Sejak hari itu, aku memasang beberapa “kamera pengawas” di sekitar kamp para manusia itu.
Untungnya, berkat skill Inventory, sekarang aku bisa membawa berbagai macam perlengkapan.
Hanya dengan beberapa titik relay dan antena, aku sudah bisa memantau mereka dari jauh, meski kualitas sinyalnya agak menyedihkan.
Setelah memastikan jumlah pasukan mereka, aku pun kembali ke desa Para Peri Fajar.
Jumlah manusia itu sedikitnya ada tiga ribu lebih.
Sekalipun teknologi mereka masih rendah, menghadapi jumlah sebanyak itu sendirian jelas mustahil.
Sebelum berburu, kita harus mengenali karakteristik mangsanya.
Berbeda dari kawanan monster, sepertinya ini pertama kalinya aku akan memburu kawanan manusia.
'Laras senjata mereka lebih pendek dari dugaanku… Meriam mereka juga masih sangat primitif. Tapi apa cuma itu senjata yang mereka punya?'
'Jarak efektif senapan mereka sedikit di atas seratus meter. Di luar itu, aku cuma perlu waspada kalau ada peluru datang dari titik buta.'
'Meriam mereka tidak terlalu berbahaya, tapi bisa memperlemah barrier-ku. Beberapa tembakan masih aman, tapi aku harus menghindari terkena langsung.'
Seperti perkiraanku, teknologi mereka bahkan belum menyentuh tingkat abad ke-19.
Bukan hanya jangkauan tembaknya pendek, meriam mereka juga hanya bisa ditembakkan sekali lalu harus menunggu sangat lama untuk reload.
“Apa pendapatmu?”
tanya Marilyn dengan wajah cemas sambil meletakkan madu spesial di meja.
“Untuk sementara, jangan khawatir.”
Aku sebenarnya tidak datang ke sini untuk memusnahkan mereka.
Tapi, mungkin tujuan kami selaras.
Marilyn bilang bahwa di antara para “iblis” itu, ada satu orang yang sangat kuat.
Kemungkinan besar itu Panglima Utama mereka.
Aku tidak benar-benar paham apa maksud “sangat kuat,” tapi untuk saat ini, dugaanku: Panglima itu adalah protagonis dunia ini.
Dan tentu saja, aku tidak boleh meremehkan hanya karena teknologi mereka buruk.
Bagaimanapun, levelnya sudah 61.
Sekalipun senjata mereka jadul, bisa saja fisik mereka tidak masuk akal, misalnya manusia yang bisa menebas bangunan dengan pisau atau semacamnya.
“Ngomong-ngomong, bagaimana kabar pot bunganya?”
“Ah, maksud Anda Silver Spirit Flower itu.”
Spirit aneh yang lahir dari kekerasan, kehancuran, dan kematian di Hell Gate.
Karena kondisi kemunculannya sangat rumit, wajar saja jika Silver Spirit Flower begitu langka di dunia ini.
Menurut Marilyn, ada legenda bahwa saat Pohon Senja pertama kali tumbuh di Dream Island, muncul pula Silver Spirit
“Kalau begitu… apa pernah terjadi perang besar di Dream Island?”
Tak ada cara untuk mengetahui kebenarannya.
Dan aku juga bukan tipe orang yang pusing memikirkan misteri begitu.
“Lihat ke sana. Ia sedang bermain dengan para roh.”
Di dekat Pohon Senja, pot bunga itu menjuntai, akarnya menghujam ke danau.
Gerombolan cahaya melayang lembut, membentuk aurora ungu di langit.
Butiran cahaya jatuh seperti salju ketika bunga peraknya bergoyang pelan.
Sungguh pemandangan yang lebih indah dari patung mana pun.
Terbukti dari para Peri Fajar yang duduk terpaku di sekelilingnya seakan terpesona.
Para roh berkumpul dan mulai mengerjai silver spirit itu dengan angin dan air, dan silver spirit membalas tiap gangguan itu.
[Bukan begitu caranya…]
[Salah, bukan begitu…]
“…Apa-apaan ini.”
[Kenapa? Ada masalah?]
“Tidak. Aku cuma merasa hal yang sama.”
'Dasar bunga sialan, bahkan dia sedang mengajari para roh.
Benar-benar luar biasa.'
