Mungkin… dari awal aku sudah menduganya.
[Skill ‘Protagonist Hunter Lv.2’ telah diaktifkan.]
[Talenta dan skill dari protagonis yang berhasil diburu akan ditampilkan.]
Araceli, di masa depan, akan menjadi Mage tingkat 9, gelar yang sangat pantas ia sandang.
Kalau bakatnya ditampilkan, mungkin tertulis [Magic (SSS)].
Begitulah hebat dan mengerikannya bakat Araceli.
‘Ngomong-ngomong soal Self Regression.’
Skill Rank SSS+ itu memungkinkan protagonis bernama Fiolen untuk kembali ke masa lalu.
Skill itu hanya bisa digunakan sekali, dan akan mengembalikan seseorang ke titik saat dirinya paling lemah.
Jelas saja, kalau aku dapat skill ini, sistem pasti langsung membatalkan akuisisinya jadi aku tidak terlalu kecewa.
Aku menjatuhkan tubuh ke lantai lab.
Sudah sehari sejak ekspedisi itu berakhir dan Fiolen dinyatakan mati sebagai Black Mage.
Aku, Yoo Seodam, masih menunda kepulanganku ke Bumi dan memilih tinggal sementara di akademi ini.
Tujuan kali ini sederhana.
Magic.
Aku ingin bisa menggunakan setidaknya satu mantra dengan benar.
Aku duduk di depan magic circle yang rumit di lantai, menarik napas panjang.
Sekilas, Circle itu tampak kompleks, tapi sebenarnya itu jenis magic paling dasar yang bahkan murid-murid Vivienda Academy akan menertawakan kalau melihatnya.
Kalau dibandingkan dengan Bumi, levelnya paling tinggi cuma setara pelajaran SMA.
Sayangnya, aku sama sekali tak punya dasar dalam dunia magic dan entah kenapa aku merasa kalau “bisa belajar” juga merupakan bentuk talenta.
Walau sudah dua bulan penuh aku mempelajari magic dengan sungguh-sungguh, rumus-rumusnya tetap tidak kumengerti.
Yang kulakukan hanyalah menghafal dan meniru.
Ya, Magic circleku kasar banget.
Aku memejamkan mata, mengulurkan tangan ke arah circle.
Ada energi asing yang terasa membara dari dadaku, menjalar ke otak, lalu kembali ke jantung, dan akhirnya turun ke perut dalam sekejap.
Pengalamanku dalam menyerap mana ibarat mencoba mengambil butiran pasir di pantai… pakai sumpit.
Sebelumnya aku bisa ‘melihat’ dan ‘merasakan’ mana, tapi ya jelas saja, siapa yang bisa mengambil pasir dengan sumpit?
Tapi skill Araceli’s Mana Circling Rank SS itu seperti truk derek dibanding sumpit.
Kalau dulu aku cuma bisa ngambil butir pasir dengan sumpit, sekarang sumpit itu sudah berubah jadi forklift!
Hwiing…!!
Perlahan, Magic circle mulai bersinar.
Untuk pertama kalinya, magic merespons manaku sendiri.
Magic ini sungguh… bidang yang dalam banget.
Kalau kekuatan super berasal dari menyerap aether ke dalam tubuh lalu membentuknya, maka magic adalah usaha matematis untuk menghitung dan membentuk wujudnya.
Artinya, siapa pun yang mempelajari magic bisa melakukan hal yang mirip dengan kekuatan super.
Dan sebagai buktinya, kertas di hadapanku perlahan terangkat ke udara.
Angin bergerak mengikuti kehendakku.
Sesaat kemudian, anginnya melemah dan kertas itu jatuh lagi ke lantai. Tapi bagiku, itu sudah cukup.
Tidak, bahkan lebih dari cukup. Itu luar biasa.
Rasanya aku ingin bersorak untuk diriku sendiri sekarang.
Seseorang seperti aku, yang sama sekali tidak punya bakat kekuatan super, berhasil menggerakkan magic!
Dengan ini aku yakin.
meskipun aku tidak punya kekuatan super, aku tetap bisa belajar dan menggunakan magic.
Aku cuma mengangkat selembar kertas, tapi rasanya seperti seluruh dunia ada dalam genggamanku.
Para jenius tidak akan pernah tahu perasaan seperti ini.
‘Huuu…’
Aku bangkit perlahan dari lantai.
Begitu mencoba menegakkan kaki, tubuhku sempoyongan, jadi aku buru-buru berpegangan pada meja.
Aku cuma menggerakkan selembar kertas dengan magic, tapi lihat hasilnya.
Kalau bukan karena skill Mana Circling milik Araceli, mungkin aku sudah kehabisan tenaga bahkan sebelum mantranya berhasil.
