[10…9…8…]
[Perjalanan Selesai.]
Dunia di sekitarku perlahan runtuh dan terbentuk kembali.
Saat sadar, aku sudah berdiri di depan sebuah kuil raksasa.
“Ini…”
[Anda telah menjadi seorang petualang yang datang ke Kuil Barette.]
Tiba-tiba terdengar suara riuh di sekelilingku.
Aku menoleh, dan pemandangan kota bergaya Eropa abad pertengahan terbentang luas di depan mata.
Jalanan batu bata yang indah, orang-orang yang ramai berlalu-lalang, dinding tinggi yang menjulang, dan benda-benda aneh melayang di udara.
Di atas karpet terbang, beberapa orang bersantai menikmati pemandangan, sementara dari bola kristal yang mengambang terdengar suara musik atau mungkin siaran berita.
“Gila…”
Sebuah dunia baru.
Peradaban di tingkat yang sama sekali berbeda.
Itulah kesan pertamaku.
Saat menoleh dengan wajah bingung, kulihat seorang pria mengendarai kereta tanpa kuda yang digerakkan oleh kristal biru.
Secara naluriah aku menyingkir ke samping, dan kereta itu melesat lewat.
“Sialan, kenapa kau berdiri di tengah jalan?!”
“…”
Kereta itu cepat sekali menghilang di kejauhan.
“…Festival, ya?”
Kembang api dan kelopak bunga beterbangan di udara, tapi aku nggak tahu festival apa yang sedang dirayakan.
“Seperti sebelumnya… kenapa aku bisa ngerti bahasa orang-orang di sini?”
< Itu efek dari skill ‘Protagonist Hunter.’. >
< Linquist (B), memberimu kemampuan memahami bahasa dunia lain. Dan Terra Physique (S), memberimu tubuh yang bisa beradaptasi dengan ekosistem asing. >
“…Apa?”
Skill Rank-S?
Aku ternganga nggak percaya.
Seumur hidup, aku cuma berharap punya kekuatan E-Rank aja udah senang. Tapi sekarang? Aku punya skill S-Rank dan B-Rank sekaligus.
Aneh, tapi bukannya senang, malah rasanya absurd.
“Ngomong-ngomong, di mana protagonist nya?”
Waktu itu, si protagonis langsung muncul di depanku.
< Untuk membunuh protagonis, kamu harus menapaki sungai takdir. >
“Jadi bisa dibilang, alur cerita protagonis nggak bisa tiba-tiba berhenti begitu aja, kan?”
< Kamu telah menjadi bagian dari cerita. Dan hanya keberadaanmu yang bisa menghancurkan alur itu. >
“Oh begitu…”
Heh, kalau dipikir-pikir, aku juga bakal kaget kalau tiba-tiba karakter utama dari film yang kutonton mati kena serangan jantung.
Setiap protagonis pasti punya alasan untuk dibunuh.
Dulu aku beruntung karena jadi peserta turnamen dan langsung bertemu dengan si protagonis. Tapi kali ini, aku cuma petualang biasa.
“Nggak ada gitu aplikasi pencari lokasi protagonis?”
< Tidak ada. >
“Dasar nggak berguna.”
< … >
Yah, mau nggak mau aku harus nyari sendiri.
Saat aku lagi berpikir, seseorang menepuk bahuku.
Pas aku menoleh, seorang pria berotot besar menatapku dengan tatapan curiga.
“Aku Akilion, penjaga kuil. Ada laporan tentang orang mencurigakan mondar-mandir di sini. Kau petualang?”
“…Kurang lebih”
“Hmm. Dari bajumu, sepertinya kau bukan orang sini. Tapi usahakan jangan berkeliaran di area kuil.”
“Kenapa?”
“Sekarang sedang berlangsung ‘Upacara Kaisar Suci’. Untuk memilih kaisar berikutnya, banyak pendekar sedang menantang kuil ini.”
'Oh, keren juga.'
Alurnya menarik juga ternyata.
“Aku ini petualang, jadi nggak begitu tahu. Apa itu upacara ‘Kaisar Suci’?”
“Hah! Dasar orang desa! Hidup di Kekaisaran tapi nggak tahu upacara paling penting ini!”
Dia menunjuk ke arah kuil besar di depan kami.
Kuil tinggi itu menjulang menembus langit, mirip stadion sepak bola yang megah.
