Chapter 22.2: Tawaran (3)

 

Pesta untuk menutup upacara Pewarisan darah tahun ini diadakan malam itu juga.

Gerhard bukan satu-satunya yang diundang sebagai tamu. Walaupun hasil upacara tahun ini jelas jadi aib bagi keluarga utama, Gilead sama sekali tidak menunjukkan rasa malu. Justru, ia mengundang keluarga dari semua anak yang ikut dalam upacara tersebut.

Tujuannya jelas, untuk memberi kesan bahwa upacara tahun ini bukanlah aib bagi garis utama, melainkan sebuah kehormatan bagi cabang keluarga.

Ancilla merasa puas dengan keputusan suaminya.

Walau ia tak pernah menganggap kemenangan Eugene Lionheart sebagai hasil terbaik, dan memang tak benar-benar berharap itu terjadi, faktanya Eugene berhasil mengalahkan keluarga utama dan keluar sebagai pemenang. Kalau kemenangan itu diumumkan lewat pesta ini, kekalahan Cyan akan tampak semakin sepele.

“Berdiri tegak,” perintahnya.

Ancilla tampil dengan gaun malam mewah yang menegaskan postur anggun nan berwibawanya. Cyan berdiri di sampingnya dengan bahu merosot dan wajah muram. Tersentak oleh kata-kata ibunya, ia buru-buru menoleh kaget.

“Tidak ada yang bisa kamu lakukan tentang kekalahan yang sudah terjadi. Baik duel maupun upacara Pewarisan darah , yang sudah berlalu biarlah berlalu. Tapi kamu tetap tidak boleh menunjukkan frustrasi,” nasihat Ancilla dingin.

“...Ibu…,” Cyan merintih pelan.

“Kamu anakku. Satu-satunya putra Ancilla Caines. Walaupun kamu kalah dalam duel dan memperlihatkan penampilan memalukan dalam upacara, itu tidak mengubah kenyataan bahwa kamu tetaplah putraku.”

Cyan tidak sepenuhnya paham maksud kata-kata itu. Tapi ia bisa merasakan ada makna lebih dalam di baliknya, jadi ia mengangguk dan menegakkan bahunya.

“...Cyan,” panggil Ancilla setelah jeda singkat.

“...Ya, Ibu,” jawab Cyan ragu.

“Mulai sekarang, kamu akan terus dibandingkan dengan anak itu. Hal pertama yang orang-orang ingat saat melihatmu adalah kekalahanmu dari Eugene. Mereka juga akan menertawakan fakta bahwa kamu jadi salah satu penyebab kekalahan pertama keluarga utama dalam upacara ini.”

“....” Cyan terdiam.

“Itu tak bisa dihindari. Kamu boleh merasa malu, tapi jangan sampai terpuruk. Sebanyak apa pun orang meremehkanmu, kamu harus ingat, kamu adalah putraku dan calon pewaris kursi Patriark keluarga Lionheart.”

“Ya, Ibu.”

“Kita tak bisa mengubah masa lalu. Jadi ingatlah, Cyan. yang penting adalah apa yang kamu lakukan mulai sekarang,” Ancilla menekankan, pandangannya menusuk ke arah Eugene.

Sejak tadi, ia menggenggam erat tangan Cyan. Dari genggaman itu, Cyan bisa merasakan tangan ibunya sedikit bergetar.

“Aku akan melakukan yang terbaik,” ucap Cyan, mencoba menenangkan ibunya.

“Ya, memang begitu yang kuharapkan dari putraku yang kusayangi,” Ancilla menerima penghiburan itu.

Eugene akan diadopsi masuk keluarga utama. Tanis dan Ancilla sudah diberi tahu sehari sebelumnya. Tentu saja mereka menolak, tapi tak bisa mengubah keputusan suami mereka. “Demi keluarga Lionheart, demi kejayaan garis utama,” kata Gilead, penuh kebanggaan dan semangat yang tak tergoyahkan.

Ancilla sebenarnya lebih mementingkan kejayaan anak-anaknya dibanding nama keluarga. Tapi ia juga cukup serakah, ia ingin mengangkat nama besar Lionheart sekaligus menjamin masa depan anak-anaknya. Demi itu, ia menelan kenyataan baru yang dipaksakan ke keluarga utama.