Sekarang setelah aku tahu aku bisa menggunakan magic,
saatnya kembali ke Bumi.
Dengan pikiran itu, aku mulai beres-beres lab.
Tempat ini sudah kutinggali hampir dua bulan, jadi rasanya agak berat meninggalkannya. Aku tahu, aku tidak akan bisa kembali ke sini lagi.
Tok, tok!
“…?”
Saat aku hendak memulai perjalanan pulang, terdengar ketukan dari pintu.
Aku sebenarnya bisa langsung pergi, tapi entah kenapa… aku ingin tahu siapa yang datang.
“Siapa di sana?”
[Profesor, aku Araceli.]
“…Hm? Masuklah.”
Pintu perlahan terbuka, dan Araceli masuk pelan-pelan, rambut hitam panjangnya terurai bebas.
Entah kenapa, aura percaya dirinya yang dulu masih belum kembali sepenuhnya. Aku tidak mengerti kenapa.
Fiolen sudah mati.
Gambar palsu yang dia ciptakan harusnya ikut runtuh bersamanya.
Tapi bukan berarti citra Araceli langsung membaik begitu saja.
Bahkan selama dua bulan terakhir, reputasinya malah makin jatuh.
“Ada apa?” tanyaku.
“Anda…”
Araceli melirik sekeliling lab, lalu menatap pakaian yang kupakai.
“…Kupikir anda akan pergi. Jadi aku datang untuk mengucapkan selamat tinggal.”
“Bagaimana kau tahu?”
“Itu… cuma firasat.”
Aku tidak bilang ke siapa pun kalau aku akan pergi.
Aku memang berbicara dengan beberapa profesor, tapi tidak sampai dekat dengan mereka.
Kupikir, setelah pergi dari sini, aku tidak akan bertemu siapa pun dari tempat ini lagi.
Begitu juga dengan para siswa, aku tidak berniat dekat dengan siapa pun.
Sekarang, dan nanti, aku akan terus berkelana melewati dunia dan dimensi, bertemu banyak orang.
Tapi kalau setiap kali aku memberi hati, aku pasti akan hancur duluan.
Aku sudah kehilangan terlalu banyak ikatan, dan sekarang aku sudah lelah.
“Sebelum anda pergi… aku sungguh ingin mengucapkan terima kasih.”
“Terima kasih? Untuk apa?”
“Untuk semua yang sudah anda lakukan. Terima kasih.”
Araceli menggigit bibirnya pelan.
Sebenarnya, aku sudah tahu.
Untuk hal apa dia berterima kasih padaku.
Meskipun waktu kami singkat, ada satu hal yang kupelajari tentang dirinya, Araceli punya mental yang rapuh.
Dia pernah ditekan di depan umum oleh Fiolen, dan sempat berpikir untuk berhenti dari dunia magic sepenuhnya.
Aku nggak bisa percaya kalau dia se-mental lemah itu sampai dua bulan digencet aja udah hancur.
Aku bener-bener nggak ngerti dia.
Araceli itu hampir setara dengan sang protagonis, tapi… ya, mentalnya memang agak rapuh.
“Tapi tetap saja. Berkat Profesor, aku jadi lebih percaya diri. Sekarang aku bisa belajar magic dengan keyakinan penuh… Jadi sebelum Profesor pergi, aku pengen ngucapin terima kasih.”
Araceli cuma karakter pendukung.
Karakter sampingan yang akhirnya kehilangan semua pencapaiannya karena si protagonis.
Jadi, apa memang takdirnya semua hal direnggut darinya?
Apa dia bakal jadi penjahat di masa depan?
Aku nggak tahu.
Tapi ada satu hal penting.
Di masa depan yang jauh, dia bakal jadi mage hebat dengan kekuatannya sendiri.
Karena dia punya kepercayaan diri seorang jenius dan mampu mengembangkan magic di dunia ini dengan cepat.
Tapi sekarang, rasa percaya diri itu sudah hancur.
Mungkin masa depan dunia ini sedikit berubah karena keberadaan Fiolen.
Padahal seharusnya, Araceli akan dikenal luas lewat pencapaiannya di Dungeon Maelka, dan dari sanalah dia dapat kesempatan untuk berinteraksi dengan banyak mage hebat, menyempurnakan magic-magic yang luar biasa.
Tapi sekarang, bahkan titik awal itu sudah berantakan.
Aku sebenarnya nggak harus ikut campur.
Tapi entah kenapa, aku pengen aja.
“Dalang di balik pemanggilan Hell Sphinx itu… sebenarnya orang lain.”
“...Hah?”
“Dia masih bergerak di balik layar akademi ini. Dan aku nggak tahu apa yang bakal dia lakukan selanjutnya.”
Cuma itu yang bisa kukatakan.
