Chapter 21.2: Tawaran (2)

 

Dua hari kemudian, Gerhard Lionheart tiba dari Gidol yang jauh. Kalau sebelumnya hanya satu ksatria bernama Gordon yang dikirim untuk mengawal Eugene, kali ini adik kandung Patriark sendiri, Gion, yang secara pribadi menemani Gerhard menuju kediaman utama.

Fakta itu membuat Gerhard merasa tertekan luar biasa. Selama ini, satu-satunya kesempatan dia menginjakkan kaki ke kediaman utama hanyalah dua puluh tahun lalu saat upacara Pewarisan darah dan ketika Patriark dinobatkan. Setelah itu, dia tidak pernah lagi berkunjung, bahkan ke ibu kota saja hampir tak pernah.

…Jadi Eugene benar-benar menang di upacara Pewarisan darah tahun ini?

Anaknya yang melakukan itu? Benarkah? Gerhard sampai curiga kalau dirinya sedang bermimpi. Atau jangan-jangan semua ini hanya lelucon kejam untuk mempermainkannya.

Tapi untuk apa keluarga utama Lionheart, keturunan langsung Sang Great Vermouth, repot-repot memanggil kepala keluarga cabang kecil nan jauh di pelosok hanya demi menjahili dirinya?

Tetap saja, dia sulit menerima semuanya dengan gampang. Saat pertama kali Gion muncul di depan rumahnya, Gerhard hampir pingsan karena terkejut. Apalagi ketika melihat kereta mewah yang menunggu di luar dengan bendera Lionheart berkibar gagah, dia semakin tak percaya. Sepanjang perjalanan, Gion menceritakan sendiri prestasi Eugene, tapi bahkan setelah mendengar langsung, Gerhard masih belum sepenuhnya yakin.

Barulah ketika mereka melewati beberapa warp gate dan akhirnya sampai di warp gate pribadi keluarga utama yang hanya digunakan untuk acara penting Gerhard bisa menerima bahwa semua ini nyata.

Anakku… benar-benar mengalahkan anak-anak keluarga utama.

Gerhard merasa matanya panas, hampir menangis. Bukannya dia tak pernah menaruh harapan pada Eugene. Anaknya itu memang luar biasa sejak kecil. Begitu luar biasa sampai kadang Gerhard sendiri sempat meragukan apakah Eugene benar-benar darah dagingnya.

Karena itu, rasa bersalah selalu menghantuinya. Dia tahu betul dengan kemampuan yang ia miliki, ia tidak bisa memberi dukungan yang pantas agar sayap putranya bisa terbentang lebar. Selama ini dia berpikir, cepat atau lambat Eugene pasti sadar sendiri saat upacara Pewarisan darah. Betapapun hebatnya anak keturunan cabang, mereka mustahil bisa menyaingi darah murni keluarga utama. Bakat dan kerja keras saja tidak cukup untuk menembus jurang perbedaan itu. Tapi nyatanya…

“Ayah!”

Begitu melihat Eugene, semua kesopanan hilang. Air mata mengalir deras di wajah Gerhard. Rasa bangga dan rasa bersalah bercampur jadi satu ketika menatap putra semata wayangnya.

Bendera Lionheart berkibar gagah di depan mansion keluarga utama yang megah dan mewah. Di tengah pemandangan yang menakutkan itu, Eugene berdiri sambil tersenyum cerah, melambaikan tangan pada ayahnya.

Gerhard sadar dirinya tak pernah bisa memberi Eugene dukungan berarti. Tak bisa mencarikan guru hebat, tak bisa melatihnya sendiri. Hanya pedang kayu dan boneka latihan sederhana yang mampu ia berikan. Namun, anaknya tetap bisa meraih kemenangan di upacara Pewarisan darah.

“Anakku, Eugene…!”

Gerhard langsung memeluknya erat sambil terus menangis. Eugene sempat kaget melihat ayahnya begini, tapi tak lama ia ikut tersenyum polos dan membalas pelukan itu.

“Aku… aku bangga banget sama kamu. Jadi ayahmu adalah kebanggaan terbesarku,” Gerhard sesenggukan.

“Kan aku udah bilang bakal bawa pulang kabar baik. Masa sih Ayah nggak percaya?” Eugene menggoda sambil tertawa kecil.

