Setelah selesai ngobrol dengan Gilead, Eugene keluar dari ruangan. Pas jalan di lorong, dia dengar suara ketukan dari balik pintu yang terkunci rapat.
“Ada apa?” tanya Eugene santai, berhenti di tempat.
Dia tahu itu kamar siapa. Salah satu kamar yang dipakai Ciel. Sejak beberapa bulan terakhir, waktu masa pubertasnya lagi kacau, Ciel berhenti latihan di tempat pelatihan dan malah pakai beberapa ruangan mansion buat latihannya sendiri.
“Kamu beneran mau ke Aroth?”
Suara Ciel keluar dari celah pintu yang sedikit terbuka.
“Cyan yang bilang, ya?” Eugene balik tanya.
“Mhm. Dia juga bilang kamu udah nyampe Star ketiga White Flame Formula.”
“Jadi kamu udah tahu semua, dong.”
“Aku nanya, kamu beneran mau ke Aroth?”
“Ya, aku bahkan udah dapat izin Patriarch.”
“Kenapa sih harus ke sana?” Ciel mengetuk pintu sekali lagi sambil ngomong.
Tok tok.
Eugene senyum tipis, lalu balas ketukan itu dengan jarinya.
“Soalnya aku mau belajar magic.”
“Kalau cuma itu, kamu nggak perlu jauh-jauh ke Aroth. Tinggal undang mage dari ibukota jadi gurumu.”
“Kamu juga tahu kan, mereka nggak bakal sebanding sama mage di Aroth.”
“Kalau kamu minta, Ayah bisa panggil mage dari istana kerajaan.”
“Tapi aku nggak yakin mage istana lebih bagus ngajarnya daripada mage dari Aroth tower.”
“Mage istana itu jelas-jelas hebat.”
“Yang aku butuhin bukan sekadar mage hebat, tapi yang jago ngajarin,” Eugene menjelaskan sabar.
“Kamu emang harus banget belajar magic?” nada suara Ciel jadi manja.
Dia buka pintu sedikit, keluarin kepalanya. Di umur tujuh belas, wajah nakalnya udah agak berkurang, tapi Eugene tahu betul sifat aslinya yang licik masih sama aja.
Ciel ngotot lagi, “Kamu kan sebenarnya nggak butuh belajar magic, kan?”
“Tapi juga nggak ada salahnya belajar magic, kan?” Eugene balas enteng.
“Kalau magic, bukannya spirit magic-mu udah cukup? Lagian, kalau kamu nggak ada, aku sama brother bisa nyusul levelmu.”
Provokasinya terang-terangan, tapi Eugene cuma nyengir geli.
“Kalau itu beneran kejadian, malah bagus buatku,” Eugene nyengir.
“...Bagus apanya?”
“Ya berarti keluarga utama makin kuat, dan sparring sama kalian jadi lebih seru. Ah, udah lama juga ya aku nggak sparing sama kamu.”
“Kalau aku mulai sparing lagi sama kamu, apa kamu bakal batal pergi ke Aroth?”
“Nggak. Aku tetap pergi.”
“Dasar brengsek,” Ciel manyun, narik kepalanya masuk lagi.
Barusan dia lagi latihan, jadi rambutnya kusut, tubuhnya basah keringat. Dia nggak mau ada yang lihat dia kayak gitu, apalagi sampai kecium bau badannya.
Setelah hening sebentar, Ciel tanya lagi, “...Kamu bakal pergi berapa lama?”
“Baru bisa tahu setelah sampai sana,” jawab Eugene santai.
“Kamu pasti ada perkiraan dong.”
“Minimal setahun.”
“Kenapa harus selama itu? Ribet pindah-pindah, terus gimana sama Paman Gerhard?”
Entah karena kembar sama Cyan, ucapannya mirip banget.
“Ayah bakal baik-baik aja tanpa aku,” Eugene menegaskan.
“...Paman Gion bakal kesepian,” ucap Ciel ragu-ragu.
“Itu mungkin bener.”
Eugene sendiri lumayan suka sparing sama Gion.
