Yoo Seodam cepat-cepat ganti baju olahraga dan duduk di stadion.
Beberapa atlet muda yang lagi latihan langsung ngelirik penasaran.
“Ini pertama kalinya Celeste bertarung lagi setelah duel terakhirnya sama direktur, kan?”
“Iya. Waktu itu keren banget. Dia bisa ngelawan direktur dengan cukup baik.”
“Tapi lawannya kali ini katanya hunter veteran?”
“Cuma orang biasa, nggak punya kekuatan super.”
“Hmm… apa dia beneran bisa jadi lawan Celeste? Soalnya hunter biasa kan lemah, ya?”
Obrolan itu bikin Direktur Kim menelan ludah.
Dia menatap Yoo Seodam yang cuma bawa pedang seharga sebelas ribu won, tapi entah kenapa ngerasa ada sesuatu yang beda darinya.
‘Orang ini… tiba-tiba aja memancing dia. Kepribadiannya agak berubah setelah pulang dari rumah sakit.’
Direktur Kim juga ngerti provokasi yang Seodam lontarkan ke Celeste, soalnya dia lancar bahasa Italia.
“Aku mengalahkan ayahmu.”
Dan itu bukan cuma omong kosong.
Setidaknya… separuhnya benar.
99 kali duel. 99 kali kalah.
Setiap kali mereka sparring, Seodam selalu kalah dari Salvatore.
Ya wajar aja.
Gimana orang biasa bisa menang lawan pengguna kekuatan super cuma dengan pedang kayu?
Tapi di duel terakhir mereka, saat dua-duanya pakai seluruh kekuatan dan perlengkapan
Yoo Seodam mengalahkan Salvatore.
‘Aku penasaran gimana hasil duel kali ini.’
Yoo Seodam memang beda dari hunter biasa lainnya.
Dia hunter yang bisa memanfaatkan alat-alat berburu lebih efektif dari siapa pun di dunia,
dan di saat yang sama… dia adalah puncak dari para hunter biasa.
Tapi masalahnya…
Pertarungan kali ini bukan soal peralatan.
Semua orang yang nonton tahu hal itu.
Hunter biasa bisa bertahan hidup di dunia para hunter bukan karena mereka jago berkelahi,
tapi karena mereka jago berburu.
Kalau mau disederhanakan, pertarungan antara hunter veteran biasa dan calon hunter super ini kayak film Home Alone.
Kevin bisa ngalahin para perampok pakai segala macam jebakan di rumah,
tapi begitu ketangkep, dia langsung KO.
Dan sekarang, Yoo Seodam itu kayak Kevin, Kevin tanpa alat.
“Sudah siap?”
“Siap.”
Begitu kata itu keluar, suasana langsung hening.
Semua bisa ngerasain aura tajam dari Celeste yang seketika berubah.
Pertarungan antara seekor anjing pemburu dan anak singa yang tumbuh di medan perang pun dimulai.
“Huu…”
Yoo Seodam menarik napas dalam.
Waktu terasa melambat.
Tap!
Dia bersiap.
Celeste dengan ekspresi datar langsung mengayunkan pedangnya.
Alih-alih menangkis, Seodam memilih mencari celah untuk menyerang.
Bagi seorang veteran, pola pikir seperti itu mudah dibaca.
Tapi Seodam tetap percaya diri, karena Celeste pernah mengalahkan tiga hunter biasa hanya dengan teknik pedang.
Srek!
“…!”
Melihat ayunan pedang yang tajam, Celeste dengan cepat memiringkan tubuhnya sedikit untuk menghindar.
Teknik pedang para superhuman memang beda dari teknik klasik.
Mereka bisa menghindari serangan yang mustahil dengan refleks di luar batas manusia,
dan membalas dengan kekuatan yang nggak bisa dihentikan.
Celeste memutar pergelangan tangan, menargetkan Seodam.
Tapi Seodam menghindar ke samping, lalu memutar pedangnya cepat seperti kipas angin dan mengarahkannya ke kepala Celeste.
