PERINGATAN: Bagian ini punya gambaran yang cukup deskriptif.
Keterampilan pedang Ella sebenarnya sudah ada di level yang cukup tinggi.
Dia baru mulai belajar pedang setahun lalu, saat umur 15, tapi sekarang dia sudah jauh lebih baik dari Celeste si jenius dari Bumi.
Walau begitu, itu hanya berlaku untuk teknik pedangnya, bukan tubuhnya.
Lagipula, kontrol pedangnya bahkan lebih halus dari aku, karena dia punya skill SS+.
Untuk bisa ngajarin Ella, aku sebenarnya harus nunjukkin pedangku.
Tapi aku ogah, jadi aku minta beberapa ksatria muda buat sparing dengannya.
“Jangan ditahan ya waktu sparing sama Putri.”
Lalu aku pura-pura sibuk ngajarin sambil nonton mereka latihan.
“Ehem. Posturmu bagus, tapi posenya berantakan.”
Kadang aku juga nyampur istilah-istilah teknik biar keliatan kayak guru beneran.
Tentu saja, kalau bohongnya jelek, aku bisa ketahuan.
Jadi aku campur sedikit teori dari dunia lain.
Akhirnya kami sampai di air terjun di dalam hutan pegunungan.
Datang ke sini nggak susah sih, soalnya ada belasan ksatria yang ngawal kami.
Shaa!!
Sekarang, aku dan Ella lagi duduk di batu sambil dihantam air terjun dari belakang.
Ini pertama kalinya aku coba latihan beginian, dan ternyata sakitnya bukan main.
“Ugh… hm.”
Ella yang juga lagi kena hantaman air, meringis.
Kenapa aku ngelakuin ini?
Ya buat buang-buang waktu dengan latihan bodong.
Sejak awal pun aku nggak mungkin ngajarin teknik pedang ke orang yang bakatnya ngalahin aku.
Dan jelas-jelas bodoh kalau aku melatih musuh yang suatu hari harus kubunuh.
Jadi aku pakai metode latihan “dihajar air terjun sambil meditasi” yang cuma ada di novel-novel.
‘Nona muda. Pedang itu bukan sekadar memegang pedang.’
‘Terus apa?’
‘Dulu aku cuma ayun pedang tanpa mikir. Sampai suatu hari, aku mentok. Waktu itu aku sadar… dasar-dasarku kurang kuat. Jadi aku harus kembali dari awal, lewat jalan yang dulu pernah kutinggalkan.’
‘Terus…’
‘Mulai sekarang, aku bakal ajari metode Tiga Kesatuan: hati, tubuh, dan jiwa.’
Dari semua omonganku barusan, kejujurannya cuma 0,0002%.
Tapi kalau seorang guru nyuruh muridnya ngelakuin hal mustahil, mana ada yang protes?
Ella pun nggak punya alasan buat meragukan “instruktur”-nya.
Jadi ya, aku cuma buang waktu sambil diterjang air terjun tanpa tujuan.
“…Ah! Kayaknya aku baru ngerasain sesuatu!”
[Protagonis Ella telah mendapatkan pencerahan.]
…Gila.
Ini nggak masuk akal.
Aku meremehkan protagonis.
Aku nggak tahu kalau mereka bisa dapat pencerahan cuma dari hal sepele ngeliatin daun jatuh, nyentuh batu kecil, atau kalah sparing sekali dua kali.
Itulah kenapa aku nggak boleh lengah.
Untung level Ella nggak naik.
Tapi teknik pedangnya jadi jauh lebih cepat dan efisien.
Sementara aku punya perasaan campur aduk, mansion ini malah geger.
Metode latihan ini terlalu unik, sampai semua orang penasaran.
Dalam dunia ini, bahkan pendekar pedang pun bisa menebas para witch.
Tapi latihan absurd “dihajar air terjun” ini belum pernah ada sebelumnya.
Dan tentu saja karena Ella ditakdirkan punya “koreksi protagonis”, wajar kalau dia langsung tercerahkan gara-gara air terjun.
Buatku? Ya ada untungnya juga.
Sebelumnya reputasiku sebagai master pedang sudah lumayan solid.
Tapi setelah Ella dapat pencerahan dari metodeku, reputasiku makin melonjak.
“Sir Seodam, metode latihan yang Anda lakukan… bisakah Anda ajarkan pada ku?”
Erache pernah bilang belum ada master pedang yang mampir selama lebih dari sepuluh tahun.
Pantas dia langsung ngajak sparing begitu kami bertemu.
“Cukup… buka baju dan berdiri aja di bawah air terjun…”
“Ooh! Terima kasih!”