“Ngomong-ngomong, kalian bisa berinteraksi dengan para roh. Kenapa kalian tidak bisa memakai kekuatan mereka?”
“Itu…”
Marilyn ragu sejenak, lalu menjawab pelan.
“Di antara Para Peri Fajar, hanya ratu yang bisa memanggil kekuatan roh.”
“…Ratu?”
“Beliau sudah wafat. Jadi Putri Pertama, Arilyn, menjadi penerus berikutnya. Tapi sejak tiga tahun lalu, ia sakit keras. Karena itu, putri ketiga sampai ketujuh selalu mendoakan kesembuhannya setiap hari.”
Aku berpikir sebentar.
“Kalau… Putri Pertama meninggal, siapa yang akan mewarisi kekuatan roh?”
Tatapan Marilyn bertemu denganku.
Mata ungunya bergetar pelan.
“…Tentu saja, putri berikutnya di garis keturunan.”
Bukan hanya dia, semua Peri Fajar tahu hal ini.
Tapi mereka tetap mendoakan Arilyn agar hidup.
Jadi aku tidak mengatakan apa pun.
***
Tiga hari berlalu.
Selama itu, aku cukup sibuk.
Panglima pasukan manusia, tokoh yang kuduga sebagai protagonis tidak juga muncul, jadi aku mulai memikirkan cara memancingnya keluar.
Akan lebih bagus kalau aku sekaligus bisa menghabisi pasukan mereka.
Marilyn bilang bahwa Panglima itu kadang muncul jika terjadi sesuatu yang penting.
Karena itu, aku sudah bersiap.
Pertama, persenjataanku.
Senjata modern tidak hanya punya peluru biasa, tapi juga peluru api, listrik, racun, dan berbagai kemampuan lain untuk menghadapi monster.
Aku menambahkan magic untuk memperkuat semuanya.
Peledak yang tadinya hanya menyembur api kini ku gabung dengan magic pencari otomatis yang akan menuju musuh dan menyetrum mereka.
Perpaduan sains dan magic
Meski magicku tidak begitu hebat, peningkatannya tetap terasa besar.
Aku menanam peledak di seluruh lembah tempat hang glider mereka biasa melintas.
Lalu, sesuatu yang tak terduga terjadi.
Wiing, wiing!
Kamera pengawas mendeteksi gerakan.
Aku langsung mengeceknya dan yang kulihat benar-benar absurd.
“Apa… apa ini…?”
Manusia-manusia itu menaiki hang glider yang kukira hanya semacam alat bantu meluncur.
Tapi ternyata salah besar.
“Hang glider… mereka lepas landas secara vertikal?”
Vertical takeoff.
Teknologi yang masuk akal di Bumi.
Tapi itu pun hanya bisa dilakukan di abad ke-21 dengan teknologi canggih.
Namun mereka…
Mereka terbang vertikal menggunakan sayap dari kertas.
“Apa-apaan ini…”
Aku memperhatikan lebih dekat sayap mereka di monitor.
Di antara puluhan roda gigi, ada baling-baling besar dan kecil yang bergerak secara bersamaan.
‘…Ada prinsip aneh di balik cara terbang mereka.’
Teknologi penerbangan Bumi memang jauh lebih maju.
Jet tempur supersonik, roket ke luar angkasa…
Tapi kemampuan mereka mengendalikan angin jauh lebih baik.
Hanya dengan kayu, kertas, dan besi, mereka bisa terbang bebas.
Kalau saja mereka memiliki teknologi abad ke-21…
‘Jadi… ini yang dimaksud Marilyn dengan “mengendalikan angin”…’
Aku pikir itu hanya kemampuan terbang biasa.
Ternyata lebih dari itu.
‘Tapi tetap saja, tidak akan jadi masalah.’
Mau bisa terbang atau tidak, pada akhirnya semuanya masih dalam batas kemampuanku.
Aku buru-buru mengemasi peralatan dan naik ke gunung berbatu yang sudah kuseleksi sebelumnya.
Gunung ini yang paling tinggi di sekitar sini, dan berbeda dari tebing melayang lainnya, gunung ini dekat dengan tanah sehingga mudah naik-turun.
Aku cepat-cepat mengeluarkan mega shooter-ku, memasang larasnya, menyiapkan bipod, lalu meniarap.
