Sudah dua hari berlalu sejak ledakan aneh itu.
Para ksatria menggeledah seluruh bagian dalam mansion untuk mencari pelakunya, tapi tidak menemukan apa pun.
Lagipula… aku ada di pegunungan waktu itu.
Memang ada laporan tentang suara ledakan besar dari arah gunung, tapi tidak ada yang menghubungkannya dengan ledakan di mansion yang jaraknya bermil-mil.
Begitulah dunia ini.
Aku melirik si biang keladi, mega shooter yang tergeletak di meja, lalu menatap ke luar jendela.
Dengan teleskop digital berbentuk kacamata bingkai hitam, aku bisa melihat Ella dan Haren menikmati waktu minum teh di teras putih yang indah, berada di bukit jauh di sana.
Menarik.
Benar-benar menarik.
Ella tersenyum pada Haren dengan ketulusan yang terasa dari hati.
Padahal setelah membunuh ibu Haren dan memberikan permintaan maaf palsu, dia benar-benar terlihat ingin menebus dosanya sekarang.
‘Aku akan hidup lebih baik mulai sekarang.’
‘Aku akan bersikap baik pada mereka mulai sekarang.’
Setelah berminggu-minggu merenung dan merasionalisasi dirinya, semua orang di sekitarnya termasuk dirinya sendiri, seolah berubah jadi lembaran baru.
Tapi… hanya karena dia sekarang bisa merasakan emosi, bukan berarti dosa-dosa lamanya hilang.
Begitu banyak kekejaman yang pernah dia lakukan di dunia ini.
Tentu saja, dia jahat atau tidak, itu tidak terlalu penting buatku.
Tapi kalau bisa memanfaatkan keadaan… itu cerita lain.
Refleksi diri Ella justru membukakan jalan untukku.
Selama ini aku selalu menghadapi makhluk yang lebih kuat dariku.
Untuk melawan makhluk semacam itu, aku harus menemukan cara bertarung yang tepat.
Tapi untuk protagonis… metodenya beda.
Caranya adalah menggunakan situasi dan membentuk alur cerita.
Kalau ingin membunuh seorang protagonis, harus ada unsur realistisnya.
Kalau protagonis sebuah cerita tiba-tiba mati ketabrak kereta tanpa alasan, siapa pun akan berpikir itu bukan akhir cerita.
Tanpa “realitas”, protagonis akan memelintir klise dan misiku gagal.
Karena itu, aku sudah menyusun berbagai rencana untuk membunuh Ella, beberapa cukup masuk akal.
Tapi pilihan terbaikku tetap satu:
Membongkar identitas Ella yang sebenarnya.
Murah.
Sederhana.
Dan paling efisien.
‘Hmm?’
Melalui teleskop, kulihat Haren berdiri dari meja dan pergi ke suatu tempat.
Mungkin mau mengambil sesuatu.
Saatnya.
Aku mengeluarkan remote control hitam, dan tanpa ragu menekan tombol merahnya.
Sebuah ledakan kecil terjadi dekat Ella yang masih duduk menikmati tehnya.
Boom…!
Tidak ada kerusakan berarti.
Haren pun tidak akan lecet sedikit pun.
Aku tidak ingin menyakiti orang yang bukan protagonis.
Minimal aku masih punya prinsip itu.
“A-ada apa ini?!”
“Ada ledakan di luar…!”
Dalam sekejap mansion ramai, dan Haren terlihat berlari ke arah Ella.
Ella sendiri panik.
‘Masih ada sekitar delapan.’
Waktu menangani Gilitender aku tidak membawa mega shooter, jadi aku bisa membawa lebih banyak bom kecil.
Sekarang karena ruangnya tersita oleh senjata besar itu, aku hanya membawa kurang dari sepuluh bom.
Tapi seharusnya ini cukup.
Selama beberapa hari terakhir aku mengamati Ella, jadwalnya, kebiasaannya.
Aku tahu kapan dia naik ke bukit untuk minum teh, kapan dia latihan, kapan dia kelas, bahkan kapan dan di mana dia makan.
Aku sudah memasang aether dispenser di berbagai titik.
Ada yang memunculkan api, ada yang menciptakan medan magnet, ada yang memercikkan listrik.