Memang, sebelum berangkat, Eugene sempat mengatakan itu. Tapi tentu saja waktu itu Gerhard tidak bisa sepenuhnya mempercayai kata-kata anaknya. Dan hal itu kini menambah rasa bersalahnya.

“Iya… kamu memang bilang begitu, ya. Aku… aku minta maaf, anakku. Maaf karena nggak percaya,” ucap Gerhard, suaranya patah-patah.

“Yaelah, kenapa minta maaf lagi. Kalau aku jadi Ayah, aku juga nggak bakal percaya kok,” jawab Eugene sambil menepuk-nepuk perut ayahnya.

Refleks, Gerhard mundur setengah langkah. Perut buncitnya yang terhantam cubitan Eugene bikin dia sadar semua ini nyata.

Namun Eugene bukan satu-satunya orang yang menunggu. Tepat di belakang Gerhard berdiri Gion, adik Patriark. Dan di hadapan mereka

Gerhard buru-buru menelan ludah lalu mengeluarkan sapu tangan dari saku dadanya.

Di sana berdiri Gilead Lionheart, Patriark keluarga Lionheart. Orang yang terakhir kali ia lihat saat upacara pengangkatan Patriark. Wajah itu masih sama jelas di ingatannya. Dengan cepat Gerhard menyeka air mata dan ingusnya, lalu menunduk dalam-dalam.

“A-ampun karena terlambat memberi salam. Nama saya Gerhard Lionheart, dari Gidol.”

“Aku Gilead Lionheart. Mohon maaf karena harus memanggilmu begitu mendadak.”

Gilead melangkah maju dan mengulurkan tangan. Gerhard terkejut, buru-buru mengusap tangannya di celana sebelum menyambut uluran itu.

“Maaf apanya?! Saya sama sekali nggak menganggap itu kurang ajar. Malah saya sangat bersyukur diundang ke sini,” jawab Gerhard tulus.

“Aku tak ingin mengganggu waktumu bersama putramu. Tapi kalau boleh, bisakah kau menemaniku sebentar untuk berbicara?”

Gilead tak ingin percakapan formal dilakukan di depan umum. Sebagai cabang keluarga, Gerhard jelas akan terus menunduk rendah di hadapan Patriark, dan Gilead tak mau Eugene melihat ayahnya seperti itu.

“Tentu saja,” Gerhard mengangguk cepat.

Eugene mundur selangkah dengan pengertian, membiarkan ayah dan Patriark berjalan masuk. Gerhard sempat melirik putranya, rasa ingin tahu jelas terlihat di matanya, tapi ia memilih diam.

***

penerjemah: Idran

***

Di ruang kerja Patriark, hidangan kecil sudah menunggu. Setelah Gerhard meneguk teh untuk meredakan tenggorokannya yang kering karena tegang, Gilead langsung ke pokok pembicaraan.

“...Anda bicara soal… adopsi?” Gerhard bertanya tak percaya.

“Benar,” jawab Gilead mantap.

Ia tak sembarangan melempar tawaran itu. Gilead menjelaskan panjang lebar alasan kenapa adopsi ini dianggap penting.

Bakat Eugene terlalu gemilang untuk dibiarkan begitu saja. Tapi agar potensi itu bisa mekar sempurna, dukungan keluarga utama mutlak dibutuhkan.

Seorang anak keturunan cabang bisa menundukkan keturunan garis utama dan keluar sebagai pemenang upacara Pewarisan darah . Itu memang sebuah anugerah bagi klan Lionheart, tapi sekaligus juga bisa memicu kegelisahan di antara cabang-cabang lain yang mungkin menyimpan niat memberontak.

Ada risiko Eugene akan dijadikan sasaran perebutan atau bahkan tekanan oleh pihak-pihak itu.

“Sebagai wakil keluarga utama, aku berjanji akan melindungi keluarga Tuan Gerhard dari segala bahaya.”

Namun Gilead sadar ada batas sejauh mana perlindungan itu bisa diberikan.

“Kalau pun tawaran ini ditolak, keluarga utama tidak akan menyimpan dendam. Aku tetap akan berusaha semaksimal mungkin mendukung perkembangan Eugene.”

