Chapter 48

 Dunia ini terdiri dari lebih dari seratus pulau.

Salah satunya adalah pulau tempat manusia awalnya tinggal.

Pulau itu memiliki air yang bagus, tanah yang subur, dan pemandangan yang indah.

Lalu, seiring majunya ilmu pengetahuan, kehidupan menjadi semakin baik… tapi justru terlalu baik.

Populasi tumbuh pesat, dan itu menjadi masalah besar.

Pulau yang sempit itu sudah tidak sanggup lagi menampung semua orang. Dengan ruang yang makin sesak dan sumber daya yang tidak cukup, mereka membutuhkan tempat tinggal baru.

Saat itulah Hanniel muncul.

Dialah orang yang menciptakan mesin terbang pertama, lalu mengembangkannya sampai bisa digunakan untuk keluar dari pulau asal mereka.

Akhirnya, untuk pertama kalinya dalam sejarah, seorang manusia berhasil mencapai pulau lain.

Dunia lain itu hidup nyaman di pulau sempit mereka sendiri, dan karena tidak pernah punya alasan untuk pergi, mereka tidak mengembangkan teknologi penerbangan.

Tidak hanya itu, teknologi mereka jauh tertinggal dibanding para manusia.

Perang penaklukan pun menjadi sangat mudah.

Sejak perburuan tempat tinggal baru dimulai, Hanniel telah menaklukkan sembilan pulau.

Pulau-pulau yang ditaklukkan dijadikan koloni, dan para penduduk asli diperbudak.

Tujuan Hanniel adalah mengubah seluruh dunia ini menjadi milik umat manusia.

…Itulah latar belakang dan plot dunia ini.

#DawnFairies_Don’t_Dream

Seodam memandang Hanniel, protagonis cerita ini yang kini berdiri di hadapannya.

Alih-alih menggunakan hang glider, tubuhnya kini dilapisi peralatan ilmiah yang aneh, dan ada dua puluh orang mengikuti di belakangnya.

Jika dilihat dari kemampuan fisik, setiap prajurit itu berada pada level E atau D Rank, sementara Hanniel sendiri jelas berada di level D+ Rank.

Seodam mengarahkan pandangannya ke sekitar.

Pohon. Pohon. Dan lebih banyak pohon.

Penghalang di mana-mana. Tempat terburuk untuk pertarungan udara.

Karena itu Seodam menggunakan taktik gerilya dan mundur ke area ini, tapi dia tak menyangka mereka akan mengejarnya sejauh ini.

Sebenarnya, tipe orang seperti ini yang paling sulit dihadapi.

Musuh-musuh yang ia hadapi sebelumnya secara tidak langsung memaksanya berhadapan dengan sang protagonis.

Alasan ia memilih metode itu karena kematian sang protagonis harus sesuai dengan “alur cerita”, sekaligus paling aman dan murah biaya.

Namun kali ini berbeda.

Ribuan pasukan bersumpah setia pada Hanniel. Berhadapan dengan protagonis berarti berhadapan dengan semuanya.

Tapi… bagaimana mereka berniat bertarung di sini?

Pertanyaan itu muncul begitu saja.

Sayap mereka tidak berguna di hutan seperti ini.

Sebaliknya, tempat ini justru lebih menguntungkan bagi Seodam.

Seolah menjawab pikirannya, Hanniel maju perlahan dengan kendali angin yang halus.

Oh? Apa itu?

Tidak seperti sayap prajurit lainnya, di tubuh Hanniel terdapat dua alat pendorong angin kecil yang mirip roket, serta sayap mungil di sisi pinggangnya.

Karena tidak mungkin terbang tinggi di area hutan rapat, mereka menggunakan teknologi baru yang memungkinkan pertarungan udara jarak rendah, sesuatu yang disebut Tornado Launcher Glider.

Seodam tidak tahu detailnya, tapi ia sudah menduga mereka pasti menyiapkan sesuatu untuk skenario pertempuran di hutan.

“Menyerahlah. Membunuh orang sepertimu hanya akan membuang-buang bakat,” kata Hanniel.

“Oh…”

Mencoba menenangkan musuh yang baru saja membantai dua ratus orangnya.

Benar-benar khas protagonis.

“Apa yang terjadi kalau aku menolak?”