Alat-alat ini memang biasanya untuk menghadapi monster level rendah, tapi di sini… sangat berguna.
Rumor mulai beredar di mansion.
Selama beberapa hari.
Hal-hal aneh terjadi di sekitar Putri Ella.
Tiba-tiba ada sesuatu meledak, percikan listrik muncul di dekatnya, atau meja mendadak terbakar saat dia makan.
Selain itu, aku juga menyebarkan sedikit rumor kepada beberapa orang yang kukenal.
“Aku melihat sesuatu yang gila. Tapi aku juga nggak yakin… Tadi Nona makan sendirian, lalu piringnya naik-turun sendiri…”
“Aye, siapa yang percaya begituan?”
“Tapi kalau beneran… keren juga sih.”
Aku tersenyum sedikit dan mengucapkannya seperti bercanda.
Tidak ada yang akan percaya cerita seperti itu, tapi semakin banyak kejadian aneh di sekitar Ella, semakin orang teringat kata-kataku.
Lalu rumor pun menyebar dengan cepat:
“Piringnya terbang sendiri? Pasti ada arwah yang merasuki tubuh putri.”
“Iya, aku juga dengar begitu.”
“Aye. Ada apa ini…”
Ya.
Itulah inti dari perburuan witch.
Rumor liar, ketika sudah menyebar, akan tumbuh dan membesar sampai tak bisa dihentikan.
Aku tidak suka istilah ‘perburuan witch’ maupun tindakan itu.
Tapi kenyataannya aku sedang berhadapan dengan seorang witch.
Kalau begitu… apa salahnya mengikuti alurnya?
Meski rumor aneh terus beredar di mansion, aku tetap mengajar Ella.
Tidak banyak yang bisa dia pelajari lagi, tapi dia tetap menunjukkan kemajuan.
Para ksatria lain yang pernah “aku ajar” pun mulai mempercayaiku.
Efek samping yang tidak kusangka.
Namun, tetap saja ada batasnya mengajar dengan ocehan palsu.
Akhirnya, hari itu pun datang.
“Ella.”
“Kakak…?”
Haren Almus, lengkap dengan baju perang seperti hendak ke medan tempur, datang menemui Ella.
Dengan perlahan, dia berkata,
“…Ada perintah ‘interogasi witch’ dari atasan.”
“Hah? I-Interogasi witch…?”
Witch terlihat seperti manusia biasa.
Karena itu di Kekaisaran Alethea, untuk menangkap witch, mereka akan menahan dan menginterogasi wanita* yang dicurigai.
Prosesnya tidak brutal, metodenya akurat, jadi tidak terlalu kontroversial.
*Witch/ penyihir biasanya seorang wanita
Tapi… tetap saja aneh.
Putri kedua Adipati diinterogasi sebagai witch?
“Kakak… aku Ella Almus. Ayah pasti tidak akan mengizinkan ini, kan…?”
“Aku sudah menyetujuinya.”
“…Apa?”
Mendengar suara dingin Haren, Ella merasa ada yang janggal.
Seolah kakaknya sedang menjaga jarak.
Tanpa sadar, Ella melihat sekeliling.
Para pelayan.
Para butler.
Para ksatria.
Semuanya menatapnya… dengan kecurigaan.
‘Eh…?’
Ada yang salah.
Sejak dulu Ella memang merasa ada sedikit jarak dengan orang lain, tapi biasanya tidak sampai sejauh ini.
Hari ini berbeda.
Tapi dia tidak tahu.
Sebagai seseorang yang baru hidup sebagai manusia selama satu tahun, dia belum paham perubahan-perubahan kecil dalam hubungan dan emosi.
Dia tidak tahu bahwa selama ini…
orang-orang perlahan menjauh darinya.
Lalu…
“…Jangan-jangan… ini semua karena kejadian-kejadian aneh yang muncul di sekitarku belakangan ini?”
Ella bukan bodoh.
Dia tahu seseorang dengan sengaja mengusiknya.
Tapi dia tidak bisa memahami apa itu.
Sebuah jenis magic atau sesuatu yang bahkan dia sebagai witch hebat tidak bisa deteksi sama sekali.
Dia bahkan tidak bisa menghentikannya.
Dan itulah masalahnya.
