“Aku tidak akan langsung menerima mu sebagai muridku,” ucap Lovellian tegas.
Eward berusaha menahan rasa gugup di perutnya saat menoleh ke arah Lovellian. Matanya berkilat penuh harapan, membayangkan masa depannya di Aroth. Tapi Lovellian tidak berada pada posisi untuk serta-merta memenuhi keinginannya.
“Magic Red tower, yang kupimpin, berfokus pada magic pemanggilan di antara banyak jenis magic lainnya. Jadi, pertama-tama kamu harus pergi ke Aroth dan menjalani tes bakat secara sistematis, untuk melihat apa kau cocok dengan spesialisasi kami.”
“Tapi… kalau aku memang punya bakat dalam magic pemanggilan, bagaimana?” tanya Eward penuh harap.
“Kalau memang begitu, itu penemuan yang menyenangkan. Tapi bakat saja tidak cukup untuk membuatmu jadi muridku.”
Dengan itu, Lovellian dengan jelas menarik garis batas. Ekspresi Eward sempat kecewa, tapi ia cepat-cepat menggantinya, sadar betul pada keberadaan Gilead dan Tanis yang duduk di sebelah Lovellian.
Eward akan segera meninggalkan rumah yang mencekiknya ini. Itu saja sudah cukup membuatnya ingin merayakan. Walaupun tidak bisa langsung jadi murid Lovellian, kenyataan bahwa ia bisa meninggalkan keluarganya dan pergi ke negeri lain membuat ujung jarinya bergetar karena antusiasme.
“Itu karena banyak mage yang ingin menjadi muridku,” lanjut Lovellian. “Di Aroth, identitasmu sebagai pewaris Lionheart tidak akan memberimu keringanan apa pun. Kecuali kamu punya cukup bakat untuk membungkam protes semua mage lain, aku tidak bisa menerimamu.”
“...Aku mengerti,” jawab Eward dengan suara yang jauh lebih pelan.
Setelah memberi peringatan, Lovellian menambahkan dengan lebih lembut, “...Memang, Aroth tidak akan memberi perlakuan khusus hanya karena kamu membawa nama Lionheart. Tapi ingat, aku teman lama Gilead sebelum aku jadi Kepala Red magic tower…. Dengan sumber dayaku, aku bisa memberimu banyak kesempatan, dan aku juga bisa melindungimu dari tuduhan diskriminasi. Semua ini demi menciptakan lingkungan terbaik untukmu berlatih sesuai bakatmu.”
Janji-janji itu membuat jantung Eward berdetak makin kencang. Tapi meski hatinya ingin melompat kegirangan, dia menahan diri. Dia malah menoleh pada Tanis dan Gilead dengan pandangan penuh keraguan.
“...Ini keputusanmu sendiri,” Gilead yang pertama bicara. “Tidak perlu khawatir soal aku. Kalau kamu mau pergi, pergilah.”
“...Ayah…,” gumam Eward.
“Eward,” Tanis yang sejak tadi diam tiba-tiba memanggil, menatap lurus pada putranya, “Ini kesempatan yang ayahmu perjuangkan keras untukmu. Terimalah dengan rasa syukur.”
“...” Eward terdiam, tunduk.
Melihat anaknya ragu-ragu, Gilead ikut bicara, “Apa lagi yang kamu ragukan? Sejak kecil, kamu selalu lebih tertarik pada magic dibanding pedang atau tombak.”
Eward masih kelihatan ragu, tak mampu menjawab.
“Untukmu, aku sudah mendatangkan beberapa mage terbaik dari ibu kota untuk mengajarimu, tapi sayangnya, tidak ada satu pun yang cocok jadi gurumu,” Gilead menghela napas kecewa.
Ironis memang. Mage-mage itu adalah orang-orang ternama yang bisa saja mendapat posisi tinggi di menara Aroth kalau mereka mau bertahan di sana.