Setelah memasang scope dengan lensa pembesaran 30 kali dan mengatur jenis pelurunya ke ‘serangan umum’, aku menempelkan mataku ke scope.
“….”
Dulu, mengukur jarak ke target lalu memperhitungkan kekuatan dan arah angin dengan menjilat jari adalah pekerjaan yang merepotkan.
Tapi sekarang, sebagian besar hal itu sudah dibereskan oleh kekuatan sains.
Begitu scope menangkap target, ia otomatis menguncinya sambil menyesuaikan arah angin dan posisi.
Walaupun begitu, angin di Dream Island hampir tidak ada, tempat ideal untuk seorang penembak jitu.
Saat itu, matahari mulai terbit, menyambut fajar baru.
Fajar hanya bertahan tiga jam, dan hari ini, di pagi yang masih berkabut itu, tujuh iblis dengan hang glider mereka muncul.
Dilihat dari jumlahnya, sepertinya itu pasukan patroli.
Aku membidik sebuah kepala manusia yang muncul dalam pandanganku.
Jaraknya kurang lebih 7 km.
Jarak seperti ini mustahil dijangkau senapan biasa, tapi peluru yang diperkuat aether milikku sudah cukup.
Dan yang memegang senapan ini adalah aku, seseorang yang memang punya bakat menembak.
…Tung!
Sesuatu jatuh ringan, seperti burung pipit..
***
Marilyn membawa semangkuk teh madu hangat di satu tangan dan ‘pot bunga’ di tangan lainnya.
Roh penuntun menyuruhnya membawanya ke mana pun, jadi meski tidak nyaman, ia tetap melakukannya.
Sambil memegangnya erat-erat, Marilyn memanjat sebuah pohon.
Kakaknya, Arilyn, sudah tinggal di pohon tertinggi ini sejak lama.
Tidak ada alasan khusus, hanya karena Arilyn menyukai langit.
Marilyn dan kakaknya memang suka melihat langit bersama.
Semua Peri Fajar menyukai warna ungu, tapi entah kenapa, para ‘putri’ justru berbeda, mereka menyukai warna selain ungu.
Contohnya, putri ketiga suka warna hijau, dan putri keempat suka warna merah.
Di antara tujuh putri, satu-satunya yang menyukai warna biru hanyalah dirinya.
Tok tok.
Ia mengetuk, tapi tidak ada jawaban.
Aneh.
Biasanya, ketika merawat Arilyn, kelima putri lain akan berdoa.
Apa mereka tidak mendengar karena terlalu fokus?
Tidak mungkin.
“Saudari-saudariku, aku masuk ya.”
Ucap Marilyn sambil membuka pintu perlahan dan refleks menutup hidungnya.
Ada sesuatu.
Bau mencurigakan menyentuh hidungnya.
‘Ini…?’
Saat ia melihat ke dalam
Kelima saudarinya yang seharusnya merawat Arilyn tergeletak di lantai.
‘Gas…tidur…?’
Ia tahu itu adalah kemampuan para iblis.
Menyebarkan gas untuk membuat para Peri Fajar tertidur.
Tapi kenapa gas itu ada di sini…?
‘Tidak mungkin!’
Marilyn berlari ke sisi tempat tidur sambil menutup hidung, lalu mengulurkan tangan untuk memeriksa napas kakaknya.
‘Tidak ada…napas…?’
Di hadapan kenyataan yang tak bisa dipercaya itu, Marilyn jatuh berlutut.
Arilyn.
Sudah tiada.
“Ah…”
Tanpa sadar ia melepas tangannya dan menghirup gas itu.
Kesadarannya mulai menumpul.
Saat itu, Marilyn menatap wajah saudari-saudarinya satu per satu.
Hanya ada empat.
Tap tap.
Terdengar langkah kaki. Marilyn perlahan menoleh.
Rambut ungu dan mata ungu yang sama. Di sana berdiri putri bungsu.
“…Adik.”
“Kakak. Apa kakak baik-baik saja?”
“Ini…ini…apa kamu yang…melakukan ini…?”
Adik yang selalu polos itu.
Anak yang paling ceria, yang selalu membuat peri lain tersenyum.
Ia masih memakai ekspresi ceria yang sama.
“Iya.”
“…Kenapa?”
“Karena waktunya sudah tiba.”
Marilyn mencoba bertahan dengan kekuatan tekadnya.