“Tak mungkin Eugene bisa jadi Patriark,” gumam Ancilla pelan. “Tapi Cyan, jangan lengah hanya karena itu. Masa depan tidak bisa ditebak. Karena kamu punya banyak kekurangan dibanding dia, kamu harus berusaha lebih keras untuk jadi Patriark.”

“Ya, Ibu,” Cyan berusaha menahan bahunya agar tidak kembali merosot. Ia malah menoleh ke arah Eugene sambil mengangguk.

“...Tapi, tidak perlu menjadikannya musuh tanpa alasan,” tambah Ancilla.

“...Karena mulai sekarang dia akan jadi saudara ku?” tanya Cyan ragu.

“Benar.” Ancilla tidak suka mengakuinya, tapi jawabannya berbeda dari isi hatinya. “Kamu harus membangun hubungan persaudaraan dengannya. Buatlah cukup kuat sampai suatu hari dia bisa jadi kekuatanmu. Bagaimanapun juga… kamu punya keuntungan waktu.”

“...Waktu…?” Cyan mengulang bingung.

“Jangan meremehkannya hanya karena dia anak angkat. Perlakukan dia setara. Saat kalian bermain dan berlatih bersama, ciptakan kenangan yang baik. Jangan biarkan dia menyimpan dendam padamu. Dengan begitu… suatu hari nanti, dia akan mau membantumu,” jelas Ancilla panjang.

“...Ya, Ibu,” Cyan mengangguk pelan.

Anak kecil itu menyimpan perasaan campur aduk tentang Eugene. Dari kekalahan duel lahir rasa malu, tidak terima, dan marah. Tapi dari kemampuan luar biasa Eugene saat upacara, muncul juga rasa kagum, iri, bahkan takjub….

...Sekarang aku harus berteman dengannya…. Kalau ini terjadi beberapa hari lalu, Cyan pasti sudah meledak marah. Tapi sekarang, yang muncul justru sedikit rasa malu.

“...I-ibu,” Cyan memberanikan diri bicara.

“Katakan saja,” dorong Ancilla.

Dengan gugup, Cyan bertanya, “Bagaimana… caranya aku bisa berteman dengannya? A-apa Ibu bisa bicara padanya untukku? Bilang saja aku mau berteman….”

Permintaan itu wajar dari anak manja yang tak pernah harus mencari teman sendiri. Tapi tatapan Ancilla penuh kekecewaan.

“Bicaralah dengan Ciel,” desisnya akhirnya.

Kalau saja tak banyak mata yang memperhatikan, Ancilla pasti sudah menegur keras anaknya. Ia hanya menghela napas panjang sambil menggeleng.

Sementara itu, Ciel berdiri di samping Eugene.

Gerhard sedang dikerubungi para orang tua dari keluarga cabang lain, sibuk berbincang. Di antara mereka, orang tua Gargith dan Dezra yang paling bersemangat.

“Kamu benar-benar sudah membesarkan anak yang luar biasa.”

“Kudengar dia akan diadopsi masuk keluarga utama?”

“Latihan apa yang dia lakukan selama ini?”

“Katanya Lord Gerhard juga akan ikut masuk keluarga utama.”

“Anakku bilang kekuatan putramu sangat hebat untuk anak seusianya.”

“Bisa bagi tips bagaimana mendidik anak-anak kami?”

“Bahkan keluarga utama tidak punya ramuan pertumbuhan otot revolusioner milik keluarga kami. Apa Lord Gerhard tertarik mencobanya?”

“Senang sekali kita bisa berkumpul begini. Mulai sekarang, sebaiknya kita sering adakan acara agar keluarga cabang bisa saling mengenal.”

“Ramuan ini paling efektif kalau diminum anak-anak, tapi orang dewasa juga ada efeknya. Tentu harus dikombinasikan dengan olahraga dan suplemen nutrisi. Kurasa Lord Gerhard bisa memanfaatkannya.”

“Oh ya, pas banget. Bulan depan kan kamu mau berburu bareng, Sayang? Gerhard harus ikut juga.”

