[Misi Selesai. Mengembalikan ke dunia asal.]
[Hadiah: 400 hari umur tambahan.]
[Sisa Umur: 681 hari, 9 jam, 34 menit.]
Dengan suara plop, aku tergeletak di lantai studio yang dingin, terengah-engah.
Gila… capek banget.
Untungnya kali ini nggak ada perlengkapan yang hancur total seperti sebelumnya. Tapi tetap aja, peluru mahal, dua bom magnetik, dan satu E4 sudah kupakai semua.
Uang yang keluar banyak banget.
Kayaknya aku harus kerja keras lagi buat nutupin semua pengeluaran ini.
Pahit banget rasanya.
Semakin kupikirin uang pesangon seratus juta won itu, makin kesel rasanya.
Seratus juta? Gila aja. Itu bahkan nggak cukup buat biaya perawatan alatku.
Dengan tubuh kaku yang terasa berat, aku memaksa diri buat duduk.
“Status Window.”,
Tidak ada bentuk pasti dari White Swordsmanship.
Kemampuannya berubah sesuai dengan ayunan pedang, menyesuaikan gaya terbaik buatku setiap waktu.
Itu adalah skill yang membuat siapa pun yang memegang Holy Sword Barette bisa jadi pendekar pedang terbaik di dunia.
Bukan warisan teknik yang diturunkan ratusan tahun.
Bukan juga jurus sakti yang bisa membelah musuh dalam satu tebasan.
Cuma keterampilan pedang yang menyesuaikan bentuknya dengan cara paling pas buatku.
Itulah White Swordsmanship.
Ketika aku menutup mata dan fokus, sebuah gambar mulai terbentuk di kepalaku, caraku mengayunkan pedang.
Dalam bayangan, aku memegang blade aether sepanjang 1 meter 20 sentimeter, selebar 2,5 sentimeter, dan beratnya sekitar 1,4 kilogram.
Lebih pendek dan lebih ringan dari yang biasa kupakai.
Aku mengayunkannya seolah terbang di udara dan tubuhku benar-benar terasa ringan, melayang sesaat.
Hup!
Aku bangkit, mengambil blade aether yang tergeletak, dan menarik napas panjang.
Tiba-tiba, paru-paruku menghirup sesuatu yang berbeda.
Mana.
‘Ini… teknik pernapasan Mana?’
Selama ini aku selalu memaksa mengumpulkan Mana secara kasar.
Tapi sejak belajar White Swordsmanship, aliran Mana di tubuhku jadi terasa jelas.
Tanganku bergetar pelan.
Dulu, setelah dapat bakat Swordsmanship (A+), aku sempat ngerasa bisa menguasai semua pedang di dunia.
Ternyata itu cuma delusi.
Bakat jenius itu cuma naluri liar, kayak harimau yang tahu secara naluriah gimana cara menggigit leher mangsanya dengan tepat.
Tapi sekarang…
ada jalannya.
Jalan yang jelas.
Aku diam sebentar.
“….”
Rasanya pengen banget langsung nyoba pedang ini.
Kulirik jam di dinding.
Jam satu siang.
Tempat satu-satunya buat uji coba ya cuma satu: Pusat Latihan Geumgang.
Begitu kepikiran itu, aku langsung beranjak.
Tubuhku masih kaku habis pertempuran besar, tapi aku nggak punya niat buat istirahat.
***
Biasanya kalau keluar aku selalu bawa aether dispenser, tapi sebagian besar perlengkapanku rusak, jadi kali ini nggak bisa.
Hunter kaya sih enak, tinggal pencet tombol di jas mereka, semua sistem aktif.
Tapi aku?
Uang aja pas-pasan. Jadi cuma bisa pakai aether coat model lama.
Jas itu praktis: gampang dilepas, gampang dicuci, pertahanannya tinggi, dan bisa atur suhu tubuh.
Sebaliknya, mantelku berat, ribet disimpan, pertahanannya biasa aja, dan nyiksa banget kalau dipakai pas musim panas.
Ya, semoga suatu hari aku bisa beli jas juga.
Kali ini aku tinggalin mantelnya di rumah.