Jujur aja, bohong ke orang polos kayak Erache itu agak nusuk hati.
Tapi aku nggak bisa mundur sekarang.
“Haap!”
Thwak!
Pedang kayu menghantam keras sekali, lalu seorang ksatria dewasa terpelanting jatuh.
Bahkan ksatria laki-laki yang sudah lumayan kuat pun nggak bisa menang lagi dari Ella.
Gaya pedangnya menarik sih, tapi aku bukan di level yang bisa langsung tiru gitu aja.
Pedang itu soal ritme napas, timing, dan tubuh. Bukan cuma gerakan.
Walaupun aku nggak bakal bisa meniru semua potensinya, aku bisa menyontek sedikit.
‘Bagaimana perempuan bertubuh kecil mengalahkan lawannya.’
‘Bagaimana menutupi kelemahan tenaga dan kecepatan.’
Sejak aku dapat bakat pedang, cuma lihat gerakan pedang manusia lain aja rasanya menyenangkan.
Jadi wajar aku terpaku ngeliatin teknik Ella.
Kalau aku saja sebagai musuh bisa terkesan, apalagi orang-orang di sini?
“Ooh, seperti biasa, nona muda luar biasa.”
“Kamu menang lagi!”
Para pelayan di belakang bergemuruh kagum.
Dan aku hapal wajah mereka semua.
Juga nasib mereka.
Pelayan muda berambut pendek dan berbintik.
Dia trauma berat setelah melihat orang tuanya dibelah dua oleh witch terakhir.
Pelayan paruh baya berbaju mengembang.
Suaminya pergi perang buat membunuh witch terakhir, dan nggak pernah kembali.
Pelayan berambut cokelat halus, usia dua puluhan.
Dia kehilangan seluruh keluarganya pada witch terakhir, termasuk satu mata kiri dan tiga jari tangan kanannya.
Nggak ada bangsawan yang mau mempekerjakan pelayan cacat kecuali Ella.
Jujur, perasaanku campur aduk.
Membunuh Ella itu kepastian.
Tapi memikirkan hati orang-orang ini bakal hancur rasanya… nggak nyaman.
Tapi aku nggak punya waktu untuk peduli soal itu.
Witch di dunia ini adalah kejahatan absolut.
Mereka… memang tidak peduli pada nyawa manusia.
Sesederhana itu.
Mirip anak kecil yang bakar semut pakai kaca pembesar.
Witch punya rasa ingin tahu kayak gitu tapi diarahkan ke manusia.
‘Apa? Kau bunuh diri setelah aku merebus bayimu hidup-hidup dan menyuapkannya padamu? Hebat.’
‘Sayang sekali! Aku nggak bisa menyuapi kau jantungmu sendiri sekarang. Tubuhmu sudah nggak berfungsi!’
‘Kenapa sih manusia menderita lebih parah kalau orang yang mereka cintai disiksa? Sistem sarafnya nyambung? Hmm? Beda ya?’
Itu bukan kejahatan.
Itu kekosongan moral total.
Manusia hidup ribuan tahun dalam neraka, disiksa oleh rasa ingin tahu para witch.
Pada akhirnya manusia mengangkat senjata, seni bela diri berkembang pesat, dan para jenius bermunculan demi bertahan hidup.
Setelah ribuan tahun perang, manusia akhirnya memusnahkan para witch dan lahirlah era damai.
Hanya aku, satu-satunya orang yang bukan berasal dari dunia ini, tahu kalau satu witch masih hidup.
***
Akhir pekan.
Ella masih latihan.
Dan aku masih ngasih omong kosong.
Ketika Ella hendak pulang, seseorang datang.
Haren Almus.
Putri sulung Duke Almus, seorang jenius yang sudah berada pada tahap pendekar profesional.
“Lama tak bertemu, Ella. Kau tampak banyak berubah.”
“Kalau aku mengingat diriku yang dulu, rasanya memalukan.”
Suasana pertemuan mereka begitu tegang sampai-sampai jarum jatuh pun mungkin terdengar.
Sejak dulu, Haren dan Ella nggak pernah akur.
Lahir sebagai putri Almus, Dame Haren Almus punya hati baja dan dedikasi pada pedang yang nggak tertandingi.
Sedangkan Ella, sejak kecil hidup tanpa arah, pemarah, egois, nggak mau latihan, bahkan nggak sudi memegang pedang.
Jadi Haren bener-bener muak sama adiknya sendiri.
Karena itulah Haren selalu mengabaikan Ella, dan Ella begitu takut pada kakaknya sampai gemetaran tiap kali bertemu.
Tapi sekarang berbeda.