“...Haha….” Gerhard tak sadar terkekeh getir.

Ini… benar-benar nyata? Kepala Gerhard pening, hatinya berputar.

Eugene… diadopsi keluarga utama…

Gilead kembali bicara ketika melihat Gerhard terdiam.

“Jika Eugene diadopsi… kau pun, Tuan Gerhard, bisa ikut diterima di keluarga utama. Aku tahu tawaran ini mengejutkan, tapi..”

“Maafkan saya kalau ini terdengar lancang,” potong Gerhard dengan napas berat. “Saya sangat berterima kasih karena Patriark menaruh hormat setinggi itu pada anak saya. Tapi… sebagai ayah, saya hanya bisa mempertimbangkan apa yang terbaik untuk masa depan Eugene.”

“Dan menurutmu?”

“Meski niat Patriark tulus, saya khawatir anak saya justru akan diperlakukan buruk oleh sebagian anggota keluarga utama.”

Alih-alih tersinggung, Gilead justru merasa hormat. Ayah sederhana ini berani bicara apa adanya demi anaknya.

“Saya lahir sebagai Lionheart, tapi jujur saja, saya hanyalah orang biasa yang bahkan tak pernah pantas menyandang nama besar itu. Saya selalu ingin mendukung masa depan anak saya, tapi saya tahu kemampuan saya yang terbatas bisa menghalangi sinarnya.” Gerhard berkata lirih, suaranya bergetar.

“Patriark sudah punya tiga anak, bukan? Kalau anak saya diadopsi… bukankah bagaimanapun dia tetap dianggap orang luar?”

“Aku mengerti maksudmu.” Gilead mengangguk. “Memang benar, meskipun Eugene diadopsi, tradisi keluarga utama membuatnya sulit menjadi Patriark.”

Gerhard diam mendengarkan.

“Istri dan anak-anakku pun tahu itu. Tradisi ini… sayangnya tidak bisa kuubah di generasiku. Tapi aku berjanji, aku tidak ingin membatasi masa depan Eugene. Meski begitu, kehendakku sendiri tak bisa mewakili seluruh keluarga utama ataupun para tetua dewan.”

“...Baiklah,” Gerhard akhirnya mengangguk, memahami ketulusan Gilead.

“Selama anak itu tidak terlalu ambisius… dia akan bisa menunjukkan semua bakatnya dengan bantuan keluarga utama. Jadi Patriark mungkin mustahil, tapi….” Gilead terdiam sejenak sebelum menundukkan kepala dalam. “Tuan Gerhard, semoga kamu tidak tersinggung. Tapi untuk masa depan Eugene, jauh lebih baik bila ia dibesarkan sebagai anggota keluarga utama daripada tetap di Gidol. Selama dia tak bernafsu jadi Patriark, dia bisa menjalin hubungan dengan anak-anakku. Hubungan itu akan membuka banyak peluang dan kesempatan baginya di masa depan.”

Hati Gilead terasa berat. Ia sadar betul, bakat Eugene jauh melampaui anak-anaknya sendiri. Baik Eward, Cyan, maupun Ciel tidak sebanding. Dan seiring waktu, jurang itu hanya akan makin lebar.

Tapi meski begitu, Eugene tetap tak bisa jadi Patriark. Bukan karena Gilead tak mau, tapi karena tradisi dan harga diri keluarga utama. Seandainya dipaksakan, klan Lionheart hanya akan jadi bahan tertawaan, dan para tetua dewan takkan pernah mengizinkannya.

“...Sepertinya memang begitu adanya,” Gerhard menghela napas panjang.

Ia sangat paham betapa banyak kesempatan dan masa depan cerah yang bisa dibuka oleh keluarga utama. Hatinya terasa sakit, tapi ia sadar betul keterbatasannya sendiri. Dengan tetap menjadi anak Gerhard dari Gidol, Eugene takkan pernah bisa menikmati kejayaan sebesar itu.

“...saya rasa ini bukan keputusan yang bisa kuambil sendiri,” Gerhard akhirnya tersenyum pahit sambil menggeleng. “saya harus bicara langsung dengan anak saya.”

0 komentar:

Posting Komentar

My Instagram