Yang kubawa cuma pistol aether kecil dan blade aether yang kusimpan di tas.
Aku pun berangkat naik subway, cuma pakai celana training.
Sebenarnya aku punya motor buat transportasi, tapi kupakai cuma kalau darurat banget.
Begitu sampai di Stasiun Universitas Konkuk, suasananya langsung ramai.
Ponselku bergetar terus, notifikasi berdenting.
[Gate D-Rank terbuka di radius 30 meter dari Stasiun Universitas Konkuk. Warga diminta segera mengungsi.]
Zaman udah berubah.
Sekarang orang-orang nggak takut lagi sama monster.
Dengan prediksi yang bahkan lebih akurat dari ramalan cuaca, warga bisa mengevakuasi diri lebih cepat, dan kalaupun muncul ‘anomali’ kecil, malah banyak yang datang buat nonton.
Evakuasi? Halah. Nggak ada yang peduli.
Korea sekarang termasuk 12 negara dengan tingkat kegagalan berburu paling rendah di dunia.
“Ah sial, aku jadi telat.”
“Bener-bener apes.”
Ada yang ngeluh.
Tapi ada juga yang semangat.
“Eh, kita bisa lihat hunter, kan?”
“Ayo foto bareng!”
Saat aku mendekat, kulihat platform subway udah ditutup.
Berarti gerbangnya muncul di bawah tanah.
Kalau memang begitu, aku bisa aja turun tangan, tapi kelihatannya udah ada hunter lain yang ngurus.
Lagian, gate dan dungeon tersebar di mana-mana, selalu ada hunter yang siap menangani.
Sementara polisi dan petugas publik mulai ngarahin warga menjauh, aku ikut berdiri di barisan, nunggu dengan sabar.
Tapi… ada yang aneh.
Sesuai protokol, kalau gate muncul di bawah tanah, seharusnya dipindahkan ke permukaan pakai gate transfer device.
Tapi nggak ada tanda-tanda alat itu dipakai.
Waktu terus berjalan, dan aku mulai curiga.
Akhirnya, aku nyamperin petugas yang kelihatannya bertanggung jawab.
“Kalian nggak mindahin gatenya ke atas?”
“Hah? Haha, kamu denger dari mana? Untuk D-Rank nggak perlu kok.”
“Kenapa?”
“Transfer itu cuma wajib kalau ada ‘spesies menengah.’ Tapi D-Rank nggak bakal punya monster kayak gitu.”
“…Apa maksudmu? Kenapa bisa begitu?”
Nada suaraku mulai naik, dan dia malah kelihatan malas menanggapi.
“Pak, anda cuma warga sipil biasa, nggak usah sok tahu.”
Aku menghela napas dan ngeluarin ID dari dompetku.
Hunter F-Rank, #15.
Ekspresi orang itu langsung berubah.
Awalnya remeh, tapi begitu lihat nomor registrasiku, matanya membesar.
Nomor 15 berarti aku veteran dengan pengalaman 15 tahun berburu.
“Ini bukan pertama kalinya kejadian kayak gini. Tolong sampaikan ke atasanmu apa yang baru aku bilang. Jangan kamu yang disalahin nanti.”
“Ah, iya… baik, untuk sementara...”
Belum sempat dia selesai, tiba-tiba terdengar suara dari belakang.
“Eh, suara ini familiar banget. Bukannya itu Yoo Seodam?”
Aku menoleh.
Seorang pria dengan ban lengan Lost Day Guild berjalan mendekat.
Aku kenal wajahnya.
Kim Jitae.
Kalau nggak salah, dia punya kemampuan D-Rank.
“Aku dengar kamu udah pensiun, tapi ternyata masih keluyuran juga ya? Masa gara-gara takut, kamu mau pakai gate transfer device yang mahal itu?”
Aku melirik tajam.
“Apa maksudmu? Keselamatan warga itu prioritas utama hunter. Kalau ada spesies menengah...”
“Senior.”
Kim Jitae nyengir, lalu nunjuk ke belakang.
“Lihat. Lima hunter D-Rank. Dan pemimpinnya C-Rank superhuman. Mungkin senior takut, tapi kekuatan segini udah lebih dari cukup. Bahkan bisa dibilang overkill.”