“Di dalam sana ada ‘Pedang Suci’ yang tertancap di pusat altar, dan juga ‘Penjaga’ yang melindunginya.”
“Pedang Suci?”
“Ya. Pedang Suci Barette. Siapa pun yang bisa mencabutnya akan dinobatkan jadi Kaisar Kekaisaran Kevilon!”
Ohh…
Menarik juga.
Cara pemilihan kaisarnya benar-benar berbeda dari dunia yang kukenal.
“Nggak peduli siapa. Bangsawan, budak, rakyat jelata, pedagang. Laki-laki, perempuan, orang tua, bahkan bayi pun boleh! Asal bisa mengalahkan sang Penjaga!”
Akilion menuding ke arah kuil dengan penuh semangat.
“Siapa pun yang berhasil, seluruh dunia ini akan ada di genggamannya.”
***
Akhirnya aku pun mendaftar sebagai salah satu penantang.
Upacara untuk mendapat pengakuan sang Penjaga hanya diadakan saat kaisar lama turun tahta.
Konon, upacara ini selalu menarik para pendekar hebat dari seluruh dunia.
Siapa pun yang berhasil mencabut pedang itu, otomatis jadi kaisar.
Seribu tahun lalu, Pedang Suci Barette muncul begitu saja di dunia ini.
Ia memberi kekuatan tak terbayangkan kepada pemiliknya, cukup untuk menjadikannya kaisar.
Sejak saat itu, sejarah pedang tersebut diwariskan turun-temurun.
Kemampuan paling terkenal dari Barette adalah: pertumbuhannya.
Pedang itu akan berubah bentuk sesuai dengan penggunanya dan memperkuat kemampuan berpedang mereka sampai batas maksimal.
Aku nggak tahu seberapa kuat hasilnya, tapi cuma membayangkannya aja udah bikin air liurku menetes.
“Dosa apa yang dilakukan protagonis kali ini?”
< Kepemilikan berlebihan. >
< protagonis itu telah berulang kali merasuki tubuh para kaisar sebelumnya dan menggunakannya sampai tubuh mereka hancur. >
< Sekarang, kaisar yang dirasuki sudah menua dan kehilangan seluruh kekuatannya. Pedang Suci pun ikut tersegel. >
“Ohh… Jadi level 40 yang tersegel, ya?”
Lumayan berat juga kondisinya.
Beberapa hari setelah aku mengamati situasi, ternyata jumlah penantang nggak sebanyak yang kukira.
Karena Penjaga itu nggak punya ampun, siapa pun yang gagal langsung dibunuh di tempat.
“Kuek..T-tolong… jangan…!”
Crack!
Leher si penantang langsung dipelintir dan tubuhnya terlempar jauh.
Thud! Thud!
Aku menelan ludah, menatap punggung besar sang Penjaga yang berjalan kembali ke posisinya.
“Ah, penantang macam apa itu? Sampah banget.”
“Benar. Kalau mau bunuh diri, pergi aja ke tempat lain. Kukira bakal ada pertarungan seru.”
Penjaga itu setinggi lima meter, seluruh tubuhnya tertutup armor perak.
Sebuah golem, konon mustahil dihancurkan karena Corenya berada jauh di dalam lapisan baja itu.
Mungkin bisa dikalahkan kalau ada kombinasi mage hebat dan prajurit tangguh,
tapi masalahnya, duel ini harus dilakukan sendirian.
Mage terlalu lemah untuk pertarungan jarak dekat, sedangkan prajurit nggak bisa menembus armor golem tanpa magic.
‘Mage, huh…’
Berarti magic memang eksis di dunia ini.
Selama beberapa hari aku tinggal di sini, aku mengamati para penantang dari tribun (luar biasa, tempat duduknya lebih dari seratus ribu).
Dan kebanyakan dari mereka memang kuat.
Kalau dibandingkan dengan sistem peringkat hunter di Bumi, rata-rata mereka setara Rank B atau A.
Kadang ada yang selevel S-Rank juga, meski jarang.
Tapi terus terang, kekuatan mereka nggak luar biasa banget.
Menurutku, S-Rank dari Bumi malah lebih kuat.
Tapi di dunia ini, bukan kekuatan yang utama.
Melainkan kontrol.
Para pendekar di sini seperti sudah menyatu dengan tubuh mereka, menggerakkan otot, napas, dan energi dengan harmoni yang sempurna.
Gerakan mereka indah sekaligus mematikan.