“Kalau aku nggak ada, kalian berdua gantian nemenin dia,” Eugene menggoda.
“Terus gimana dengan brother?” tiba-tiba Ciel nyebut Cyan.
“Kenapa nyeret-nyeret Cyan?”
“Maksudku, brother juga suka sparing sama kamu.”
“Kalau dia beneran suka kalah terus sama aku, berarti kepalanya agak aneh.”
“Pokoknya dia bakal kesepian kalau kamu pergi. Barusan dia bahkan ngaku diam-diam kalau nggak mau kamu pergi.”
“Tapi aku tetap pergi.”
“Aku juga nggak suka kalau kamu pergi.”
“Kayak yang aku bilang, aku tetap pergi.”
“Dasar bajingan.”
Wajah Ciel berkerut kesal di balik pintu. Dari semua keluarga utama, cuma Eugene yang bisa santai aja walau dihina kayak gitu. Ciel sempat nyelatin kepala, melotot ke Eugene, lalu ngegebrak pintu keras-keras.
“...Kapan kamu berangkat?” suara Ciel terdengar dari balik pintu.
“Besok.”
“Kenapa buru-buru banget?”
“Emang ada alasan buat nunda? Toh udah dapat izin Patriak, mending langsung berangkat.”
“Kurang ajar, nggak ada acara perpisahan dulu gitu?”
“Kenapa mesti ada acara perpisahan buat orang kurang ajar?”
Eugene ngetuk pintu sekali lagi sebagai tanda pamit, lalu lanjut jalan di koridor. Baru setelah Eugene agak jauh, pintu terbuka lagi.
“Kamu beneran berangkat besok?”
Suara itu terdengar dari belakang. Eugene cuma melambaikan tangan tanpa nengok.
Begitu sudah dapat izin Gilead, Eugene sama sekali nggak ragu ambil langkah berikutnya. Balik ke paviliun, dia ketuk pintu kamar Gerhard.
“Pergilah, tapi pulanglah dengan selamat.”
Meski mendadak dikasih tahu anaknya bakal berangkat besok, Gerhard nggak mikir lama buat kasih restu. Dia memang khawatir, tapi juga nggak mau nahan kebebasan anaknya yang udah tumbuh sehebat itu.
Gerhard menasihati, “Di sana jangan main sama anak nakal, jangan males belajar.”
Eugene balas, “Kalau aku nggak ada, Ayah juga jangan macam-macam, dan jangan malas olahraga.”
Gerhard ngakak. Dalam empat tahun di estate utama, dia banyak berubah, berat badan turun banyak, otot juga nambah. Semua berkat sering ikut berburu sama para kepala cabang dan jalan-jalan di hutan luas keluarga utama.
“Terus, kalau ada yang coba bikin masalah gara-gara aku nggak ada, langsung tulis surat ke aku. Jangan diem aja nahan sendiri,” Eugene mengingatkan.
Gerhard menenangkan, “Aku yakin Patriarch juga bakal peduli kalau aku ngomong.”
“Tetap aja, rasanya lebih enak kalau anakmu sendiri yang jagain, bukannya Patriarch sangat sibuk.”
Gerhard cuma senyum, lalu menepuk bahu anaknya. Eugene adalah kebanggaan sekaligus harta terbesarnya. Kalau bukan karena anak ini… Gerhard teringat lagi masa-masa mereka di Gidol beberapa tahun lalu.
“Ayah nggak mau jadi beban buatmu,” kata Gerhard.
“Beban apaan? Jangan ngomong gitu lagi. Aku nggak pernah mikir Ayah itu beban,” Eugene menukas, sambil nyeletuk mencolek pinggang ayahnya. “Pokoknya aku berangkat besok. Aku bakal jaga kesehatan, jadi Ayah juga harus jaga diri. Ngerti?”
“Iya, iya. Ayah ngerti.”
Sekarang Eugene bahkan sudah lebih tinggi dari Gerhard. Si ayah menatap anaknya yang sudah dewasa dengan senyum bangga.
Malam itu, Eugene, Gerhard, dan semua keluarga utama kumpul di meja makan besar. Bahkan Ciel, yang jarang nongol belakangan ini, hadir dengan gaun rapi.
