magic, Gurim Hainbul. Mana, empat puluh sembilan.”
Sekali lagi, aula bergemuruh.
“Hah… Tiap tahun aja susah banget nemuin murid yang mana-nya di atas tiga puluh, ini kok bisa ada dua sekaligus!”
Para profesor tampak terkejut.
Tapi Gurim juga bukan protagonis.
Hingga akhirnya, setelah seratus murid berlalu, tibalah giliran kandidat terakhir.
Seorang gadis berambut hitam lurus dengan wajah cerah maju ke depan dan meletakkan tangannya di atas kristal.
[Karakter pendukung Araceli uses Araceli Mana Circling MK-2 (C)]
Hah? Karakter pendukung?
Pertanyaan itu baru muncul di kepalaku saat suara petugas terdengar.
“Tahun pertama, Departemen Combat Magic, Araceli Linecare. Mana, lima puluh dua.”
Keributan kali ini jauh lebih heboh dari sebelumnya.
Bahkan para profesor pun terdiam dengan wajah terpana.
“Jadi rumor ‘jenius sekali dalam seribu tahun’ itu benar…”
“Kabarnya dia keturunan mage besar, Linecare.”
“Tapi umur tujuh belas tahun dengan mana lima puluh dua? Tubuhnya bisa hancur kalau tak kuat menahannya!”
Seperti dugaan, Araceli, si murid terbaik punya mana tertinggi.
Sayangnya, dia juga bukan sang protagonis.
Apa-apaan itu barusan…?
Seolah bisa membaca pikiranku, Araceli mendongakkan kepala dengan penuh kebanggaan.
Hm, tipe yang sombong rupanya.
Tapi aku tak peduli. Yang penting sekarang, menemukan protagonis.
Dan saat aku berpikir begitu...
Aula mendadak kembali riuh.
Seorang anak laki-laki berpenampilan lusuh berjalan perlahan menuju kristal biru.
“Haha, kasihan banget sih, cuma rakyat biasa. Dari semua orang, kok bisa dia yang jadi murid setelah Araceli.”
“Cih, dia bahkan punya mana nggak, sih?”
“Nggak nyangka banget orang kayak gitu bisa masuk sekolah ini.”
Bisik-bisik para murid terdengar jelas di telingaku, tapi aku nggak terlalu peduli.
Soalnya, di atas kepala bocah itu, aku bisa melihat jelas deretan hashtag yang melayang.
#Student_Turned_Out_To_Be_A_Magic_Genius
#Fantasy #Regression #Academy #Harem
Fiolen.
Dialah protagonis dunia ini.
‘Jadi dia… protagonisnya.’
Fiolen menaruh tangannya di atas bola kristal tanpa ragu sedikit pun, seolah nggak peduli semua orang sedang memperhatikannya.
Lalu, cahaya biru jernih memanca jauh lebih kuat dari apa pun yang sebelumnya pernah kulihat.
[Protagonis Fiolen menggunakan skill Araceli Mana Circling MK-40 (SS)]
Pesan misterius itu muncul di kepalaku.
Profesor yang bertanggung jawab atas bola kristal itu langsung membelalak kaget.
“Tahun pertama, jurusan Combat magic, Fiolen… nilai mananya adalah…”
Profesor itu menatap angka di bola kristal itu sekali lagi, takut kalau dia salah lihat.
Tapi bola kristal tak pernah berbohong.
Dengan kata lain, angka luar biasa itu adalah kenyataan.
“…Astaga. Tujuh puluh.”
Seluruh aula langsung hening tak wajar.
Araceli terpaku di tempat, sementara kepala sekolah hanya mengangguk pelan.
Fiolen tersenyum.
Senyum itu… aku kenal betul.
Senyum seseorang yang pernah merebut segalanya dari orang lain.
Senyum menjijikkan milik pencuri yang puas atas hasil rampasannya.
< Fiolen kembali ke masa lalu dari dua puluh tahun di masa depan. >
< Skill ‘Araceli Mana Circling MK-40 (SS)’ yang baru saja digunakan, diciptakan oleh Mage Araceli di masa depan setelah bertahun-tahun percobaan. >
Yah, ini perkembangan yang sudah bisa kutebak.
Araceli Linecare.
Seorang jenius langka yang dua puluh tahun dari sekarang dikatakan telah memajukan dunia magic ini ratusan kali lipat.
Diberkati dunia, katanya. Tapi tetap saja dia bukan protagonis.
Hanya pemeran pendukung bagi sang protagonis.
Dua puluh tahun kemudian, semua prestasi Araceli di masa depan itu kini lenyap.
Araceli masa kini nggak tahu apa pun soal pencapaiannya kelak, tapi Fiolen si ‘regressor’ tahu semuanya.
Dan aku pun tahu.
< Protagonist Hunter Lv.2 aktif karena perubahan dalam alur dunia. >
Di alur asli, Araceli menempati peringkat pertama dalam ujian awal.
Di alur kedua, Fiolen menggeser posisinya dan mengambil tempat pertama.
Di alur asli, Araceli yang menemukan ide ‘perangkat mekanik aneh’ sebagai mahasiswa.
Di alur kedua, Fiolen yang justru menciptakannya duluan.
Di alur asli, Araceli terpilih menjadi pemain utama di olahraga magic 'air soccer’.