Aku menoleh.
Lima hunter berdiri di belakangnya, semuanya pakai ban lengan Lost Day.
‘Sejak kapan mereka sebanyak ini?’
Guild-nya memang besar banget, jadi aku wajar nggak hafal semua muka.
Tapi ada satu orang yang terasa aneh.
Kabur, samar, tapi entah kenapa… aku merasa lapar.
Apa aku salah makan?
Aku mendesah pelan.
Kupikir nggak ada gunanya lanjut debat lagi.
Kuceritakan apa yang perlu, dan sisanya… percuma.
“Ya sudah, terserah kamu aja.”
“Iya, kami bisa ngurus diri sendiri, kok.”
Yah… jujur aja, Kim Jitae memang nggak salah.
Sebagai hunter F-Rank, aku emang harus siap sama semua kemungkinan.
Tapi buat para superhuman, ceritanya beda.
Mereka boleh bikin kesalahan kecil, karena mereka cukup kuat buat menebusnya.
Tapi masalahku bukan itu.
Bukan soal mereka bisa mengatasinya atau nggak.
Di antara monster D-Rank, ada beberapa yang tergolong spesies menengah.
Kalau yang kayak gitu keluar di dalam stasiun bawah tanah… hasilnya bakal kacau banget.
Makanya aku cuma mikir, lebih aman kalau gatenya dipindahin ke atas.
Tapi, karena kemungkinannya kecil banget, semua orang ngerasa itu nggak penting.
Wiing!!
Begitu gate mulai terbuka, para hunter termasuk Kim Jitae langsung menghilang ke dalam subway.
Tak lama kemudian, suara tembakan terdengar dari bawah.
Karena nggak ada apa-apa di permukaan, aku sempat berpikir,
Oke, berarti bukan monster menengah. Kayaknya aku cuma panik nggak jelas.
Tapi…
Ada yang aneh.
Kalau perburuan berjalan lancar, seharusnya cuma terdengar suara ledakan atau tembakan.
Tapi kali ini… ada suara auman, suara binatang buas yang liar, bergema dari dalam stasiun.
“Apa-apaan tuh di bawah...?”
Lalu, suara panik terdengar lewat pengeras suara.
“Sial! Ada monster tak dikenal! Warga, segera evakuasi sekarang juga!”
“A-apa?”
BA-BOOM!!
Rel di persimpangan retak, lalu perlahan-lahan ambruk.
Jeritan terdengar lagi dari dalam subway, kali ini jelas suara manusia.
“Apa yang tiba-tiba terjadi sih!?”
Aku sendiri juga sempat bingung.
Kadang, memang ada monster kuat yang muncul di dungeon lemah.
Selalu ada kemungkinan seperti itu.
Tapi… yang ini lain.
Aku belum pernah lihat kejadian semacam ini sebelumnya.
‘C-Rank hunter, lima D-Rank, dan lebih dari sepuluh tentara… tapi mereka tetap kewalahan?’
Belum sempat pikir panjang, sesuatu menghantam tanah dan muncul ke permukaan.
Kulit merah menyala.
Otot-otot besar menjijikkan, bentuknya nyaris seperti daging yang dipelintir.
Dan tinggi badannya… mungkin lebih dari lima meter.
Tanpa ragu, itu monster.
Tapi anehnya… wajahnya mirip manusia.
“Gila… apa-apaan itu!?”
“Hunter! Itu… itu apa!?”
Petugas di lapangan panik dan nanya padaku, tapi aku juga nggak tahu.
Aku udah puluhan tahun berburu di garis depan, tapi belum pernah lihat monster yang terlalu mirip manusia kayak gini.
Tidak, tunggu.
Aku… pernah lihat yang mirip begini.
Tapi itu udah lama banget, dan kali ini bentuknya jauh berbeda.
Aku nggak yakin.
“Sial, panggil bala bantuan sekarang juga!”
Sambil berteriak begitu, aku menarik blade aether dan langsung terjun ke lokasi.
Peralatanku minim banget, cuma ada pistol aether kecil dan satu pedang.
Nggak ada perlindungan yang layak.