Ada momen kecil, seolah pedangnya melengkung menciptakan celah.
Celeste buru-buru menunduk kaget, tapi dia sudah masuk ke jangkauan Seodam.
Pedang Seodam nyaris menusuk lehernya, namun berhenti tepat waktu.
Hasilnya… terlalu telak.
Mata Celeste membelalak.
“Kau sudah baikan sekarang, kan?”
“…Iya!”
Tatapan Celeste langsung berubah.
Seperti badai yang bangkit, dia kembali menyerang Seodam dengan amarah.
Gaya bertarungnya sekarang jelas bukan buat melawan manusia, tapi monster.
Dia jauh lebih kuat dan cepat.
Dan beda dengan Seodam yang nggak pernah belajar teknik pedang profesional,
Celeste sudah berlatih seni pedang keluarganya sejak kecil.
Tapi…
nggak satu pun serangannya berhasil menyentuh Seodam.
Setiap gerakan Celeste terbaca jelas di mata Seodam, seperti gambar yang sudah tergambar sebelumnya.
Dia tahu apa yang akan terjadi dua langkah ke depan, bahkan bisa menebak akibatnya di langkah keempat.
Di pikirannya, teknik pedang Gilitender menari.
Dia nggak bisa menirunya sempurna cuma dengan melihat sekali,
tapi cukup tahu, paham 1% saja, itu sudah cukup.
Fakta bahwa dia bisa mengenali teknik pedang kuno dari dunia lain hanya dengan bakat pedangnya sendiri,
itulah kekuatan dari Swordsmanship (A+).
Secara fisik, Yoo Seodam jelas lemah.
Tanpa “mana,” sekeras apa pun latihan manusia biasa, tubuhnya punya batas.
‘Aku pasti bisa menangkapnya!’
Namun Celeste sama sekali nggak bisa menyentuh Seodam.
Cuma sehelai rambut jaraknya, seolah dia sengaja ngeledek.
‘Nggak mungkin… gimana bisa?’
Dia cuma manusia biasa.
Sementara dia sendiri adalah D-rank superhuman.
Kalau dia mau, dia bisa menempuh 50 meter dalam kurang dari tiga detik.
Dengan perbedaan kemampuan sejauh itu, mustahil kalah.
‘Pasti ada jawabannya… harusnya ada!’
Bagi Celeste, bertarung itu seperti soal pilihan ganda, tinggal pilih jawaban paling benar buat mengalahkan lawan.
Nomor 1? Nomor 2? Nomor 3? Nomor 4? Nomor 5?
Tinggal pilih, dan menang.
Begitulah seorang jenius.
Tapi sekarang
‘Aku… nggak lihat jawabannya…’
Nggak ada pilihan yang benar.
Seolah dia dikasih soal esai tanpa jawaban pasti.
‘Jangan-jangan orang ini beneran…’
Begitu berpikir sejauh itu, Celeste menggigit bibirnya.
Dia akhirnya memutuskan mengeluarkan kartu trufnya.
‘Kalau soal kekuatan, aku pasti menang!’
Serangannya jadi lebih berat dan kuat.
Kelihatannya dia mau memancing duel kekuatan,
tapi Yoo Seodam yang sudah 15 tahun berburu monster, apa dia bakal ketipu begitu aja?
“Huh…”
Dengan satu gerakan halus, Seodam menepis pedangnya ke samping,
lalu melangkah cepat ke sisi Celeste dan menodongkan pedang ke lehernya.
Hening.
Lalu—
“G–gila…”
“Apa-apaan barusan?”
“Dia kan cuma manusia biasa, kan!?”
“Gerakannya memang normal, tapi kok bisa ngalahin D-rank cuma pakai teknik pedang?”
“Seberpengalaman apa pun dia… itu nggak masuk akal.”
Masuk akal?
Tentu aja nggak.
Direktur Kim tahu betul kemampuan Yoo Seodam.
