Ini kedua kalinya sejak kejadian dengan Gilitender aku langsung bertemu protagonis begitu tiba di dunia lain.
Waktu itu aku nggak terlalu mikirin, soalnya aku bukan diriku yang sekarang.
Tapi sekarang beda.
Seberapa besar peluangku menang melawan level 70 secara frontal?
Seberapa besar peluangku kalau menyerangnya diam-diam sekarang?
Jawabannya: nggak ada.
Aku ini seorang hunter, dan hunter tidak bertarung secara langsung.
Untuk memburu makhluk yang lebih kuat dariku, aku harus siap seutuhnya.
“Ada apa?”
“Tidak ada.”
Untungnya, si protagonis berambut merah yang kelihatannya baru umur sepuluh tahun, tidak menyadari kalau aku ini hunter.
Syukurlah. Itu benar-benar hal baik.
< Keluarga Duke Almus adalah keluarga paling prestisius dalam urusan ilmu pedang di Kekaisaran Alethea. >
< Kekaisaran Alethea sangat menjunjung seni bela diri, jadi sebaiknya kamu menahan diri untuk tidak menggunakan magic. >
Kenapa?
< Karena magic di dunia ini hanya digunakan oleh para witch>
< Dan Witch adalah musuh seluruh umat manusia. >
< Tak ada satu pun witch yang selamat sejak perburuan witch terakhir setahun lalu. >
Nggak heran ada dunia lain yang punya magic.
Aku juga nggak kaget kalau suatu saat bakal sampai ke sebuah dunia yang anti-magic.
Tapi kalau semua witch sudah punah, lalu siapa gadis yang ada di depan mataku?
< Protagonisnya sedang dalam keadaan “possession.” >
< Dia adalah witch terakhir. Setelah dibunuh oleh Duke Almus, dia merasuki Putri Ella dan hidup kembali. >
…Gila.
Baru dengarnya saja sudah bikin bulu kuduk berdiri.
Sayang sekali Ella itu protagonis, tapi coba bayangin kalau yang dirasuki itu Duke Almus sendiri?
Kalau dia tahu musuh terbesar umat manusia yang sudah dia bunuh itu hidup lagi lewat tubuh anaknya?
Akhirnya bakal hancur.
Harusnya aku bersyukur yang jadi protagonis adalah Ella.
‘Tapi… apa sebenarnya witch itu?’
< Mereka itu ras yang lebih unggul daripada manusia, bisa menggunakan magic sejak lahir. >
< Mereka bisa mengendalikan magic dengan mudah dan umur mereka jauh lebih panjang dari manusia. Tapi mereka tidak punya emosi sama sekali. >
Serius?
Aku mengikuti Ella sambil mendengarkan dia bicara.
“Itu tempat tinggal Camillia, dan itu… tempat tinggal para ksatria dan tamu. Dan di sana…”
Nada suaranya lembut, sopan, dan penuh perhatian.
Dia menyapa pelayan yang lewat dengan, “Selamat pagi.”
Cara dia tersenyum pada semua orang itu… benar-benar manis.
Apa witch benar-benar nggak punya emosi?
Ella tersenyum sambil melambai, kelihatan seperti malaikat.
Saat kami berjalan, seorang pelayan menjatuhkan nampan.
Bukannya memarahi, Ella malah turun membantu.
“T-terima kasih banyak, Putri!”
“Tidak apa-apa, lain kali hati-hati ya.”
Aku mulai ragu.
Apa Biasanya bangsawan memperlakukan pelayannya begitu sopan?
Gambaran tentang bangsawan dan witch dalam kepalaku jadi kacau.
‘…ini protagonis yang baik, bukan?’
Walau keberadaan mereka mendatangkan ancaman bagi dunia karena hukum kausalitas, Client pernah bilang tidak semua protagonis itu jahat.
Tapi mau protagonisnya baik atau jahat, tugasku tetap sama.
Bahkan kalau dia baik sekalipun, keberadaannya tetap menghancurkan dunia.
Aku tidak bisa bilang, “Oh dia baik, biarin hidup.”
Motivasiku satu: aku ingin hidup.
Membunuh protagonis itu egois, aku tahu.
Menyeimbangkan dunia itu cuma efek samping.
Apa yang kulakukan tidak adil.
Aku tidak berniat membenarkannya.
Tapi… ya begitulah adanya.
‘Anak kecil ini… kalau aku mencoba membunuhnya sekarang, justru aku yang mati.’
Aku tidak bisa memastikan sifat Ella hanya dari interaksi singkat.
Aku perlu menyelidikinya dulu.
Setelah agak lama berjalan, Ella membawaku ke sebuah gedung latihan.
Kediaman mewah ini katanya punya lebih dari tujuh bangunan latihan, dan Ella memakai gedung ketiga.