Pedang yang mereka ayunkan membentuk bunga yang mekar, dedaunan gugur, badai musim dingin yang berputar.
Itu bukan sekadar kiasan.
Benar-benar muncul, lalu lenyap seperti ilusi.
Kalau dibandingkan, gaya bertarung di Bumi terlihat kaku dan kasar.
Semua orang cuma mengandalkan kekuatan mentah, gerakannya seperti orang menari tapi tanpa arah, melayang, menebas asal, dan penuh gaya yang nggak berguna.
Dan soal magic…
Di dunia ini, mage benar-benar seperti makhluk serba bisa.
Mereka bisa mengendalikan api, air, es, angin, dan elemen lain dengan bebas.
Mereka mengatur mana untuk memperkuat tubuh tanpa perlu perisai aether,
bisa memberi buff pada diri sendiri dan debuff ke lawan di saat bersamaan.
Kalau di Bumi, kemampuan semacam ini butuh tiga sampai lima superhuman untuk menandingi satu mage di sini.
“Gila bener…”
Setiap perburuan yang kulihat di Bumi sekarang terasa kayak lelucon.
Manusia Bumi mungkin punya kemampuan yang lebih besar,
tapi mereka nggak tahu cara mengendalikannya.
Magic… aku benar-benar pengen belajar magic.
Sayangnya, meskipun aku bisa memahami bahasa dunia ini, aku nggak bisa baca huruf-hurufnya.
Selain itu, aku juga nggak bisa bawa barang dari sini ke dunia lain, jadi nggak mungkin mencuri buku magic.
Dan waktu aku tanya-tanya, katanya butuh 20 sampai 30 tahun untuk mencapai level mage sejati dengan otakku yang sekarang.
Dengan sisa umur cuma satu tahun, belajar magic jelas mustahil.
Tapi nggak apa. Masih banyak kesempatan nanti.
Aku nggak boleh terburu-buru.
Dunia ini begitu luas dan penuh keajaiban magic.
Mungkin suatu hari nanti aku bisa kembali ke sini,
dan kalau beruntung , mungkin bisa jadi murid salah satu mage.
Mengetahui betapa berharganya magic, aku nggak ingin menyerah begitu saja.
Tapi untuk sekarang… fokusku cuma satu: membunuh protagonis.
Sebenarnya aku pengen langsung nembak Pedang Suci itu pakai senapan sniper dari sini,
tapi sayangnya ada lapisan mana transparan yang memisahkan tribun dan arena.
Lagipula, peralatanku sekarang mungkin nggak cukup kuat buat menembusnya.
Tapi itu bukan masalah.
Seminggu.
Itulah waktu yang kuhabiskan untuk mengamati pertarungan antara para penantang dan sang Penjaga.
Dan kini, semua persiapanku sudah selesai.
***
“Waaaa!!”
Sorakan menggema dari tribun begitu Yoo Seodam melangkah masuk ke arena.
Kaisar duduk di kursi kehormatannya, menatap arena dengan wajah datar tanpa ekspresi. Tapi Yoo Seodam sama sekali nggak peduli.
“Siapa tuh orang?”
“Nggak tahu. Kayaknya petualang deh.”
“Pakaiannya aneh banget.”
Ketika orang-orang mulai berbisik-bisik, sang penjaga akhirnya muncul untuk menghadapi penantang.
Boom! Boom!
Thud.
Suara berat dari zirah penjaga yang bergerak bercampur dengan suara Seodam saat dia mempersiapkan senjatanya, menciptakan semacam simfoni logam.
Buat Seodam yang cinta banget sama alat dan mesin, suara itu terasa begitu memuaskan.
Swish!
Penjaga itu mengangkat pedang besarnya ke depan.
Tubuh tanpa pikiran dengan kekuatan penghancur yang luar biasa.
Sebuah monster dengan tubuh yang gesit dan berbahaya.
Menghadapinya, Yoo Seodam menarik napas dalam-dalam dan bertanya,
“Penjaga, aku cuma bisa mencabut Pedang Suci yang tertancap di belakangmu kalau aku berhasil ngalahin kamu, kan?”
[Benar.]
“Terus gimana kalau aku coba cabut pedangnya tanpa ngalahin kamu dulu?”
[Tidak akan bisa bergerak.]
“Hm…”
Pertukaran kata sederhana seperti ini adalah satu-satunya hal yang boleh dilakukan penantang sebelum duel dimulai.
