Chapter 22.1: Tawaran (3)

 

Eugene menurunkan pedangnya begitu melihat Gerhard berjalan mendekat dengan ekspresi aneh. Wajah Gerhard seperti seseorang yang baru saja kehilangan orang terdekat, langkahnya goyah dan lemah. Eugene bisa dengan jelas menebak apa yang tadi dibicarakan Gerhard dengan Gilead, emosi apa yang sedang dirasakannya, dan alasan kenapa ayahnya datang ke sini sekarang.

“Ayah, kenapa wajahmu begitu?” tanya Eugene.

Daripada pura-pura sudah tahu jawabannya, Eugene memilih bertanya langsung. Gerhard mengangkat kepalanya yang sempat tertunduk, dan saat melirik ke arah bangunan annex, ia sadar bahkan satu annex untuk tamu saja lebih besar daripada rumah mereka di Gidol.

Gerhard sempat mencoba menghibur diri dengan kenyataan kalau setidaknya tempat pelatihan rumah mereka masih lebih besar. Tapi melihat pedang yang sedang dipegang putranya, pundaknya kembali jatuh. Itu adalah Storm Sword Wynnyd. Ia sudah mendengar cerita lengkap dari Gion tentang bagaimana putranya sendiri yang memilih pedang itu sebagai hadiah dari gudang harta keluarga utama.

Bahkan kalau ia menjual semua harta yang keluarganya kumpulkan selama bertahun-tahun, tetap saja ia tak akan mampu membeli pedang seperti itu.

“...Nak,” akhirnya Gerhard bicara, meski rasa rendah dirinya makin kuat. “...Patriark keluarga utama menawarkan untuk mengangkatmu sebagai anak angkat.”

“Aku sudah tahu. Beliau sudah membicarakannya denganku sebelumnya,” jawab Eugene sambil mengangkat bahu. “Tapi apa hubungannya itu dengan wajah ayah? Lagipula, adopsi itu nggak akan memisahkan kita, karena ayah juga ikut masuk ke keluarga utama bersamaku.”

“...Itu memang yang beliau katakan. Tapi… aku tidak yakin… apakah sebaiknya begitu. Kalau demi masa depanmu, membiarkanmu masuk ke keluarga utama lewat adopsi memang pilihan yang tepat. Tapi kalau begitu…,” Gerhard terhenti, tak bisa menyelesaikan kalimatnya.

Persekusi dari keluarga utama dan kemungkinan konflik soal hak suksesi. Gerhard bisa dengan mudah membayangkan semua bahaya yang menunggu Eugene di masa depan. Tapi ia ragu, apakah putranya yang baru berusia tiga belas tahun benar-benar bisa memahami kekhawatiran semacam itu.

“...Secara teori… kalau kamu jadi diadopsi ke keluarga utama, kamu mungkin harus menghadapi banyak hal sulit nanti,” peringatan Gerhard keluar dengan berat.

“Mungkin,” Eugene mengangguk santai.

Meski Gerhard tak menjelaskan detailnya, Eugene paham betul apa yang dimaksud ayahnya.

“Tapi ayah, kalaupun begitu, kenapa harus takut?” balas Eugene cepat.

“...Hah?” Gerhard menggumam bingung.

“Walau mungkin banyak hal sulit yang menunggu di depan, pasti ada juga hal-hal baiknya,” alasan Eugene mantap.

“...” Gerhard tidak bisa membalas.

“Ayah, aku akan baik-baik saja apa pun yang terjadi,” janji Eugene sambil menyarungkan Wynnyd kembali.

Lalu ia berjalan mendekati Gerhard dengan senyum lebar.

“Kalau ayah nggak mau aku diadopsi, ya sudah, kita balik saja ke Gidol,” kata Eugene ringan.

“...” Gerhard tetap diam.

“Aku serius. Seperti yang kubilang, aku akan baik-baik saja apa pun yang terjadi. Ayah bisa lihat sendiri, kan? Aku sekarang sudah cukup hebat, bukan?”

Aku benar-benar sudah tumbuh dengan baik, meski segala keterbatasan ada, Eugene mengangguk dalam hati.

“Bahkan tanpa melatih mana atau belajar dari guru hebat, aku tetap bisa mengalahkan anak-anak keluarga utama. Sebagai putra ayah, menurutku aku sudah melakukan cukup baik. Jadi meski aku nggak diadopsi ke keluarga utama, aku tetap akan baik-baik saja,” janji Eugene.

Kata-kata putranya terdengar tulus, membuat mata Gerhard berkilat dengan air mata yang tertahan.

Dan Eugene memberi pukulan terakhir, “Aku nggak pernah menyesal kalau ayah adalah ayahku.”

Hiccup.

Gerhard menelan isakannya.

“Aku lahir sebagai anakmu. Berkat ayah, aku bisa ada di sini sekarang,” Eugene mengaku tanpa ragu.

Kalau saja Gerhard orang yang sombong tanpa kemampuan, masa kecil Eugene pasti akan jadi penuh masalah. Tapi Gerhard bukan tipe itu. Ia menghormati tekad Eugene, dan sejak kecil selalu memberikan semua bahan latihan yang diminta putranya.

“Itulah kenapa, ayah, jangan salahkan diri sendiri tanpa alasan. Ayah harus bangga dengan siapa ayah sebenarnya. Aku bisa tumbuh sehebat ini hanya karena ayah berhasil membesarkanku dengan baik.”