Di alur kedua, Fiolen yang menggantikannya setelah Araceli terluka.
Di alur asli, Araceli punya banyak rumus setingkat universitas dan dipuji para profesor.
Di alur kedua, Fiolen menghancurkan karier Araceli dengan mencuri semua rumusnya.
Dan yang paling lucu
Rumus magic yang Fiolen gunakan untuk menjatuhkan Araceli kali ini…
< Rumus magic yang disajikan protagonis Fiolen kali ini akan diciptakan oleh Araceli tiga tahun dari sekarang. >
Dengan kata lain, Fiolen mencuri semua prestasi Araceli dari masa depan, kembali ke masa lalu, dan menghancurkan hidupnya dari awal.
Dia sebegitu kejamnya sampai aku, yang juga suka mengambil apa yang bukan milikku, pun merasa jijik.
Dan bukan cuma Araceli.
“Hiyan, kamu lebih cocok pakai magic es daripada magic api.”
“N-nggak mungkin! Keluargaku sudah turun-temurun pakai magic api!”
“Percayalah padaku. Kalau kamu mau menembus batasmu.”
Karena akademi ini tempat berkumpulnya para bangsawan, tentu banyak gadis cantik di sini dan Fiolen, si brengsek itu, menggoda semuanya.
“Fiolen~ gimana sih kamu tahu aku suka caffe latte? Rasanya jadi kangen rumah, deh.”
“Makasih, Fiolen! Aku coba saranmu, dan ternyata benar banget!”
“Ah, Fiolen… kamu tahu tempat favoritku? Aku sering ke sini sendirian, loh.”
…Setiap percakapan mereka penuh aroma masa muda.
Dan cara dia bicara, entah kenapa, seperti orang yang takut kedengarannya terlalu bangsawan.
Kalau dilihat sekilas, kau bisa mengira Shakespeare reinkarnasi jadi bocah ini.
Sekitar sebulan kemudian, Fiolen sudah membentuk “Kerajaan Harem”-nya sendiri, sementara Araceli makin hancur.
Gadis yang dulunya penuh percaya diri itu kini bahkan menunduk tiap kali mendengar namanya disebut.
Kasihan memang… tapi itu bukan urusanku.
Lagian, toh aku berencana mengakhiri semuanya begitu aku berhasil “memburu” Fiolen nanti.
Kalau kau tanya apa yang kulakukan selama itu?
Sambil menyiapkan perburuan, aku juga berusaha mempelajari magic.
Tentu saja… nggak gampang.
magic butuh pengetahuan setingkat universitas.
Sementara latar pendidikanku di Bumi? Lulus SMP aja enggak.
Tapi untungnya, di dunia ini apalagi di akademi magic seperti ini, informasi dan bahan belajar bertebaran di mana-mana.
Aku pun mulai memahami sedikit demi sedikit.
Magic… ternyata jauh lebih sulit, misterius, dan memukau dari yang kubayangkan.
Sampai sebuah ide gila muncul di kepalaku.
Di Bumi ada sains dan kekuatan super, tapi nggak ada magic.
Di sini ada magic, tapi nggak ada sains atau kekuatan super.
Kalau dua hal itu… aku gabungkan?
Apa yang akan terjadi?
“Profesor Yoo, silakan lanjutkan kuliahnya.”
Suara seseorang menyadarkanku dari lamunan.
Benar, aku sedang mengajar mata kuliah “Magic combat” untuk murid tahun pertama.
Aku memang nggak bisa magic, tapi untungnya asistenku, Willis, mengurus semua hal penting, jadi aku tinggal duduk manis.
Namun
“Profesor! Tunjukkan lagi dong ‘Tembakan magic Terkonsentrasi’ yang waktu itu!”
“Iya, profesor! Tunjukkan, tunjukkan!”
Anak-anak itu menatapku dengan mata berbinar.jdjjd
‘Tembakan magic Terkonsentrasi’, katanya.
Padahal sebenarnya itu cuma aku nembak pakai pistol, bukan magic.
Aku mengeluarkan pistol dari pinggang, memasang peredam, dan menembakkan tiga peluru ke langit.
Tiga burung pipit yang sedang terbang langsung jatuh ke tanah.
“Wah… luar biasa! Gimana bisa sejauh itu?”
“Dia bahkan nggak pakai mantra!”
“Aku pengen banget belajar jurus itu!”
Maaf ya, anak-anak…
semuanya cuma trik.
Dan bukan cuma murid yang kena tipu.
Begitu aku pamer sedikit alat ether milikku, para profesor malah berbondong-bondong datang ke kelas, bilang mau “mengamati.”
Sebulan kemudian, setiap profesor yang nggak punya jam kuliah malah datang nonton kelas lapanganku.
Jadi jumlah profesor lebih banyak dari muridnya.
Kupikir mereka bakal sadar kalau semua ini cuma akal-akalan… tapi ternyata
“Profesor Yoo, magicmu luar biasa.”
“Luar biasa… aku bahkan nggak bisa merasakan aliran mana-nya.”
“Magic macam apa yang harus dipelajari supaya bisa seperti itu?”
“Seperti dugaan, jalan pembelajaran memang tak ada habisnya. Aku ingin membaca tesis Profesor Yoo.”
‘Tolonglah, profesor… jangan sampai beneran kalian baca,’ batinku pasrah.
0 komentar:
Posting Komentar