‘Tidak boleh…tidur.’
Jika ia tumbang sekarang, semuanya akan berakhir.
Tapi bukan tekad yang membuatnya tetap sadar.
“…Hm. Sepertinya kakak sudah menerima ‘warisan roh.’ Hanya karena kalian lahir duluan, semuanya langsung jadi milik kalian. Kakak tidak merasa itu aneh?”
“Apa maksudmu… Itu…memang begitu…”
Itu fakta.
Selalu begitu. Sudah begitu. Dan akan begitu.
Begitulah budaya Peri Fajar.
Namun, si bungsu tidak bisa menerimanya.
“Tidak. Kau salah. Kalian yang tidak punya bakat dan tidak punya mimpi… tetap mendapatkan warisan itu. Menurutku itu tidak masuk akal.”
“…Apa?”
Putri bungsu, Sarilyn, membuka telapak tangannya.
Seketika, pusaran angin muncul di atasnya.
‘…Meski dia tidak menerima warisan roh, itu adalah kekuatan roh!’
“Apa…?”
“Itu bakat, Kak. Aku lahir dengan kemampuan mengendalikan roh. Semua roh mencintaiku, dan aku mencintai mereka… Dan kalau aku mendapatkan warisan roh, bakat itu akan bersinar.”
“Hanya karena aku bungsu… aku tidak punya kesempatan mendapatkan warisan itu.”
Betapa menyedihkannya.
Sesuatu yang tidak pernah bisa dipahami peri lainnya.
“…Tidak mungkin. Semua ini hanya karena alasan seperti itu?”
“Bukan hanya itu.”
Sarilyn tersenyum.
“Kak. Kamu tahu tidak? Ada lebih dari 100 pulau lain selain Dream Island. Kakak tidak tahu, kan?”
“….”
“Mereka yang kita sebut iblis itu sebenarnya bukan iblis. Mereka hanya sedikit lebih maju dari kita, meski serakah… Dan mereka punya ‘mimpi.’ Mereka makhluk romantis.”
Sarilyn berjalan mendekat dan memegang dagu Marilyn.
“Sebentar lagi, dunia ini akan terbakar. Para iblis… tidak, ‘manusia’… sudah menemukan cara pergi ke pulau lain. Pulau ini tidak bisa menampung kita semua.”
Karena itu
“Kita akan memulai perang dengan dunia ini. Kakak tidak melihatnya? Sebenarnya perang sudah dimulai tanpa kita sadari. Kita hanya hidup santai tanpa tahu apa-apa. Aku hanya… hanya ingin menyelamatkan Peri Fajar. Kak, kamu tahu apa itu perang? Membunuh atau dibunuh. Ya, perang seperti itu.”
“….”
“Dari membaca ‘buku terlarang Peri Fajar,’ aku mengerti semuanya. Jadi aku bekerja sama dengan manusia. Aku akan menikah dengan salah satu dari mereka dan punya anak. Aku, yang punya roh, dan manusia yang punya angin serta mesiu, akan bersatu. Keren kan? Iya, kan?”
Dengan mata bergetar, Marilyn bertanya.
“Jadi… kamulah yang memanggil para iblis…?”
“Betul. Sekarang Arilyn sudah mati, tidak lama lagi manusia akan datang. Jangan khawatir. Aku sudah bilang yang sebenarnya pada kakak. Karena aku sayang kakak. Mereka tidak akan memperlakukan kita dengan buruk.”
Sarilyn mengusap dagu Marilyn pelan.
“Kakak, ayo pergi bersamaku. Tinggalkan Dream Island ini.”
Para Peri Fajar tidak pernah bermimpi, karena hidup mereka sendiri adalah mimpi.
“Sekarang waktunya kakak bangun dari ‘mimpi’ itu.”
Jadi
“Serahkan warisanmu padaku.”
Marilyn, yang baru menerima warisan itu, belum mampu menggunakan kekuatan roh dengan benar.
Sedangkan Sarilyn, yang memang berbakat mengendalikan roh, sudah jauh lebih mahir, secara teori, ia bisa mengalahkan Marilyn dengan mudah.
[Itu…]
Begitulah seharusnya yang terjadi, tapi
[Itu bukan caranya menggunakannya…]
“…Hah?”
Angin berhenti.
0 komentar:
Posting Komentar