Tapi karena nggak ada yang pernah nanya hal kayak gitu sebelumnya, penonton langsung bersorak mencemooh.
“Ngapain nanya begituan!”
“Di mana harga dirimu sebagai petarung suci!?”
Tapi Seodam nggak menggubris ejekan mereka. Ia langsung berlari ke arah penjaga.
Chikchik!
Senapan di tangannya siap ditembakkan, sementara jarak antara mereka berdua makin dekat.
Seodam menembak ke arah selangkangan penjaga.
Kwang!!
Recoil-nya cukup besar sampai bikin Seodam terlempar ke belakang.
Namun begitu penjaga mengayunkan pedang besarnya, Seodam sudah lebih dulu berguling ke samping dan melempar bola hitam kecil dari sakunya.
Bola itu terpisah jadi sepuluh bagian dan menempel di seluruh tubuh penjaga.
Bola-bola itu bermuatan magnetik dan saling tarik-menarik seolah berusaha menghancurkan lawan dengan tekanan logam, tapi penjaga nggak goyah sedikit pun dan malah terus mengayunkan pedangnya.
Seperti yang kuduga, gerakannya cepat banget.
Thung!!
Perisai aether milik Seodam retak parah ketika pedang besar itu menyentuh bahunya.
Ayunannya memang brutal, tapi berkat bakat Swordsmanship (A+), Seodam bisa membaca semua gerakannya.
Cukup lihat postur, bentuk, dan arah tebasan musuh, dia sudah tahu ke mana serangan itu akan mengarah dan tahu bagaimana menghindarinya.
Sambil berguling, dia menekan tombol merah di sarung tangannya.
Boom! Boom!
Ledakan terjadi bersamaan di seluruh tubuh penjaga
Sekarang!
Seodam mencoba menerobos dan berlari melewati penjaga yang terguncang, tapi monster itu masih berdiri dan langsung menyerbu balik.
Dia nggak berniat ditabrak begitu saja. Dua shotgun aether pun dikeluarkannya
Boom, Boom!
dua kali tembakan beruntun.
Bahu penjaga berguncang, kakinya sempat goyah, tapi tetap nggak berhenti.
Namun, tenaga golem itu bukan tanpa batas.
Setiap pertandingan, ada jumlah energi yang bisa dia pakai.
Dan yang dilakukan Seodam sekarang adalah menguras energinya perlahan-lahan.
Begitu semua peluru habis, dia langsung membuang kedua shotgun ke tanah tanpa ragu.
Lalu dia berlari ke samping, sambil menodongkan pistol ke arah tempatnya berdiri tadi.
Crack!
Dari pistol itu keluar percikan listrik yang menyambar ke lantai.
Dan begitu Guardian melangkah di atasnya
Poof!!
Ubin baja meleleh dan membalik, membuat penjaga terjungkal.
“A-apa itu!?”
“Ilmu magic macam apa itu!?”
“Orang itu, dia mage dari akademi mana!?”
“Cepat cari tahu!!”
Para mage di tribun langsung panik.
Belum pernah ada magic seperti itu yang mereka lihat seumur hidup.
Masa iya, bisa mengeluarkan serangan sehebat itu tanpa mantra sama sekali!?
Mereka sampai menginjak-injak lantai kegirangan.
Kalau kami bisa merekrut mage itu ke pihak kami…!
Kekuatan magic di dunia ini bakal berubah total.
Mereka sampai pengen langsung lompat ke arena buat membawanya ke pihak mereka, tapi penghalang suci mencegah siapa pun masuk ke dalam.
“Kayak lagi nonton pertarungan mage legendaris…” gumam salah satu mage.
Ironisnya, seperti Seodam dulu terpesona dengan magic, sekarang para mage itu malah terpesona oleh sains.
Tapi Seodam nggak sempat mikir sejauh itu.
Dia terus berlari sekuat tenaga sambil meletakkan penanda kecil seukuran kacang di lantai setiap beberapa langkah.
Huut!
Ketika penjaga berlari ke arah dinding barat dengan satu kaki pincang, salah satu penanda itu terinjak
Bang! Bang!
Ledakan lagi.
Kakinya makin rusak, tapi monster itu tetap nggak berhenti.
Namun kecepatannya sekarang nggak lebih dari manusia biasa.
Dengan mudah Seodam melesat lebih cepat darinya.
Huong!