“...Eugene….” Pada akhirnya, Gerhard tak bisa menahan diri lagi dan menangis, “Aku… aku… aku akan ikut ke mana pun kamu mau pergi. Jangan pikirkan reputasiku, putuskanlah sesuai mimpimu sendiri untuk masa depan.”

“Baik di Gidol maupun di keluarga utama, aku yakin aku bisa mewujudkan mimpiku,” jawab Eugene dengan suara penuh keyakinan.

Bukan hanya keyakinan, kata-kata itu juga terdengar pasti. Adopsi memang memberi banyak keuntungan, tapi itu bukan syarat mutlak baginya untuk mencapai tujuan.

Itu hanya akan mempercepat langkahku beberapa tahun saja.

Yang ia butuhkan hanyalah melatih sedikit mana untuk bisa memanggil spirit. Itu pasti bisa, bahkan kalau ia kembali ke Gidol. Kalau kitab pelatihan mana keluarga Gerhard ternyata kurang, ia masih bisa memakai kitab pelatihan mana milik Hamel. Dengan tubuh absurd ini, bahkan kitab murahan yang biasa dipakai tentara bayaran pun tetap akan efektif.

Dan setelah itu? Ia bisa memanggil spirit level terendah. Walau cuma bisa melapisi pedangnya dengan bilah angin, itu sudah bisa menggantikan sword-light. Dengan itu saja, Eugene yakin bisa mengalahkan ksatria mana pun.

“...Tapi, Eugene, kalau kamu diadopsi ke keluarga utama, kesempatanmu akan jauh lebih banyak,” kata Gerhard setelah tangisnya reda.

“Itu memang benar,” Eugene mengangguk.

“Tapi aku khawatir kamu akan menghadapi banyak hinaan setelah diadopsi…,” Gerhard mengungkapkan keresahannya.

“Ayah sudah melihatku sejak kecil,” Eugene berkata sambil mulai mencolek perut ayahnya. “Aku bukan tipe orang yang diam saja kalau diremehkan. Ayah dengar kan? Di hari pertamaku di sini, aku hajar Cyan dari keluarga utama.”

Gerhard meringis, “Aku hampir pingsan waktu dengar itu….”

“Memangnya kenapa? Nggak ada yang aneh. Pokoknya, ayah nggak perlu khawatir tentang aku. Lebih baik ayah khawatir soal diri sendiri.”

“Kh…khawatir soal diriku…?”

“Soal badan ayah ini,” kata Eugene sambil berhenti mencolek perutnya dan malah mengangkatnya dengan kedua tangan. “Makanan di kediaman utama jauh lebih enak daripada yang kita makan di rumah. Dengan sedikitnya olahraga yang ayah lakukan sekarang, kalau nanti mulai kalap makan semua makanan itu, perut bir ayah bisa meledak beneran.”

“Ha…ha ha ha,” Gerhard akhirnya tertawa lepas.

“Kalau ayah mau melihat masa depanku, ayah harus jaga kesehatan dulu,” ancam Eugene setengah serius.

Melihat wajah serius putranya, Gerhard pun tenang dan mengangguk, “Benar juga…. Kamu ada benarnya.”

Semua rasa tak berdaya dan rendah diri yang tadi menghantui, sekarang terasa konyol.

“Eugene,” ucap Gerhard dengan wajah yang kembali serius. “...Namamu adalah Eugene Lionheart, nama yang diberikan untuk putra Gerhard Lionheart.”

“Tentu saja,” jawab Eugene mantap.

“Namamu itu… dipilih bersama oleh aku dan ibumu sebelum ia tiada. Jangan pernah lupakan hal ini,” kata Gerhard dengan sedih.

“Aku bukan idiot. Masa iya aku bisa lupa namaku sendiri?” Eugene menanggapi dengan cengiran, tapi tetap mengangguk patuh.

“Sekalipun kamu diadopsi ke keluarga utama, ayah kandung yang membesarkanmu sejak lahir tetaplah Gerhard Lionheart,” tutup Gerhard dengan anggukan pelan.

Meski ekspresinya serius, air mata tetap menetes dari wajahnya. Tanpa suara isakan, ia memeluk Eugene erat-erat.

Pada akhirnya, sepertinya aku bakal diadopsi juga, Eugene berpikir dalam pelukan ayahnya. Meskipun agak merepotkan, ada banyak keuntungan yang bisa kuperas, jadi tetap layak dilakukan.

Eugene sama sekali tidak punya keinginan menjadi Patriark keluarga Lionheart. Walaupun ia tidak tahu bagaimana nanti, kalau sekarang dia menunjukkan ambisi ke arah itu, pasti banyak sekali belenggu yang dipasang padanya.

Entah mereka percaya atau tidak kalau aku bilang aku nggak tertarik.

Terutama istri utama, Tanis, dan istri kedua, Ancilla. Keduanya pasti tidak punya pilihan selain mengekang Eugene.

…Pasti mereka akan menumpuk larangan dan batasan padaku…. Kecuali kalau aku langsung melawan mereka. Atau mungkin aku bisa pura-pura cuek.

Tentu saja, Eugene lebih memilih pilihan pertama daripada yang terakhir.

0 komentar:

Posting Komentar

My Instagram