Dia dulunya nggak punya bakat sama sekali dalam seni pedang.
Bahkan lebih cocok dibilang teknisi alat, bukan pendekar.
‘Sebenarnya apa yang terjadi sama dia selama di rumah sakit?’
Celeste pun memandangi Yoo Seodam dengan tatapan bingung.
Semuanya berawal dari satu kalimat yang dia kira cuma provokasi kosong.
Tapi sekarang dia tahu.
Ucapan itu bukan omong kosong.
Teknik pedang pria ini… benar-benar istimewa.
***
Sehabis duel sama Celeste, aku pergi ke gym tiap hari buat ngelatih stamina.
Entah kenapa, kemampuan Swordsmanship A+ yang kudapat terasa kayak keajaiban. Lebih gila dari yang kubayangin.
Semua orang tahu istilah “pencerahan.”
Tapi… berapa banyak sih yang beneran pernah ngalamin itu?
Jujur aja, sepanjang hidupku hampir nggak pernah.
Kalaupun pernah, itu selalu muncul di situasi ekstrem, antara aku yang mati, atau aku yang berhasil bunuh duluan.
Tapi sekarang beda.
Sejak punya bakat Swordsmanship, aku bisa ngerasain pencerahan bahkan cuma dari gerakan sesederhana menggenggam pedang.
Kau pernah ngerasain sensasi kayak gitu?
Perasaan menggetarkan yang bikin kau lupa waktu, lupa rasa sakit di otot karena kau udah jadi satu dengan pedang.
Perkembanganku dalam seni pedang meningkat gila-gilaan.
Cuma dengan ayunan, tusukan, atau tebasan, aku udah bisa ngerasa puas.
Dan bukan cuma aku yang berubah.
Celeste juga mulai berubah.
Cewek itu, yang biasanya keliatan cuek banget sama apa pun, sekarang malah sering nyamperin aku.
“Ada apa lagi?”
“…Ayo spar.”
Aku sempet mikir sebentar sebelum jawab.
“Ribet.”
“ya…”
Dia langsung jalan ke pojokan sambil ngedrop bahu.
Ngerasa agak nggak enak, aku akhirnya manggil lagi.
“Tunggu. Nanti habis aku latihan, kita spar.”
“Beneran?!”
Celeste langsung senyum cerah banget.
Sepuluh menit kemudian, setelah spar ringan, aku ngalahin dia lagi.
“Uwu…”
Udah sebulan berlalu.
Setiap hari, dia selalu datang dengan wajah memelas, ngajak spar lagi dan selalu kalah.
Awalnya aku kira dia cuma nggak terima kekalahan.
Tapi di hari ketiga aku sadar sesuatu.
Karena aku punya bakat Swordsmanship A+, aku bisa ngerasain hal kecil itu.
Celeste ternyata belajar dariku.
Padahal aku juga bukan pendekar sejati.
Tapi dia mengingat gerakan “tarian pedang” yang pernah kulakukan dan dia berusaha menirunya.
Gila, dan yang lebih gila lagi, dia berhasil.
Cewek ini beneran jenius.
Lama-lama aku juga ngerasa spar dengannya nggak buruk.
Lebih bagus dari pada tebas-tebas udara sendirian.
Kami saling nguji kemampuan masing-masing.
Dan Celeste juga bukan cuma jadi samsak hidup.
Setiap kali kalah, dia selalu teriak kecil,
“Ah!”
Lalu duduk di pojok sambil meditasi.
Setiap kali begitu, aura spiritualnya langsung melonjak.
Dia pasti baru nemu sesuatu.
Direktur Kim sampai ngakak tiap liat kami berdua spar.
“Kau ngajarin dia lebih bagus dari aku, tahu? Anak itu sekarang semangat banget. Gimana kalau sekalian kau yang bimbing?”
“Bayar dulu, baru aku pikirin.”
Ngajarin dia?
Hmm, mungkin nggak buruk juga.
“Ngomong-ngomong, Seodam. Kau bakal terus berburu?”