“Hanya kematian yang menantimu.”

Hanniel mengeluarkan pedang baja berat.

Seodam pernah melihat sesuatu yang mirip di Bumi, seperti gergaji.

Tapi ini jelas bukan gergaji biasa.

Terbuat dari logam khusus yang hanya ada di dunia ini.

Karena bahan langka, senjata ciptaan Hanniel itu hanya dibuat 21 buah saja.

Hanya Hanniel dan 20 orang Windfury Force yang memilikinya.

Tetap saja, jawabannya hanya satu.

Jawaban itu sudah pasti dari awal.

“Aku menolak.”

“Aku sudah menduga.”

Sekarang tidak ada pilihan lain selain saling membunuh.

Lalu Hanniel kembali bicara.

“Misi mu melindungi desa Para Peri Fajar?”

“Kurang lebih.”

“Kalau begitu, kau terlambat. Hari ini, seseorang mengirimkan lokasi desa mereka padaku. Sambil kami menahanmu di sini, lima ratus pasukanku sedang menuju ke sana.”

Hanniel tersenyum tipis.

“Semuanya akan mati.”

Seodam akhirnya mengerti kenapa Hanniel banyak bicara sejak tadi.

Dia mencoba menggoyahkan pikiranku…

Jika Seodam terpancing emosi, mereka bisa lebih mudah menangkapnya.

Jika Seodam gelisah setelah mendengar soal desa Peri Fajar, itu akan menjadi celah besar.

Memang licik.

Tapi masalahnya…

Seodam sama sekali tidak peduli apakah desa Peri Fajar hancur atau tidak.

Trik basi.

Meski begitu, Seodam tetap merasa repot menghadapi para E–D Rank yang bisa terbang bebas.

Tidak ada aturan bahwa Hanniel harus bertarung sendirian.

Ia mulai berpikir.

Hanniel sudah menaklukkan sembilan pulau.

Masih ada sekitar sembilan puluh lagi menuju tujuannya.

Namun tema dunia ini adalah “Dawn Fairy.”

Protagonis manusia penakluk.

Dream Island, salah satu pulau di dunia ini.

Lalu kenapa tempat ini jadi pusat cerita?

Saat ia memikirkannya, Seodam teringat tagar #forbiddenlove.

Mungkin Hanniel jatuh cinta pada seseorang dari Dream Island.

Mereka tidak mungkin menemukan desa Peri Fajar hanya dengan teknologi.

Berarti Hanniel menerima bantuan dari seseorang yang ia cintai, seseorang dari bangsa yang akan ia taklukkan.

Spekulasi itu masih samar… tapi masuk akal.

Siapa pun orangnya… bukan masalah besar.

“Hanniel.”

“Kau tahu namaku?”

“Tentu. Aku mendengar banyak tentangmu. Dari ‘dia.’”

‘Dia’ itu cuma tebakannya.

Ia sendiri tidak tahu apakah yang dicintai Hanniel itu pria atau wanita.

Namun Hanniel langsung bereaksi, bahu dan dagunya menegang.

“Begitu… Apa yang dia katakan tentangku?”

“Kami banyak bicara. Dia temanku sejak kecil. Ia sering menceritakan mimpimu. Tentang ambisimu yang liar, keinginanmu menggenggam seluruh dunia.”

Hanniel terdiam.

Seodam melanjutkan.

“Ia mencintaimu setulus hati. Aku mencoba mencegahnya. Aku bilang, ‘Laki-laki itu memanfaatkanmu. Dia menginjak-injak mimpimu dan menjadikannya tangga bagi mimpinya sendiri.’ Tapi dia tidak percaya. Dia tetap mempercayaimu. Karena itu aku datang sendirian kemari, tanpa memberi tahu para Peri Fajar untuk melindungi mimpinya.”

“…Lalu pada akhirnya, dia percaya padamu sampai terakhir… tapi kaulah yang menghianatinya.”

Saat Seodam selesai bicara, tidak seperti yang ia kira

“…Bagaimana denganmu?”

Hanniel bertanya dengan raut tegang.

Seodam agak terkejut.

Ia tidak menduga Hanniel akan seserius itu.

“Aku… sampai detik terakhir, aku mempercayainya. Rasanya menyenangkan.”