Cuma dengan tahu kalau ada penjahat seperti itu, Araceli pasti bakal pakai otaknya yang jenius buat nangkap Black Mage itu.
Dan kalau dia berhasil, reputasi yang seharusnya miliknya akan kembali.
“Tangkap dia.”
Aku nggak kasih tahu alasannya.
Mungkin, dia belum akan paham sekarang.
Alasan kenapa aku ngelakuin ini.
Tapi mungkin nanti, di masa depan, dia bakal ngerti.
Kesempatan tak terhitung banyaknya yang bakal datang setelah menangkap Black Mage itu.
“...Kalau begitu, Profesor mau pergi sekarang?”
“Iya. Tempat ini bukan untukku… Mungkin ini terakhir kalinya aku di sini.”
“Ah, begitu ya…”
Araceli sempat ragu, lalu bertanya pelan.
“...Kalau boleh tahu, Profesor mau ke mana?”
“Hmm… Tempat yang nggak akan bisa kamu temukan.”
Belakangan ini, “dimensi” udah jadi hal yang lumayan umum di Bumi.
Protagonis dengan hashtag traveler, dungeon-dungeon di Bumi, semuanya berhubungan sama dimensi, termasuk aku sendiri, seorang pengelana dimensi.
Tapi semua itu bukan hasil dari kecerdikan manusia.
Manusia nggak bisa begitu saja memahami ilmu tentang dimensi.
Itu semua cuma kebetulan, sesuatu yang terjadi sesuai hukum alam.
Jadi kemungkinan Araceli bisa menemukan atau menciptakan dimensi dengan kemampuan manusia? Nol.
Karena itu...
Sebagai hadiah perpisahan abadi, aku kasih dia sesuatu.
Juga sebagai ritual kecil untuk melepaskan perasaan aneh yang sempat tumbuh sesaat.
“Ini…”
“Peluru.”
“Pe… peluru?”
Benda kecil yang mungil, tapi bisa mematikan monster dalam sekejap.
“Dan, lepaskan perasaan yang masih kamu simpan.”
“Huh? Maksud Profesor apa…!”
Setelah bilang begitu, aku langsung buka pintu lab dan pergi.
Araceli, masih memegang peluru itu, buru-buru menyusul keluar.
“Huh…?”
Ke mana pun dia melihat, Dia nggak bisa menemukan siapa pun.
Menghilang.
Tanpa pamit.
Seolah-olah dia nggak pernah ada di sana.
“…Apa, dia benar-benar pergi selamanya?”
Sambil menggenggam peluru di tangannya, Araceli menggigit bibirnya.
Kata-kata Seodam terus terngiang di kepalanya.
“Tempat yang nggak akan pernah bisa kamu temukan.”
Tapi Araceli berpikir lain.
“Magic… nggak mengenal kata ‘mutlak’.”
Dalam dunia magic, kata mutlak itu dilarang.
Karena magic itu punya kemungkinan tanpa batas, semuanya bisa diwujudkan.
Jadi, ucapan Profesor tadi bertentangan dengan prinsip magic itu sendiri.
“Lain kali kita ketemu, aku bakal tunjukin kalau dia salah.”
Dengan pikiran itu, Araceli melangkah maju.
Jalan sudah terbuka.
Sekarang yang tersisa cuma berlari menyusurinya.
***
Entah kenapa, aku merasa agak pahit.
Apa aku udah bener ninggalin dia begitu aja?
Dengan perasaan campur aduk, aku akhirnya menyingkirkan semua sisa keterikatan itu.
Karena aku tahu, itu yang terbaik.
[Misi selesai. Mengembalikan anda ke dunia asal.]
[Waktu kembali normal.]
Untuk sesaat, aku merasa seperti melayang di ruang tanpa gravitasi.
Aroma yang familiar langsung menyeruak ke hidungku.
Studio kecilku.
Bau khas gedung tua berumur lebih dari tiga puluh tahun… dan bir?
Secara refleks aku pegang pedang aetherku dan cepat-cepat menatap sekeliling.
Dan di sana, di tengah ruangan, TV-nya nyala.
Seseorang sedang duduk santai hanya dengan pakaian dalam, sambil minum bir.
“...Taylor?”
Begitu mata kami bertemu, perempuan berambut perak pendek itu senyum lebar seolah bilang, lama banget nggak ketemu.
Namanya Taylor Nine.
Seorang superhuman peringkat S yang bekerja di Rusia.
Dan juga kenalan yang pernah bikin perjanjian denganku lima belas tahun lalu untuk menapaki jalan sebagai hunter.
Taylor, dengan noda bir di sudut bibirnya, menghapusnya asal-asalan, lalu menatapku dengan mata keemasan dan berkata,
“Eh..kau ngapain di situ…?”
…Bukannya seharusnya aku yang nanya begitu?
0 komentar:
Posting Komentar