Di tempat di mana ratusan ksatria berkumpul, Ella memperkenalkan aku.
“Ini Sir Yoo Seodam. Mulai sekarang beliau akan membimbingku dalam ilmu pedang.”
Para ksatria tidak bertepuk tangan atau berbicara.
Hanya menatap tajam, diam semua.
Canggung banget rasanya.
“Senang bertemu. Aku Erache, pemimpin tim ketiga Ksatria Camellia.”
Seorang pria paruh baya dengan kumis tebal menjabat tanganku.
Entah kenapa aura dia seperti aktor film, tapi aku cepat-cepat mengabaikannya.
“Senang bertemu.”
“…Ngomong-ngomong, aku belum pernah mendengar nama Sir Seodam meski aku sering berkelana. Boleh aku tahu dari mana asalmu?”
Sial.
Gimana aku jelaskan ini?
Aku melirik Ella, dia juga memandangku, jelas penasaran.
Wajar kalau Erache bertanya.
Mereka mengundang seorang instruktur untuk mengajarkan pedang pada putri kedua, tapi namanya bahkan tidak pernah terdengar.
Masuk akal untuk curiga.
Aku selalu mengikuti arus takdir, tapi sekarang seperti ada batu yang jatuh dan mengganggu aliran sungai itu.
Dan Erache merasakan ada yang janggal.
Tapi meski aku batu, arus sungai tetap akan berjalan.
Aku perlahan mengeluarkan pedang aether.
“Aku berasal dari tempat yang sangat jauh. Kalian tak akan tahu.”
“Kalau begitu…”
“Biarkan aku tunjukkan.”
Ini semacam taruhan.
Aku teringat apa yang Gilitender bilang ketika melihat pedang aetherku.
‘Itu wujud intent pedang yang cuma muncul dalam legenda.’
Intent pedang.
Istilah yang umum, tapi hanya bisa dilakukan oleh master swordsman.
Wiiing...!
“Hah?!”
“Oh…!”
“Ya Tuhan… master swordsman…!”
Sepertinya para master swordsman di sini juga bisa membuat pedang mereka memancarkan cahaya.
Kalau pun tidak, aku sebenarnya punya banyak cara lain untuk melewati situasi ini.
Cara ini saja yang paling cepat.
Aku berjalan pelan ke arah batu besar dan mengayunkan pedangku.
Pedang aether grade 2-ku membelah batu itu dengan sangat mudah.
“Luar biasa.”
“Tadi kau mengayunkannya pelan supaya kami bisa melihat jelas, ya?”
Nggak, itu sudah dengan seluruh tenagaku.
“Seorang pendekar pedang yang sudah mencapai tingkat master… luar biasa.”
Erache mengangguk sambil batuk ringan.
Lalu dia menatapku.
“Tidak setiap hari aku bisa melihat master swordsman. Apa kita bisa...”
“Tidak.”
Kejawab terlalu cepat.
Posisi Erache mungkin lebih tinggi dariku, tapi aku ini cuma bisa main glow stick, badan juga payah.
Jadi aku harus menolak pertarungan apapun.
“Aku pernah terluka parah dalam pertempuran. Gerakanku sudah tak sebaik dulu, tapi teknikku masih tersisa. Karena itulah aku jadi tutor.”
“Oh, Astaga…! Maafkan aku, aku terlalu lancang!”
Yang lancang sebenarnya aku.
Dan begitu, aku resmi berhasil menyamar sebagai instruktur.
Duke Almus punya lima anak.
Putra sulung, Phil Almus, 27 tahun, hampir jadi master swordsman.
Putri sulung, Haren Almus, 22 tahun, pendekar profesional.
Putri kedua, Ella Almus, 15 tahun… prestasinya sedikit.
Dua terakhir cuma karakter sampingan.
Jujur, menghafal nama-nama mereka menyebalkan, tapi mau nggak mau aku harus tahu.
“Oh iya. Kamu tahu? Putri Ella itu sakit parah sampai setahun lalu. Sampai-sampai tidak bisa bangun dari tempat tidur.”
Ini tuh klise kerasukan yang biasa banget.
Putri jatuh sakit, lalu ada jiwa lain yang masuk ke tubuhnya.
“Tapi yang luar biasa itu, begitu Duke Almus nusuk jantung witch terakhir pakai pedangnya… Putri Ella langsung buka mata. Gila, kan? Mungkin putrinya kena kutukan!”
“E-eh? Hei, kau! Jangan ngomong yang aneh-aneh ke instruktur!”
“Ehem! Pokoknya, bisa ceritain nanti aja?”
“Tentu.”
Karena hari ini memang nggak ada kelas, setelah Ella membubarkan aku, aku keliling-keliling mansion buat lihat-lihat.
Ternyata tempat ini gede banget.