Sebelum pedang besar itu sempat menyabetnya, Seodam yang sudah membaca arah serangannya berguling ke samping dan menembakkan bom kecil berwarna biru ke arah jalur penjaga.
Medan Magnet.
Bom elektromagnetik, magnet super kuat yang, begitu menempel di besi, bakal menciptakan medan magnet raksasa.
Pachichi!!!
Begitu bom itu menempel di pedang penjaga, lantai baja dan pedang besar itu langsung nempel satu sama lain.
Seodam melempar satu bom biru lagi ke tubuh penjaga, dan seketika zirahnya hancur, lengan dan kakinya terlipat tak beraturan.
Gugugu!
Cara yang cukup efektif buat ngelawan makhluk dari baja.
Tapi Seodam tahu, itu cuma bertahan sebentar.
“Apa-apaan itu!? Magic pengikat yang luar biasa!”
Teriakan para mage itu cuma terdengar seperti omong kosong di telinganya.
Seodam sudah berlari sekencang mungkin menuju Pedang Suci.
“Eh?”
“Apa yang dia lakukan?”
“Dia nggak menyerang penjaga!”
“Dia nggak tahu apa, kalau pedang itu nggak bisa dicabut sebelum penjaga dikalahkan!?”
Tapi tujuan Seodam sejak awal bukan untuk mencabut Pedang Suci.
Dia bahkan nggak punya niat untuk mengalahkan penjaga dan jujur, dia juga nggak sanggup.
Satu-satunya tujuannya…
adalah memburu protagonis.
Beep, Beep, Beep!
Setelah memasang alat bernama E-4 Composite di lengannya, dia langsung mundur dan menjauh dari penjaga.
Golem itu, yang sudah lolos dari medan magnet, kembali menatap Seodam dengan mata tak bernyawa namun penuh ancaman.
“Kau… apa yang telah kau lakukan di tengah duel suci ini?”
Tapi Seodam nggak menjawab.
Dia malah menarik senapan sniper panjang dari punggungnya.
Senjata itu EK-49, monster sejati dalam pertarungan jarak jauh.
Pelurunya mahal banget, tapi satu tembakan saja bisa punya daya rusak luar biasa.
Seodam mengangkat senjata itu perlahan, mengarahkan moncongnya pada penjaga..
penjaga terus menatapnya, tidak tahu apa itu “senjata api”.
Mungkin mengira bisa menangkisnya.
Dan jujur saja, kalau pun pelurunya kena, mungkin tubuh logam itu masih bisa menahan.
Tapi Seodam tidak sedang membidik penjaga
“…!”
Chikchik!
Awalnya dia membidik kepala penjaga, tapi dalam sepersekian detik, arah tembakannya berubah, mengarah tepat ke Pedang Suci.
Kaisar yang duduk di singgasananya tiba-tiba merasa ada yang tidak beres.
Dia berdiri dan berteriak, “Berhenti! Sekarang juga!!”
Tapi sudah terlambat.
Bang…!!
Ledakan besar mengguncang seluruh arena.
[Anda telah berhasil memburu protagonis Level 40.]
[Level Anda naik sebanyak 3.]
Pedang Suci hancur berkeping-keping dan di saat bersamaan, Kaisar menjerit.
“Ah, tidaaaaak!!!”
Ternyata, Kaisar itu bukan lain adalah orang yang selama ini dikendalikan oleh Pedang Suci.
“Tangkap dia sekarang juga!! Bawa ke hadapanku! SEKARANG!!”
Begitu kesadarannya hampir lepas, Kaisar menjerit memerintah.
Seratus ribu penonton di tribun berdiri serentak, berlari ke arah panggung.
Sementara itu, Yoo Seodam menatap ke atas dengan santai, matanya bertemu dengan tatapan penuh kebencian sang Kaisar.
Dan pada saat yang sama, sebuah roulette muncul di benaknya.
Roulette berisi kumpulan bakat dan kemampuan dari Pedang Suci yang baru saja hancur.
Tak lama kemudian, pesan muncul.
[Bakat “White Swordsmanship (S)” milik Barette telah diserap!]
Sambil mengangkat jari tengahnya ke arah Kaisar, Yoo Seodam berkata pelan,
“Aku bakal pakai skill-nya dengan baik.”
Dan sebelum para prajurit marah itu sempat tiba di arena, Yoo Seodam sudah lenyap, menghilang seperti kabut tertiup angin.
0 komentar:
Posting Komentar