Ingatan pun mengalir.

Pertemuan pertama mereka terjadi secara kebetulan.

Hanniel teringat senyuman Sarilyn saat pertama kali mereka bertatap muka di bawah cahaya bulan.

Senyum yang cantik.

Penuh mimpi.

Sarilyn punya banyak impian.

Sama seperti dirinya, ia ingin melihat dunia yang lebih luas.

Tapi tidak seperti Hanniel, ia ingin berjalan dan menjelajahinya, bukan menaklukkannya.

Karena itu, Hanniel menunjukkan “realitas” dunia padanya.

Bahwa dunia tidak seromantis yang ia bayangkan.

Bahwa kedamaian hanya tercipta setelah dunia dilumuri darah.

Dream Island, katanya, akan menjadi seperti itu juga.

Hanniel telah menipu Sarilyn.

‘Agar para Peri Fajar bisa kulindungi, kami akan menjaga mereka.’

‘Tapi… para peri itu konservatif. Mereka menganggap manusia sebagai iblis. Mereka tidak akan pernah menerima kita.’

‘Kalau begitu, kita gunakan sedikit paksaan. Sekalipun kita kelewatan, pada akhirnya kita akan menundukkan mereka dan memaksa mereka berada di bawah perlindungan kita.’

Pada akhirnya..

“Katakan di mana para Peri Fajar tinggal.”

Dia telah memanfaatkannya.

Dan begitu gadis itu tak punya nilai lagi, dia memerintahkan Wakil Komandan untuk membunuh seluruh sukunya.

“…Pada suatu waktu, aku memang punya perasaan padanya.”

“….”

“Tapi… itu dulu. Dan aku baru saja mengingatnya lagi saat berangkat hari ini untuk membunuhmu.”

…Astaga.

Seodam tertawa pendek, tak percaya.

Jika alur ceritanya berjalan seperti rencana asli, Hanniel seharusnya jatuh cinta pada seorang Peri Fajar.

Entah nanti dia akan menyerah pada mimpi penaklukan atau tidak, pada akhirnya, ke sanalah cerita mengarah.

Namun begitu Seodam ikut campur, arah plot berubah total.

Karena obsesi untuk mempercepat penaklukan para Peri Fajar, perasaan Hanniel pada perempuan itu bahkan tidak sempat tumbuh.

Mungkin ini lebih baik, pikir Seodam.

Lebih baik cinta yang berakhir lewat kebohongan, daripada cinta pada perempuan dari suku yang hendak ia bantai.

Kalau tidak begini, alurnya pasti sangat klise:

‘Maaf, aku diam-diam membantai suku kalian.’

Lalu, begitu Hanniel meneteskan air mata dan memelas, perempuan itu yang tersentuh akan melupakan segala hal yang terjadi.

‘Tidak apa-apa. Aku memaafkanmu. Aku mencintaimu.’

Begitu saja.

Konyol kalau dipikir-pikir.

Apa permintaan maaf bisa menghidupkan orang mati?

Masih menyimpan getir itu, Seodam menghunus Aether Blade-nya.

“Jadi itu… senjata yang paling kau percaya?”

Gergaji itu, senjata pemotong yang meningkatkan daya rusak dengan berputar cepat.

Tapi Aether Blade… adalah evolusi terakhir dari gergaji tersebut.

Hanniel mendengus meremehkan.

“Jadi pedang? Sederhana sekali. Menyedihkan.”

Dia arogan.

Senjata api dan meriam tidak ia kembangkan terlalu jauh karena melawan ras lain saja sudah cukup.

Tapi gergaji besi itu berbeda.

Gergaji itu adalah masterpiece-nya.

Senjata rahasia yang ia buat dari gabungan semua sains dan material paling langka.

“…Kau benar.”

Seodam menekan tombol kecil. Aether Blade menyala.

Wuuum!

Sorot energi kuat meledak dari seluruh sisi pedang.

“…A…pa…?”

Betapa tragisnya seorang protagonis.

Jika dia bukan ‘protagonis’, barangkali dia akan menjadi penemu terbesar di dunia.

Seandainya saja bukan karena obsesi naif untuk menaklukkan segalanya.

Seandainya dia lahir pada dunia dan zaman yang tepat.