Fenomena aneh terus terjadi di sekitar Ella, tapi satu-satunya yang tidak terluka hanyalah dia sendiri.
“Tidak! Ini bukan magic…”
“Pengadilan akan dilakukan di Kekaisaran.”
Ella tahu kebenarannya.
Ini bukan magic.
Dan ini bukan salahnya.
Tapi sekarang dia harus diinterogasi.
Itu tidak adil.
Sangat tidak adil bahwa seorang witch dituduh menggunakan magic padahal dia sama sekali tidak menggunakannya.
Namun, itu mustahil dibuktikan.
Semua orang tidak tahu apa-apa soal magic.
Satu-satunya cara membuktikan bahwa itu bukan magic… adalah dengan mengakui bahwa dia memang seorang witch.
Betapa kontradiktifnya.
‘Tidak, kalau aku sampai dibawa ke Kekaisaran, aku pasti ketahuan!’
Dengan mata bergetar, Ella perlahan bertanya pada Haren.
“Kak… ini semua karena rumor dan hal-hal aneh yang terjadi di sekitarku? Tapi Kakak kan pernah bertemu witch.”
“…Iya. Aku pernah bertemu satu.”
Dan karena itu, ia tidak meragukan apa pun.
Seodam memang sengaja memakai dispenser yang paling mirip dengan magic jenis yang pernah dilihat Haren.
“Kakak… Kakak percaya aku, kan…?”
Itu pertanyaan terakhir dari Ella.
Haren menjawab dengan suara tenang.
“Tidak. Aku sudah menyerahkan permohonan interogasi witch.”
Jawaban final.
“Ka-kak…?”
Tanpa sadar, Ella mundur selangkah.
Haren terlihat seperti sedang menahan sakit.
“Ella. Masih ada kesempatan. Katakan yang sebenarnya. Dengan begitu semua ini bisa dianggap tidak pernah terjadi. Kakak bisa mengurusnya.”
“…Kak…”
Itu hampir seperti sebuah permintaan.
Namun Ella tidak bisa.
Dia tidak boleh mengatakan yang sebenarnya.
Dia tahu bagaimana manusia memandang witch.
Dia tahu betapa bencinya dunia pada jenisnya.
Dan selama ini dia bahagia.
Tidak, dia baru mengenal apa itu bahagia.
Bisa merasakan kasih sayang.
Bisa diakui seseorang.
Bisa merasakan arti keluarga.
Semua itu terasa manis.
Terlalu manis untuk dilepas.
Jika dia mengakui bahwa dia adalah witch .... dia tidak akan pernah merasakannya lagi.
Jadi
“Kak… aku bukan witch.”
Tidak ada pilihan lain.
Setelah mendengar jawaban itu, Haren tersenyum.
Senyum yang begitu hangat, sampai Ella yang baru pertama kali mengenali emosi merasakan dadanya penuh hangat.
“Iya. Kakak percaya. Kakak sudah tahu.”
“Tentu saja…!”
Di saat itulah
Tiba-tiba, Haren menarik pedangnya dan menyerang Ella.
Semuanya terjadi lebih cepat dari kedipan mata.
Dalam jarak kurang dari sepuluh meter, pedang Haren melayang tepat ke leher Ella yang bahkan tidak sempat bereaksi.
CLINK!!
…Sebuah penghalang magic otomatis aktif, melindungi tubuh Ella.
“…Hah?”
Pecahan-pecahan putih berterbangan.
Penghalang itu yang sejak awal sudah rapuh bagaikan kertas di hadapan pedang Haren.
Ella menunduk perlahan.
Pedang itu sudah menempel di kulit lehernya.
Hanya penghalangnya yang hancur.
“…Aku bilang aku tahu, Ella.”
Begitu melihat pecahan putih itu, ekspresi Haren semakin dingin.
Setiap witch punya warna magic berbeda.
Haren, yang sudah mengikuti ayahnya berburu witch bertahun-tahun, hafal ciri-cirinya.
Dan ada satu warna yang paling dia ingat.
“Putih…”
Warna yang dipakai witch terakhir yang paling mengerikan dalam sejarah.
Haren menurunkan pedangnya dan perlahan mundur.
Ella menatap Haren, lalu menatap sekeliling.
Para pelayan yang jatuh terduduk karena takut.