Ella Almus dan Haren Almus berdiri saling berhadapan, sama-sama tegap.
“…Belakangan ini, matamu berubah,” kata Haren.
“Aku cuma ingin menghadapi dunia dengan kepala tegak.”
“Bagus. Sangat bagus. Aku sudah mengamati, dan teknik pedangmu sangat tulus.”
“Aku tersanjung. Masih jauh dibanding Kakak. Aku cuma beruntung punya guru yang baik.”
“Aku dengar soal guru itu. Katanya orangnya… unik sekali.”
Saat Haren menoleh padaku, aku membungkuk sopan.
Dia maju dan mengulurkan tangan.
“Terima kasih sudah mengajarkan adik bodohku. Kudengar Anda adalah master pedang… tapi juga pria yang sangat tidak biasa.”
Kepribadian Haren ternyata beda jauh dari cerita para pelayan.
Yang berdiri di depanku ini banyak bicara dan jauh dari kesan dingin, para pelayan pun sama terkejutnya denganku.
“Ini satu-satunya bakat yang kupunya, dan aku senang bisa membantunya.”
“Huhu. Padahal kamu sudah mencapai level pendekar pedang master, tapi tetap rendah hati.”
Haren yang tadi cuma menyapaku sebentar, kembali memusatkan perhatian pada Ella.
“Kalau begitu, karena kamu lagi istirahat… ada rencana apa untuk sisa harimu?”
“Aku mau ke gereja, mau berdoa.”
“Ya ampun. Kalau begitu, ayo bareng.”
Sepertinya Haren benar-benar menyukai versi Ella yang sekarang, yang sudah berubah jauh lebih baik.
Dan ini pola yang klasik banget, seseorang yang dulunya nakal, terus berubah total, dan orang-orang di sekitarnya langsung luluh. Bahkan keluarga pun menyambutnya.
Udah kayak template drama fantasi.
“Baik, ayo kita berangkat sekarang.”
Setelah persiapan singkat, Haren, Ella, dan beberapa pelayan berangkat menuju gereja, tempat pemujaan agama resmi Kekaisaran Alethea, Dewi Perang dan Kemenangan, Alacia.
Aku mengikuti dari belakang sambil mengamati punggung Haren.
Haren Almus.
Dia juga punya kisah tragis: ibunya terbunuh oleh witch terakhir.
Itulah sebabnya sang duke memburu witch terakhir sampai mati, balas dendam untuk istrinya.
Gereja tersebut juga dibangun oleh Duke Almus, jadi ukurannya jelas sangat besar.
Anak-anak Duke sering datang untuk berdoa.
Karena aku orang luar, aku duduk di bangku belakang dan pura-pura ikut berdoa.
Lagu suci mengalun pelan.
Seorang pria berjubah hitam sepertinya pendeta, muncul dan mulai berkhotbah.
Jujur saja… membosankan.
“Saudara-saudara sekalian, lepaskanlah kekhawatiran kemarin, dan pandanglah masa depan yang lebih cerah.”
Begitu khotbah selesai, Ella mendadak menangis.
Suaranya kecil, tapi tempatnya terlalu sunyi, jadi semua orang bisa dengar.
Dengan wajah cemas, Haren bertanya,
“Ada apa?”
“…Tidak apa-apa. Aku cuma… aku menyesal atas semua yang sudah kulakukan. Aku malu, dan merasa bersalah. Jadi… heuk… hu… maaf. Maaf… semuanya.”
“…!”
Wajah Haren berubah kaget.
Dan saat itu…
Clien berbicara.
< Protagonis Ella, sedang perlahan membangkitkan emosi. >
Ella.
Seumur hidupnya dia hidup sebagai witch tanpa emosi.
Bahkan ketika dihajar sampai mati oleh pedang duke, dia tidak merasa apa-apa.
Dendam?
Tidak.
Dia hanya berpikir: “Aku mati karena aku lemah, titik.”
Dia bahkan tidak tahu alasan duke membunuhnya.
Tapi setelah lahir kembali dalam tubuh Ella, dia mulai merasakan suka dan duka.
Dia merasa senang saat orang lain mengakuinya, dan juga muak dengan diri lamanya.
Berapa banyak yang sudah kubunuh?
Hal sekejam apa yang pernah kulakukan?
‘Mulai sekarang… demi semua orang… aku akan hidup untuk menebus dosa!’
Itulah garis besar perjalanan protagonis Ella.
…Dan kemudian,
“Benar-benar… heuk! Maaf… aku benar-benar minta maaf semuanya…”
“Oh tidak, nona… jangan begitu…”
“Aku bahkan sudah lupa kalau dulu aku pernah dimarahi nona…”
“anda sekarang sudah cantik dan bijak sekali.”