Seandainya takdirnya tidak kacau…

Tapi semua itu tidak terjadi.

Dia genius, ya.

Namun bagi Seodam, dia tetap harus mati.

Tap!

Seodam melompat ringan, mengayunkan Aether Blade dengan satu tebasan sederhana namun berat.

Hanniel mengangkat gergajinya untuk menahan

…Sraaak!!

Karya terbesar hidupnya terpotong rapi menjadi dua.

Wiiing!!

***

“Euuek…!”

Putri bungsu, Sarilyn, memanggil kekuatan alam sekuat mungkin.

Sebagai seorang jenius, ia bisa menggunakan kekuatan para roh bahkan tanpa warisan roh tapi tetap saja ada batasnya.

Dia terhempas jauh ketika roh itu benar-benar mulai mengeluarkan kekuatannya.

Apa-apaan ini…?!

Itu bunga aneh itu.

Bunga yang muncul bersama sosok bernama Pemandu.

Sarilyn mengenal bunga tersebut.

Jauh sekali di masa lalu ketika dunia tenggelam dalam darah akibat perang

…sebuah bunga lahir.

‘Spirit purba.’

Roh(spirit) yang lahir dari kematian.

Bunga perak itu, seolah bernyanyi, mengendalikan angin agar menari.

Namun bagi Sarilyn, angin itu seperti badai yang menghimpit seluruh tubuhnya.

Air, Api, Angin, Listrik, Tanah

Tak satu pun roh mampu melawannya.

Roh-roh tidak seharusnya membenciku…!

Sejak lahir, seluruh roh mencintainya.

Mereka selalu menjaganya, tidak pernah menolak permintaannya.

“Ber…henti…!”

[Tidak bisa…]

Tapi roh itu tidak mendengarkannya.

[Yah… witch itu… kubenci…]

Ucapnya aneh.

Lalu:

[Silver Spiritual Flower terhubung dengan Yoo Seodam.]

[Memeriksa sinkronisasi…]

[Silver Spiritual Flower terhubung dengan White Witch’s Library (F).]

Tiba-tiba, di atas bunga putih murni itu, muncul seorang gadis kecil.

Seperti bunga yang mekar membentuk tubuh.

Di saat yang sama, roh yang melayang di atas bunga perak mengangkat telapak tangannya ke arah Sarilyn.

Sebuah gambar aneh terdistorsi di udara dan menghantam Sarilyn tepat di dada.

Boom!!

“Keugh!”

Sarilyn terpental keluar ruangan, menghancurkan pintu kayu.

Untung ia sempat menangkap dahan, lalu mendarat dengan gemulai.

Marilyn, kakaknya yang menyaksikan itu, berdiri dengan tubuh gemetar, memeluk pot bunga itu erat-erat.

Gadis kecil itu… tumbuh dari bunga?

Dia belum pernah melihat roh dengan bentuk seperti ini.

Harus kutemui Sarilyn…

Pikiran buruk menyelinap di benaknya.

Para “iblis”,manusia, tidak bisa dipercaya.

Mereka kejam, licik, dan tak punya integritas sedikit pun.

Tubuhnya melemah oleh gas tadi, tapi Marilyn memaksakan diri turun untuk menyusul adiknya.

…Namun sudah terlambat.

“Kakak… sepertinya aku tak bisa mengalahkan kekuatan warisan, meski aku punya bakat… Tapi kalau kekuatan roh tak bisa, bagaimana kalau aku meminjam kekuatan iblis? Mungkin itu bisa?”

“…!”

Tiba-tiba langit tertutup ratusan bayangan.

Pengguna angin dan bubuk mesiu

Para iblis.

Mereka telah tiba.

“A… ah…”

Marilyn jatuh berlutut.

Tubuhnya sudah tak sanggup menahan apa pun.

Satu per satu, para iblis mendarat di desa mereka, dan Peri Fajar yang masih bingung berlarian ke segala arah.

Sarilyn, tetap dengan ekspresi lembut, berkata pada kakaknya:

“Kakak… jangan cemas. Mereka datang untuk melindungi kita”

…Bang!

“Huh…?”

Rasa panas dan sesuatu yang asing menembus perutnya.

“Darah…?”

Cairan ungu yang indah, Darah Peri Fajar.

Kenapa…?