Kalau aku kena satu pukulan aja dari makhluk itu, hunter biasa kayak aku pasti mati di tempat.
Monster itu, paling nggak, levelnya B-Rank.
Kalau aku punya perlengkapan lengkap, mungkin aku bisa nembus pertahanannya dengan kombinasi pistol dan pedang.
Setiap monster punya lapisan pelindung, semacam perisai energi yang terbuat dari aether atau qi.
Dan satu-satunya hal yang bisa menembus lapisan itu… ya cuma aether juga.
Hunter biasa kayak aku harus menghancurkan lapisan itu dulu sebelum bisa nyerang dagingnya langsung.
Makanya ada yang namanya aether gun.
Senapan besar bisa langsung menghancurkan lapisan pelindung dan ngasih luka parah sekaligus,
tapi pistol kecil cuma bisa mengikis pelindungnya sedikit.
Setelah lapisan itu hilang, bagian yang terbuka harus langsung ditebas dengan pedang.
Itulah cara hunter tanpa kekuatan super menghadapi monster.
Haruskah aku coba?
Sulit banget, sih.
Seumur hidup, aku bahkan belum pernah nyoba teknik kombinasi seberbahaya ini.
Tapi sekarang…
‘Aku bisa.’
Kulihat pedang di tanganku dan rasa percaya diri membuncah dari dalam dada.
“Ugh! Sialan…”
Kim Jitae muncul dari lubang subway, merangkak dengan wajah berdebu.
Dia memang punya kemampuan fisik yang lumayan kuat.
Tapi kelemahannya jelas: dia nggak bisa berbuat apa-apa kalau lawannya punya kekuatan yang jauh di atasnya.
Aku cepat-cepat menghampirinya dan menepuk pipinya keras-keras.
“Ayolah, sadar!”
“S-senior… sial, kita harus mundur! Itu bukan sesuatu yang bisa kita hadapi!”
“Ngomong apa kamu!? Kita satu-satunya hunter di sini! Kalau kita kabur, warga bakal gimana!?”
“Mereka bakal mati juga! Mending mundur, tunggu bantuan..”
“Enggak! Kamu lihat sendiri, mereka semua cuma panik!”
Kim Jitaez katanya baru tahun kedua jadi hunter profesional.
Anak-anak muda dari kota ini… parah.
Mereka cuma bisa bertarung pas kondisi sempurna, pakai perlengkapan lengkap, dan yakin bisa menang.
Begitu situasi darurat datang, langsung ciut.
Apalagi Kim Jitae, meski jago di jarak dekat, kemampuan aslinya tetap terbatas.
“Sudahlah, diem dan jawab aku. Monster itu apa?”
“T-tadi itu…”
“Racun Mana, ya?”
Kim Jitae menggeleng cepat.
Sepertinya ada sesuatu yang dia tahu tapi nggak bisa jelaskan.
Tapi aku nggak peduli.
‘Pada akhirnya, ini cuma perburuan manusia lagi.’
Aku nggak tahu kenapa manusia bisa muncul di sini dengan racun Mana.
Biasanya, itu terjadi karena tubuhnya kelebihan menyerap Mana sampai rusak dari dalam.
Tapi terserahlah.
Yang jelas, di depanku ada mangsa.
Dan tugasku cuma satu, berburu.
Kim Jitae sudah nggak bisa diandalkan, jadi aku memasang peluru ke pistol, bersiap bertarung sendiri.
Tapi dia malah nyekel pergelangan kakiku.
“Senior, kamu mau ngapain dengan perlengkapan segitu!?”
“Sialan, lepasin!”
Aku menghentakkan kaki dan menendang wajahnya dengan keras.
“Menurutmu aku kelihatan kayak pemula kayak kamu?”
“Y-ya?”
Monster itu C-Rank ke atas.
Cukup kuat buat bikin satu kota panik.
Tapi buatku?
Bukan yang pertama kali.
Kim Jitae mungkin masih sombong karena baru aja berburu bareng superhuman C-Rank.
Tapi monster di atas B-Rank… udah di luar jangkauannya.
Namun buatku.
itu justru medan yang paling familiar.
Dunia tempat aku hidup dan mati setiap hari.
0 komentar:
Posting Komentar