Serius, ukurannya hampir kayak satu desa kecil.
Dan ini bahkan bukan kastil, cuma mansion.
“Eh, ngomong-ngomong… Kepribadian Putri berubah setelah kena kutukan?”
“Hmm… ya, ada satu hal.”
“Maksudnya?”
“Aku juga nggak ngerti, tapi… sebelum dia sembuh dari sakitnya, dia itu kayak orang lain banget… gitu.”
Sedikit aja ada yang nggak cocok, dia melempar piring, nyepak lilin, mukul pelayan sama ksatria, atau teriak-teriak pagi-pagi cuma karena lapar.
Makanya, semua orang di mansion ini nggak ada yang suka dia sama sekali.
Padahal dia anak kedua dari pendekar pedang legendaris, tapi ngelihat pedang aja ogah.
Sementara kakak pertama dan kakak kedua udah terkenal karena bakat mereka yang gila-gilaan, Ella malah nggak mau ngapa-ngapain.
Lalu suatu hari Ella ambruk.
Dan tepat saat Duke Almus menancapkan pedangnya ke jantung Witch terakhir, Putri Ella bangun dengan perubahan kepribadian seratus delapan puluh derajat.
“Dia jadi sopan sama semua orang, mulai ngejar pelajaran yang dia ketinggalan, dan bahkan tertarik sama pedang.”
“Iya. Semoga aja dia nggak maksain diri terlalu keras.”
“Kau nggak ngerasa putri jadi lebih meyakinkan sekarang?”
Sambil dengerin mereka, aku nengok ke luar jendela menuju lapangan latihan.
Padahal udah sore dan sesi latihan ksatria udah selesai, tapi Ella masih aja mengayunkan pedang kayunya.
Jujur aja, level 70 itu aneh banget untuk kondisi tubuh selemah itu.
Kayaknya sebagian besar level itu pasti karena magic.
Jadi, aku nggak boleh gegabah sebelum tahu magic apa yang dia punya.
Kalau soal murni teknik pedang… paling mentok dia cuma sedikit lebih kuat dari Celeste.
Itu pun dari segi teknik.
Fisiknya tetap lemah banget.
Alasan dia, yang fisiknya lemah gini, bisa nunjukkin teknik sebagus itu…
mungkin karena pedang dasar keluarga Almus emang kelas dewa.
[Protagonis Ella menggunakan skill Almus Secret Swordsmanship Style (SS+)]
Yup. Itu golden spoon-nya.
Lahir di keluarga bagus dan langsung dapat skill SS+? Siapa yang nggak iri.
“Well, dia aslinya memang sehat. Para Witch itu yang bikin masalah.”
“Tapi untung mereka semua udah mati.”
“….”
Nada suara si pelayan berubah waktu ngomong soal witch.
Penuh kebencian.
Kebencian yang lahir dari luka beneran.
“Kalian benci witch sedalam itu?”
“Tentu saja.”
“Aku baru pertama kali datang ke benua ini, apa witch di sini juga sama…?”
“Oh, sama aja. Di mana pun begitu.”
Lalu para pelayan cerita ke aku semua hal keji yang pernah dilakukan para witch ke manusia.
Saking sadisnya, aku aja sampai mengernyit.
Dan witch terakhir… itu lebih parah lagi.
Lukanya membekas setengah benua.
“witch terakhir…”
“Yang Mulia akhirnya berhasil nangkep witch terakhir itu!”
Sebentar kemudian..
“Aku kehilangan kedua orang tuaku karena witch terakhir itu.”
“Desaku hancur gara-gara dia. Sialan.”
“Aku juga… suamiku mati.”
Karena witch terakhir itu paling terkenal kejamnya, luka yang dia tinggalkan pun paling dalam.
Saat aku masih diam mendengarkan, terdengar suara lembut dari belakang.
Ella.
“Ada apa?”
“Ah, Nona. Aku tiba-tiba kepikiran kampung halaman…”
“Ada apa dengan kampung halamanmu?”
“Karena witch busuk itu..Ah! Maafkan bahasaku, Nona…”
“Nggak apa-apa.”
Ella tersenyum, memeluk si pelayan, lalu berkata,
“Pasti berat kehilangan rumahmu. Aku memang nggak bisa banyak membantu… tapi semoga ini bisa sedikit menenangkanmu.”
“Ah, Nona…”
…Ini rasanya kayak malaikat turun dari langit.
Semua orang sampai berkaca-kaca karena terharu.
Tapi aku cuma menatap Ella dengan wajah bingung.
Witch terakhir.
Bukannya itu… Ella sendiri?
“Andai aku bisa ikut merasakan sakitmu, aku akan dengan senang hati berbagi kesedihan itu bersamamu.”
…Itu bukan malaikat.
Itu psychopath sialan.
0 komentar:
Posting Komentar