Belum sempat memikirkan lebih jauh, kakinya melemas.

Sarilyn jatuh.

Marilyn menjerit putus asa.

“Tidak…!!”

Orang yang menembak Sarilyn berjalan mendekat.

“Jangan bergerak. Kalau ada serangga yang masih bergerak, kutembak seperti putri kecilmu ini.”

Itu Meiyan, Wakil Komandan pasukan manusia.

Para Peri Fajar langsung menyerah.

Para iblis bersayap telah mengepung desa.

Anak-anak peri menahan tangis.

Para dewasa menggigit bibir, menelan hinaan.

Meiyan tertawa melihat Marilyn merangkak menuju adiknya.

“Lucu sekali. Kau benar-benar percaya perkataan Komandan?”

“Ah… aah…”

Sarilyn mengangkat kepala pelan.

Seorang perempuan berambut coklat berdiri di atasnya, memandangnya seolah ia hanyalah sampah.

“Kalian itu kaum liar. Kalian harus tahu tempat kalian. Aku bahkan bangga pada tunanganku yang selama ini mau bergaul dengan ras kotor seperti kalian.”

“…T–tunangannya?”

“Ya. Hanniel Maximov. Kami sudah saling berjanji untuk menikah. Itu keputusan keluarga sejak lama. Paham? Mana mungkin kau mengira dirimu sepadan dengannya.”

Dengan mata bergetar, Sarilyn menatap Meiyan.

“Aku… aku tidak percaya. Dia jelas mencintaiku…”

“Jadi begitu. Kau masih belum ngerti? Semuanya bohong. Bodoh sekali.”

Meiyan mendekat, menempelkan moncong pistol ke dahi Sarilyn, menekan keras.

“Kaum liar menjijikkan. Tahu tempatmu.”

“Eueuk!”

Sakit.

Sakit sekali.

Rasa sakit yang belum pernah ia rasakan seumur hidupnya.

Apa ini karena ditinggalkan?

Bukan.

Ini… sakitnya hati yang patah karena dikhianati oleh orang yang ia cintai.

Rasa perih itu terlalu menyiksa sampai tubuhnya gemetar dan ia hanya bisa menangis menghadapi kenyataan yang tak masuk akal.

Lalu, bunga itu bicara.

[Apa kau… ingin dibantu?]

‘Hah?’

Tapi suara itu bukan untuk Marilyn.

Itu untuk Sarilyn yang hampir pingsan karena lukanya.

Marilyn tak mengerti kenapa bunga itu menawarkan bantuan padanya.

Namun, ia tak punya pilihan lain.

"Tolong aku. Kumohon."

[…Baik.]

Dalam sekejap, udara yang dingin dan menenangkan menyelimuti Sarilyn.

Rasa sakitnya mereda sedikit.

Dan ia bisa merasakan kekuatan angin jelas, dingin, murni.

Itu adalah kekuatan silver spirit.

Merasakan energi itu, Sarilyn perlahan membuka mulut.

“Benarkah… Kepala Komandan… benar-benar memerintahkanmu membunuhku?”

“Benar.”

“Kepala Komandan itu… sejak awal tidak pernah memikirkan aku?”

“Tentu saja. Makhluk seperti ka”

Meiyan terhenti.

Ia tersedak, seolah dadanya diremas sesuatu yang tak terlihat.

“…Beraninya kau.”

“A–apa… keuek!”

Sarilyn perlahan berdiri.

Dengan tangan gemetar, ia meraih pistol Meiyan dan menodongkannya balik.

“Ini… pusat Dream Island. Alam berada dalam genggaman para Peri Fajar. Peluru-peluru yang kalian banggakan itu… aku bisa membuat sebanyak yang aku mau hanya dengan satu hembusan.”

Klik klik!

Ia memang tak pernah menggunakan pistol sebelumnya.

Namun ia tahu cara mengisinya, karena ia pernah memperhatikan seseorang yang dulu ia cintai melakukan hal itu.

Menahan rasa sakit menusuk perutnya, Sarilyn menghantam kepala Meiyan dengan gagang pistol!

Meiyan tersungkur ke tanah.

Sarilyn mengarahkan pistol itu lagi.

“A–apa…”

“Wakil Komandan…!!”