Alasan mereka tidak jadi gurunya sederhana: Eward sendiri tidak pernah sepenuhnya mencurahkan diri pada magic. Rumah yang menyesakkan ini telah menekan semangat dan kehendaknya.
“Eward,” suara Tanis tajam.
Eward langsung menunduk, takut menatap mata ibunya. Dia jauh lebih takut pada Tanis, yang selalu mengawasinya ketat, daripada Gilead yang jadi Patriark keluarga.
Tanis mulai melontarkan kalimat yang sering ia ulang, “Jangan pernah lupa. Kamu adalah pewaris pertama keluarga Lionheart. Sebagai anakku, takdirmu adalah menjadi Patriark keluarga utama.”
Eward benci mendengar kata-kata itu. Setiap kali ia dipaksa mendengarnya, bahunya terasa makin berat, hatinya dipenuhi rasa takut. Ia hanya bisa menunduk, tak sanggup membantah.
“Kamu tidak boleh melupakan ini, bahkan di Aroth,” Tanis menutup dengan tegas.
“...Tanis,” Gilead menegur istrinya pelan.
“Aku hanya mencoba menyemangati anakku sebagai seorang ibu,” Tanis membela diri, menatap suaminya dingin.
Dia memang tidak pernah sepenuhnya setuju dengan rencana ini. Dia benci membayangkan Eugene masuk ke keluarga utama, adopsi? Betapa konyolnya! Bukankah cukup Gilead sudah menikah lagi dan punya anak kembar?
Dia juga tidak ingin Eward pergi ke Aroth. Kalau putra sulungnya dikirim ke sana, Ancilla yang menyebalkan itu pasti melonjak kegirangan.
Tapi Tanis tidak punya pilihan. Eward, meski lahir sebagai pewaris utama, tidak punya kualitas yang pantas untuk posisi itu. Bahkan sifatnya lemah dan polos. Seberapa pun ia ingin mempertahankan Eward di sisinya, itu hanya akan membuat putranya tidak berkembang.
“...Eward,” kali ini suara Tanis lebih lembut, sambil menggenggam tangan putranya.
Ia hanya menatap wajah anaknya, menunggu balasan. Pelan-pelan, Eward memaksa dirinya menatap balik mata ibunya.
Malam itu, Tanis lama berbicara dengan Eward di kamarnya.
Besok, Eward akan berangkat ke Aroth bersama Lovellian. Tanis berharap putranya bisa jadi murid Lovellian. Tapi kalaupun gagal, setidaknya ia ingin Eward membangun hubungan dengan para mage di sana, hubungan yang bisa menguntungkannya nanti dalam perebutan posisi Patriark. Kesempatan ini tidak akan pernah ada kalau dia tetap di rumah utama.
“Kamu adalah pewaris keluarga Lionheart,” Tanis mengulang kalimat itu berkali-kali sepanjang malam.
“Y-ya, ibu,” Eward hanya bisa menunduk, menjawab sama setiap kali.
***
Penerjemah: Idran
***
Keesokan harinya setelah pesta, banyak orang meninggalkan rumah utama. Lovellian berangkat ke Aroth bersama Eward, Gargith dan Dezra pulang bersama orang tua mereka.
Bahkan anak-anak yang gagal namanya pun tak penting diingat sudah pergi. Seharusnya annex kini sepi, tapi para pelayan di sana justru sibuk sejak pagi.
Sebab mulai sekarang, annex akan sepenuhnya ditempati Eugene dan Gerhard. Gilead sempat menawarkan agar mereka tinggal di mansion keluarga utama, tapi Eugene menolak. Demi ayahnya. Kalau mereka tinggal di mansion tanpa alasan kuat, Gerhard pasti akan merasa sungkan tiap kali berhadapan dengan keluarga utama. Jadi lebih baik tinggal terpisah, agar semua lebih tenang.