Ksatria yang menjatuhkan pedang dari tangan.
Para pekerja yang membeku di tempat.
Semuanya menatapnya dengan hal yang sama:
kebencian.
“K-Kak, ini kesalahpahaman…”
“…Kesalahpahaman?”
“Iya. Aku memang pernah melakukan hal buruk pada manusia. Tapi! Sekarang aku tahu. Aku sadar aku salah. Aku bisa merasakan sekarang. Aku menyesal! Aku benar-benar akan menebus semuanya!”
Mendengar itu, Haren tertawa kecil, tawa yang hampa.
“Penebusan? Menebus dosa itu bukan dilakukan cuma di dalam pikiran. Penebusan adalah membayar harga atas dosa-dosamu.”
“…!”
Harga.
Kata favorit manusia.
Ella berbicara cepat, putus asa.
“Itu benar. Aku memang witch, dan aku pernah melakukan hal mengerikan. Tapi mulai sekarang aku akan menebusnya. Aku akan hidup dengan benar. Kakak kan melihat sendiri bagaimana aku hidup…”
“….”
“Aku witch. Karena itu… aku bisa melakukan apa pun yang Kakak minta. Aku akan bayar semuanya. Asal itu cukup untuk menebusnya!”
Haren menatapnya.
Dan untuk pertama kalinya, ia tersenyum cerah, entah kenapa.
“Ella. Ingat?”
“…Apa?”
“Setahun lalu. Sehari sebelum kamu pingsan. Kamu bilang...”
[Dasar kakak busuk, aku benci kamu! Semoga ada witch yang mengutukmu!]
Ella selalu hidup dalam bayang-bayang saudaranya.
Tidak pernah cukup baik.
Selalu dibandingkan.
Ayah tidak peduli.
Segalanya salah.
Haren membenci Ella.
Ella pun membenci Haren.
Namun Ella tidak seharusnya berdoa kepada witch.
Setiap orang yang kedapatan berhubungan atau berdoa kepada witch… dihukum mati.
Karena tak ingin adiknya terseret kasus itu, Haren menyimpan kata-kata Ella sendiri.
“Tau nggak apa artinya itu di masyarakat manusia?”
“Aku…”
“Ella.”
Haren masih tersenyum.
“Hari itu, aku harusnya menghentikanmu. Aku tahu kamu nggak bisa mendengar ini lagi… tapi maaf. Aku beneran nggak tahu kamu bakal bener-bener memanggil witch…”
Bagi Haren, Ella sudah tidak ada.
Yang berdiri di sana hanyalah monster yang memakai kulit adiknya.
“Tadi kamu bilang mau menebus, kan?”
Ella mengangguk cepat-cepat.
Senyum Haren memudar.
“Kalau begitu… hidupkan kembali ibuku yang kamu bunuh. Hidupkan semua manusia yang kamu habisi cuma karena rasa penasaran, termasuk ibuku. Tunjukkan sekarang. Di depan mataku.”
“…K-Kak…”
“Kalau kamu nggak bisa...”
Dengan tatapan seperti melihat binatang buas, Haren mengarahkan pedangnya.
“...setidaknya, tebuslah dengan nyawamu.”
“Ah… kak… tunggu…”
[Bahaya terdeteksi pada protagonis: Ella.]
[Skill Witch Law (SS) milik Ella sebagian terbuka.]
Situasi benar-benar buruk.
Ella mundur perlahan, mengumpulkan magic di kedua tangan.
Meski kekuatannya kini telah jauh melemah, dulunya dia adalah witch yang setara dengan Duke Almus, ksatria terkuat di dunia.
‘Sedikit saja… kalau aku tarik sedikit saja kekuatan lamaku…’
Ia mengangkat tangannya ketika Haren kembali menerjang.
DUAAK!!
Seketika, leher Ella tersentak sedikit ke samping.
Sebuah pukulan kecil entah dari mana.
‘…Hah?’
Sedikit saja.
Cuma sentuhan kecil.
Tapi itu menghambat mantranya selama 0,3 detik.
“Selamat tinggal, witch.”
Bagi seorang ahli pedang seperti Haren, 0,3 detik adalah segalanya.
SWIISH!!
[Anda berhasil memburu Protagonis Level 70.]
0 komentar:
Posting Komentar