Walau bukan pesta perpisahan meriah, setidaknya mereka duduk bareng, ngasih doa dan restu buat Eugene yang akan pergi beberapa tahun.
Ucapan selamat melayang di atas meja penuh hidangan mewah.
“Jadi kamu beneran mau belajar magic di Aroth…. Dengan bakatmu di martial arts, aku yakin kamu juga bakal hebat di magic,” Ancilla memuji.
Berita Eugene nyampe Star ketiga memang bikin Ancilla gigit bibir kesal, tapi kenyataan kalau monster itu bakal pergi dari estate utama untuk sementara bikin hatinya lumayan lega.
“Aku iri banget sama Tuan Gerhard, punya anak sehebat ini,” Ancilla menyanjung.
“Haha, terlalu berlebihan,” Gerhard menerima pujian sambil tertawa.
Selama empat tahun ini, sikap Ancilla nggak banyak berubah. Dia nggak ada niat bikin hubungan buruk dengan Gerhard atau Eugene. Malah berusaha ramah, ngajak akrab.
Tapi Tanis, istri pertama, jelas beda.
Lingkaran hitam di bawah matanya dan pipi tirusnya bikin kesan suram. Selama beberapa tahun terakhir, dia jarang keluar mansion, gampang meledak bahkan atas kesalahan kecil para pelayan.
Tanis merasa nggak punya pilihan lain. Tiap hari dia makin terpojok. Harapannya supaya Eward jadi murid Lovellian gagal total. Jangankan koneksi tinggi, anaknya malah jadi bahan ejekan. Ditambah lagi, Gilford dan istrinya, sekutu terakhirnya. sudah lama pindah, jadi Tanis sendirian.
‘Salahnya sendiri sih, galak terus,’ Eugene berpaling, pura-pura sibuk motong daging.
Gilead sebenarnya nggak pernah diskriminasi Tanis. Bahkan Eward pun nggak dipaksa pulang meski rumor buruk beredar. Gilead tetap kasih dukungan buat nutupin kekurangan anaknya.
Itu Tanis sendiri yang memilih ngurung diri dan mencakar sekitarnya.
Menjelang akhir makan, Tanis tiba-tiba buka suara, “Eugene.”
Biasanya Ancilla yang ramah sama Eugene, sementara Tanis jarang sekali manggil namanya. Bahkan setahun terakhir ini, baru kali ini.
Tanis berkata, “Kalau kamu sampai di Aroth, tolong jaga kakakmu, Eward.”
“...” Eugene bengong sejenak, nggak tahu harus jawab apa.
Tanis lanjut, “Dia pasti kesepian sendirian di sana selama beberapa tahun ini. …Mungkin memang kalian jarang bersama sebagai kakak-adik, tapi Eward tetap kakakmu.”
“...Baik, Nyonya,” akhirnya Eugene jawab singkat.
“Kamu memang anak angkat, tapi Eward tetap kakakmu. Jadi perlakukan dia selayaknya adik kepada kakak,” ucap Tanis, sambil melirik Cyan dan Ciel dengan tatapan menusuk. “...Tolong jaga kakakmu. Minimal itu bisa kamu lakukan, kan?”
“...Aku bakal berusaha,” Eugene menghindari janji pasti.
“Oh aduh, kakak ipar terlalu memaksa. Aku yakin Eugene bakal lakukan yang dia bisa,” Ancilla menyelamatkan suasana dengan senyum diplomatis.
Tanis mendelik ke Ancilla, lalu berdiri dari kursinya.
“Permisi. Aku capek. Aku mau istirahat.”
“...Silakan,” Gilead mengangguk, wajahnya terlihat bingung.
Beberapa tahun belakangan, Eugene makin dekat dengan Gilead. Dari situ, dia bisa lihat jelas posisi yang ditempati Gilead.
‘Emang bener, jadi Patriarch itu tempat paling sial sedunia.’
Eugene nggak pernah kepikiran jadi Patriarch.
0 komentar:
Posting Komentar