“Semoga kita bisa akur mulai sekarang,” kata Eugene sambil tersenyum.
Nina mengangguk cepat. Tugasnya sebagai pelayan Eugene belum selesai, bahkan setelah upacara Pewarisan darah berakhir. Atas permintaan Eugene sendiri, ia tetap jadi pelayan pribadinya.
Nina tahu, ini tanda bahwa Eugene menghargainya.
“Ada yang mau kau titip dari Gidol?” tanya Gerhard sambil bersiap pergi.
“Aku nggak butuh apa-apa, Ayah. Lebih baik Ayah fokus beres-beres barang Ayah sendiri,” jawab Eugene.
Walau masih pusing karena mabuk semalam, Gerhard tak bisa istirahat. Dia harus segera ke Gidol bersama beberapa pengawas tanah keluarga utama. Karena mulai sekarang dia akan tinggal di annex bersama Eugene, mansion mereka di Gidol harus ditutup.
Para ksatria yang lama mengabdi pada Gerhard, juga para pelayan dan pekerja, semuanya menunggu di Gidol. Tak semua bisa dibawa ke rumah utama, hanya sebagian. Sisanya akan tetap tinggal di sana untuk menjaga mansion lama. Selama dibayar layak, mereka rela bertahan.
“Barang-barang di annex ini jauh lebih bagus daripada di mansion kita. Jadi jangan bawa yang nggak perlu,” Eugene menasihati.
“Ayah masih nggak terbiasa…. Benarkah kita… tinggal di sini mulai sekarang?” Gerhard tertawa kecil, tak percaya.
Ia menatap annex, masih terasa seperti mimpi, meski sudah berulang kali mencoba menerima kenyataan ini.
‘...Tapi ini benar-benar nyata,’ ia mengingatkan diri.
Dadanya membuncah bangga melihat senyum putranya. Setelah memeluk Eugene sekali lagi, ia naik ke kereta.
“Hati-hati di jalan, Ayah. Jangan lupa pamerkan keberuntungan kita,” Eugene melepasnya sambil tersenyum.
Begitulah pagi pertama dalam hidup barunya sebagai anak angkat keluarga utama. Biasanya ia sudah mulai berlatih, tapi hari ini Eugene sengaja menunggu tanpa tujuan di ruang latihan.
Hari ini penting. Bukan cuma hari pertamanya sebagai anggota keluarga utama, tapi juga hari ia akan memulai inisiasi mana untuk pertama kali sejak reinkarnasi.
Semua kitab latihan mana selalu dimulai dengan mengajarkan cara merasakan mana. Meski mana ada di mana-mana, ia tak bisa dilihat mata telanjang. Baru setelah melatih diri sesuai kitab latihan, seseorang bisa mulai merasakannya.
‘Penyempurnaan’ itu terbagi dua: teknik pernapasan dan teknik fisik.
Teknik pernapasan menyerap mana di udara lewat pernapasan; teknik fisik menyerap mana lewat gerakan tubuh. Keduanya sama-sama sulit, tapi menurut Eugene, teknik pernapasan lebih unggul. Kalau sudah benar-benar dikuasai, setiap gerakan bisa menyerap mana. Sementara teknik fisik jarang bisa mencapai tahap itu.
Di kehidupan sebelumnya, Hamel berlatih dengan teknik fisik. Tapi kemudian, atas saran Sienna dan Vermouth, ia beralih ke teknik pernapasan.
‘Kitab latihan mana Lionheart adalah teknik pernapasan,’ Eugene mengingat.
Tentu saja, itu bukan berarti hanya dengan bernapas normal sudah cukup. Teknik pernapasan punya pola khusus, mirip dengan casting magic.
“Kau datang lebih awal,” sebuah suara memanggil Eugene.
Itu Gion Lionheart. Ia menghampiri samb
il menuntun dua ekor kuda. Eugene menunduk sopan tanpa terkejut.
0 komentar:
Posting Komentar