“Iya. Kayaknya begitu.”
Aku pernah gabung di guild Lost Day selama dua belas tahun.
Tapi di hari aku divonis hidupku tinggal sebentar, aku dipecat.
Mereka nggak mau buang-buang sumber daya buat hunter yang dianggap nggak berguna lagi.
“Guild-mu… mereka nggak mau nerima kau lagi? Bukannya kau bisa balik kerja setelah sembuh?”
Direktur nggak tahu gimana keadaan batinku.
Nggak ada yang tahu.
Soalnya aku juga nggak pernah cerita.
“Aku bahkan belum ngabarin kalau aku udah keluar rumah sakit. Lagian kalau pun tahu, aku nggak bakal balik. hunter F-rank bisa ngapain di sana?”
Waktu masih di Lost Day, aku cuma bisa bertahan dengan ngambil sebanyak mungkin permintaan berburu.
Bermodalkan kartu nama dan pengalaman lima belas tahun.
Masalahnya…
Hunter F-rank nggak punya pilihan.
Kalau mau ngirit biaya perlengkapan, mereka cuma bisa buru monster level rendah.
Tapi kalau mau buru yang lebih tinggi, harus keluar duit banyak buat alat dan senjata.
Akhirnya, seberapa keras pun kerja F-rank, untungnya tetep tipis.
Dan karena aku dianggap nggak produktif, aku hampir dikeluarkan.
Cuma karena aku nggak nyerah, aku masih bisa bertahan sedikit lebih lama.
Tapi apa yang bisa kulakukan selain berburu?
Cuma itu yang kumiliki.
Tapi kali ini akan beda.
Mulai sekarang… aku akan berburu makhluk yang sangat spesial.
***
Aku duduk di tengah apartemen sempitku, membelakangi jendela, dan menarik napas dalam.
Energi halus terasa mengalir di seluruh tubuhku.
Itu ‘mana.’
Bukan mana dari Bumi, tapi dari dunia paralel.
Semua hunter di Bumi menggunakan mana.
Untuk mendapatkannya, mereka harus menyerap aether dari monster yang mereka bunuh.
Tapi untuk bisa menyerap aether, dibutuhkan bakat.
Orang biasa nggak bisa nyerap bahkan 1% pun, energinya cuma menguap ke alam.
Sedangkan para jenius bisa menyerap 100%.
Aku, yang cuma manusia biasa, punya sekitar 1% aether dalam tubuhku.
Tapi sekarang, aku bisa menyerap sesuatu yang mirip aether… bahkan mungkin lebih misterius lagi.
‘Energi alam.’
Aku membuka daftar target yang sudah kutandai dan wajahku langsung masam.
“Sial…”
Semuanya karakter protagonis level tinggi.
Kayaknya yang paling mungkin kulawan cuma yang level 33.
Bahkan beberapa dunia modern yang kelihatannya menarik pun punya protagonis dengan level tinggi banget sampai aku cuma bisa menghela napas,
“Psh…”
Setelah scroll lama banget, akhirnya aku nemu satu yang mungkin bisa kulawan.
#I_Am_One_With_The_Sword
#Fantasy #Eksentrik #Pertumbuhan #TanpaAmpun
Seorang protagonis yang berhubungan dengan pedang.
Kupikir, kalau aku mau berburu, sebaiknya lawan yang punya bakat pedang juga, kan?
Apalagi judulnya aja udah bikin bulu kuduk berdiri “Aku Satu dengan Pedang(i am one eith the sword).”
Siapa tahu, aku bisa dapet kemampuan Sword Intent kayak yang sering muncul di cerita bela diri.
Kalau beruntung, bisa jadi bakat itu nyangkut padaku.
“Oke. Sudah kuputuskan. Kirim aku sekarang.”
[Bepergian ke dunia Kevilon. Dunia dari protagonis level 40, Holy Sword Barette.]
Tunggu.
Kenapa malah ini yang protagonis!?
0 komentar:
Posting Komentar