Para prajurit manusia terkejut.

Cukup.

Ini sudah cukup.

Meiyan, ahli pertarungan tangan kosong tak berdaya di bawah seorang gadis lemah yang bahkan tak bisa berdiri lurus.

Syukurlah… sepertinya berhasil.

Sarilyn memang punya bakat luar biasa dengan para roh.

Kekuatannya terbatas karena ia tidak memiliki warisan penuh.

Ia tidak cukup kuat untuk menandingi Silver spirit flower

Namun bakatnya sendiri… sudah luar biasa.

Seodam pasti akan memberinya nilai banyak ‘S’.

Dan kini dengan kekuatan silver spirit

Ia bisa memaksakan kontrol angin sampai batasnya.

Ia bisa… mencekik seseorang hanya dengan udara.

“…Apa aku terlihat seperti anak kecil yang cuma bisa duduk menangis setelah patah hati?”

“Ukuek… kuhheuk…”

“…Aku punya mimpi. Untuk terus melangkah maju. Dan mimpi itu…”

Wajah Sarilyn sudah pucat seperti mayat.

Tapi tekadnya tak goyah sedikit pun.

Ia yang menyebabkan semua ini.

Ia yang harus menyelesaikannya.

Satu-satunya yang bisa mengendalikan roh adalah dia.

Jadi dia tidak boleh kalah.

Dengan seluruh tenaga yang tersisa, Sarilyn berteriak:

“Kalian semua, berlutut! Letakkan senjata kalian di tanah… lalu angkat tangan kalian perlahan ke atas!”

Saat para prajurit ragu, Sarilyn menembak bahu Meiyan.

Bang!!

Suara tembakan menggema.

Dan barulah para prajurit manusia sadar betapa genting situasinya.

Satu per satu, mereka menjatuhkan senjata.

“Kau pikir… ini… akan ada gunanya… hah?”

Meski kesulitan bernapas, Meiyan memaksakan diri bicara.

“Sebentar lagi… dia akan datang.”

Kepala Komandan.

Kesini.

Sarilyn meneguk ludah.

Bukan karena takut tapi karena ia tahu lelaki itu tidak sentimental.

Ia tidak peduli Meiyan dijadikan sandera.

“Ya. Aku tahu.”

Mulai sekarang, dia harus menghadapi musuh yang jauh lebih berbahaya.

Lebih kejam.

Lebih licik.

Lebih kuat.

Kalau dipikir logis, itu mustahil.

Untuk melawan monster itu… berapa banyak lagi yang harus mati?

…Para peri pasti kalah.

Masa depan sudah terkunci.

Sejak ia ditipu, kematian semua orang, termasuk dirinya sudah menjadi kepastian.

Penyesalan itu menyayat.

Hatinya seperti ingin menangis darah.

Tapi ia menahannya.

Wiiing!!

Angin bertiup dari kejauhan.

Seseorang datang.

Sarilyn menodongkan pistol ke arah sumber suara.

Meski ia mati hari ini, pada lelaki yang mengkhianatinya itu, ia akan melawan sampai nafas terakhir.

…Boom!!

Sesuatu jatuh dari langit.

“…Hah?”

Itu… tak salah lagi… Hanniel.

Seluruh tubuhnya dipenuhi luka.

Wajahnya pucat.

Ia hampir mati.

“A–apa… yang terjadi…?”

Saat Sarilyn menggumamkan itu, sebuah suara terdengar dari belakang.

“Aku lupa membawa pot bunganya, jadi kupikir aku harus mengantarmu sandera untuk dipakai sebagai tawar-menawar. Tapi sepertinya tidak perlu.”

“…!”

Sarilyn spontan menoleh.

Seorang pria berdiri di sana, memeluk pot bunga Marilyn dengan sangat hati-hati.

Ia menepuk-nepuk pasir yang menempel, seolah memastikan bunga itu tidak terluka sedikit pun.

Melihat punggungnya dan betapa lembut ia memperlakukan pot kecil itu, ketegangan dalam diri Sarilyn mendadak mencair.

Tubuhnya roboh, lunglai.

“Hah… haha… ha…”

Entah kenapa… hari ini terasa seperti hari yang benar-benar… amat sangat panjang.

0 komentar:

Posting Komentar

My Instagram