Entah kenapa dadaku ikut sesak melihat orang-orang bersimpati begitu dalam.
Tapi… itu bukan permintaan maaf Ella.
Itu adalah penyesalan seorang witch atas dosa masa lalunya, bukan permintaan maaf atas apa yang pernah dilakukan Ella versi lama.
Meski begitu, semuanya terseret dalam ilusi.
Mereka percaya itu permintaan maaf tulus, dan akhirnya ikut menangis.
Tak butuh waktu lama sampai seluruh gereja berubah jadi lautan air mata.
Namun… kalau dia benar-benar menyesal, seharusnya dia jujur.
Berapa banyak orang yang sudah rusak hidupnya karena rasa ingin tahunya?
Dia hanya berdamai dengan dirinya sendiri, sambil tetap menyembunyikan identitas aslinya.
‘Karena aku menyesal… aku akan hidup menebus dosa…’
Dia tahu kalau dia buka jati dirinya, apa yang akan terjadi.
Dia takut.
Dia ingin mempertahankan citra dirinya yang sekarang, meski mengaku menyesal.
Dia menipu semuanya.
Permintaan maaf tanpa kejujuran itu bukan permintaan maaf.
Itu dusta.
Dan bukan penebusan apa-apa.
“Semua orang… dari lubuk hatiku… aku minta maaf…”
Aku mendengarkan tanpa berkata apa-apa.
Sejujurnya, aku tidak peduli Ella mau meminta maaf atau tidak.
Melihat campuran kepura-puraan dan ketulusan itu, yang kupikir hanyalah:
Bagaimana caranya aku memburunya.
‘Kamu bilang kamu menyesal?’
'Kalau begitu, aku akan membantumu membuat permintaan maaf yang sebenarnya.'
***
Malam hari.
Di saat semua orang terlelap, aku duduk di atas bukit tertinggi dekat mansion.
Rencanaku berubah, tapi tidak apa-apa.
Sudah waktunya berburu.
Chikchik!
Biasanya, tembakan jarak jauh itu buat membunuh orang.
Tapi shotgun-ku tidak bagus untuk itu.
Alasan aku memakai mega shooter adalah hal lain.
Setelah memasang Aether Discharge pada mega shooter, aku menempelkan mata ke scope.
Jaraknya jauh, angin malam dingin menerpa, tapi scope-ku secara otomatis menyesuaikan titik bidik.
Jaman dulu penembak runduk mati-matian menghitung arah angin dan segala macam.
Sekarang?
Teknologi sudah terlalu maju.
Kalau tujuanku benar-benar menembak, mungkin sniper rifle lebih cocok daripada shotgun area luas.
Tapi aku tidak berniat melukai Ella.
Yang penting: meninggalkan jejak kerusakan.
Whrriiiing…
Angin menyibak rambutku.
Aku menahan napas beberapa detik.
Lalu menarik pelatuk.
Bang!!
Ledakan menggetarkan tanah.
Clink! Boom—!!
Kamar tidur Ella hancur disapu ledakan besar.
Butuh kurang dari sedetik bagi para ksatria untuk bereaksi.
“Ada apa, nona!?”
Para ksatria menerjang masuk ke kamarnya.
Kekacauan total.
Isi ruangan gosong, tempat tidur setengah meledak.
Tapi Ella… selamat.
“Ah… aku tidak apa-apa. Jangan khawatir.”
Tak lama kemudian Haren Almus masuk, masih memakai piyama sambil menggenggam pedang.
“Ella! Kamu baik-baik saja?!”
“Kakak…!”
Tersentuh karena kakaknya yang biasanya dingin langsung lari begitu mendengar ledakan, Ella memeluknya erat.
Haren juga mengelus kepala Ella sambil menghela napas lega.
“Tidak apa-apa. Sudah aman. Zetsu, Kalmer! Bentuk regu pencarian sekarang!”
“Baik!”
Setelah memberi perintah, Haren kembali mengelus kepala Ella.
Lalu… dia melihat sesuatu yang aneh.
‘Apa… ini…?’
Tempat tidur yang seharusnya Ella tiduri… terbelah membentuk setengah lingkaran.
Segala sesuatu di ruangan berubah abu, kecuali area berbentuk lingkaran itu, sekitar tiga meter tempat Ella berada.
‘Setengah lingkaran…?’
Pikiran tak masuk akal terlintas.
Area aman berbentuk setengah lingkaran
Bukankah itu…
mirip sesuatu dari ras yang seharusnya sudah punah dari dunia ini?
0 komentar:
Posting Komentar