“Nanti setelah lari-lari di gunung, Lord Gerhard pasti ketagihan dengan ramuan otot kami.”

Gerhard hanya bisa terus mengangguk-angguk, meski kepalanya sudah penuh dengan obrolan yang datang dari segala arah.

Eugene tidak mau jadi pusat perhatian orang dewasa yang terlalu bersemangat itu. Jadi ia segera kabur, dengan Ciel yang mengikuti langkahnya dari belakang.

“Ayah bilang kita akan jadi saudara mulai sekarang.”

“Kamu keberatan?”

“Rasanya agak aneh,” jawab Ciel sambil terkekeh, menarik ujung baju Eugene. “Soalnya aku cuma punya Cyan dan Eward sebagai kakak, eh tiba-tiba muncul adik baru.”

“Apa-apaan sih? Adik baru?” Eugene langsung protes.

“Tapi ulang tahunmu lebih muda daripada aku,” Ciel menunjuk.

“Kenapa itu penting? Beda kita cuma beberapa bulan, bukan beda tahun. Mana bisa aku biarin kamu manggil aku adik kecil?” Eugene membalas sengit.

“Aku lahir lima detik setelah saudara ku, tapi tetap jadi adik perempuannya,” Ciel menukas tenang.

Eugene terdiam, kalah logika.

Setelah ragu sebentar, ia berusaha membela diri, “...Itu beda kasus.”

“Beda gimana? Aku lebih muda beberapa detik dari Cyan, jadi aku adiknya. Kamu lebih muda beberapa bulan dariku, jadi kamu adikku,” Ciel menekan terus.

“Bukan, aku bilang itu beda,” Eugene masih berusaha lolos.

“Kenapa beda?” Ciel tidak berhenti menyerang.

Jadi… kenapa beda? Bahkan Eugene, yang punya ingatan dari kehidupan sebelumnya, tidak bisa menemukan alasan masuk akal.

“...Karena aku bukan saudaramu beneran! Orang tua kita beda, jadi… aku nggak bisa jadi adikmu,” Eugene mencoba terdengar meyakinkan.

“Tapi kamu tetap saudaraku,” Ciel tak mau kalah.

“Secara nama iya, tapi pada dasarnya kita orang asing. Jadi aku sama sekali nggak akan pernah manggil kamu ‘Kakak’.”

“Nggak bisa sekali aja?” pinta Ciel.

“Sekali pun nggak bakal.”

“Hmph.” Ciel manyun, lalu mulai mengguncang baju Eugene ke depan-belakang.

“Panggil aku kakak, sekali aja.”

“Mana mau.”

“Bukannya itu hal gampang?”

“Sudah kubilang nggak mau, ya nggak mau.”

“Kalau kamu terus begini, kakakmu bakal hukum kamu,” ancam Ciel.

“Ngomong apa sih,” Eugene mendengus.

“Kata-katamu jahat banget. Aku bakal ngadu ke Ibu.”

“Silakan. Tapi sebelum itu, kenapa sih kamu terus narik-narik bajuku?” Eugene mengibaskan tangan Ciel dengan jengkel.

Bibir Ciel makin manyun.

“Kenapa kamu jahat banget?” rengeknya.

“Aku nggak jahat. Kamu aja yang nyebelin...”

“...Kamu mau aku nangis?” Ciel memotong cepat.

“Eh-eh, tunggu sebentar,” Eugene langsung panik, matanya mencari pertolongan, tangannya gemetar tak tahu harus apa.

Ciel menatapnya sebal, lalu tiba-tiba menjulurkan lidah dan berkata, “Aku nggak bakal nangis, dasar idiot.”

“Tentu saja nggak bakal…,” Eugene menghela napas lega.

“Aku cuma mau dengar kamu panggil aku kakak sekali aja, susah banget ya?”

“Itu super susah bagiku,” jawab Eugene tegas.

Bagaimana mungkin ia memanggil anak umur tiga belas tahun itu “kakak”?

Lebih baik mati, Eugene benar-benar yakin.

0 komentar:

Posting Komentar

My Instagram