Chapter 20

Ada delapan orang laki-laki dan perempuan.

Meski mereka berasal dari negara dan usia yang berbeda, mereka semua punya satu kesamaan: sama-sama membenci monster, dan bermimpi menjadi hunter.

Sejak kecil, bukan boneka atau mobil-mobilan yang mereka pegang, tapi pisau.

Sejak mereka bisa memegang pulpen, yang ada di tangan mereka justru pistol.

Dan mereka tidak pernah menyesal memilih jalan itu.

Lima belas tahun kemudian, tujuh orang itu tercerai-berai setelah kematian satu gadis dalam kelompok mereka.

‘Aku mau jadi penyanyi.’

‘Aku mau kerja di dunia bisnis.’

‘Aku mau kerja di laut.’

‘Aku…’

Masing-masing punya mimpi besar, ambisi besar dan mereka semua berhasil di bidangnya masing-masing.

Kecuali aku.

Saat mereka berada di puncak dunia mereka, aku tetap seorang hunter F-Rank.

Karena itu aku selalu enggan menghubungi mereka, dan kami akhirnya menjauh dengan sendirinya.

Kecuali satu orang, Taylor Nine yang seperti aku, tetap hidup sebagai hunter.

“…Lama nggak ketemu ya?”

Dia adalah wajah yang paling familiar buatku, karena dia memang sering main ke Korea.

Mendengar sapaan tidak bersyukur dariku, dia menjatuhkan bir yang masih menetes dan langsung berdiri dari sofa.

Mata emasnya menatapku penuh curiga.

“K-kamu… apa-apaan ini? Teleport? Bukan, bukan teleport… Sialan, jangan bilang kamu ‘Dimensional Returnee’?”

Dimensional Returnee.

Seseorang yang kembali ke Bumi setelah jatuh ke dunia lain.

Mereka dikenal bisa memakai kekuatan baru yang sama sekali beda dari kekuatan yang ada di Bumi, orang-orang menyebutnya unorthodox.

Katanya, Dimensional Returnee bisa mengayunkan pedang biasa atau memukul dengan tangan kosong dan menghasilkan kekuatan yang gila tanpa butuh aether.

Entah kenapa, kebanyakan dari mereka memilih hidup bersembunyi.

“Dimensional Returnee… yah, semacam itu. Atau mungkin ‘Dimensional Traveler’ lebih tepatnya.”

Karena aku bukan cuma ‘kembali’, aku pergi dan kembali berkali-kali.

“G-gila. Apa yang sebenarnya kamu alami waktu aku nggak ada?”

Aku berniat menjelaskan semuanya.

< Tolong jangan ceritakan apa pun tentang kontrak berburu protagonis. >

< Itu cuma permintaan sederhana. Kamu boleh cerita kalau mau. >

Client hanya meminta… tidak memaksa.

Dan aku memutuskan untuk tidak menceritakannya.

Lagipula aneh juga kalau aku harus bilang, “Aku punya kontrak membunuh protagonis.”

“Aku nggak bisa ceritain lebih dari itu.”

Mendengar jawabanku, dia hanya menatap lama, seolah bingung harus bereaksi bagaimana.

Melihat orang biasa sepertiku tiba-tiba muncul dari udara kosong… wajar kalau orang lain bakal panik.

Tapi dunia ini memang penuh hal yang tidak masuk akal, dan tiap kali orang mulai kepo tentang diriku, Taylor selalu jadi orang yang menahannya.

Katanya itu demi kebaikan orang lain.

Dan karena melihat aku tidak nyaman untuk cerita, dia pun tidak menekan lebih jauh.

Mungkin itu salah satu hal yang selalu aku sukai dari dia.

“Anak sialan, kamu tumbuh selama aku pergi. Tinggi kamu nambah?”

“Aku memang dari dulu lebih tinggi dari kamu.”

“Hm…”

Dia menatapku sebentar, lalu tersenyum kecil.

“Yah, terus kenapa? Entah kamu Dimensional Returnee atau Dimensional Traveler…”

‘Yang penting kamu masih hidup.’

Huh? Sepertinya aku cuma berhalusinasi mendengar itu.

“Pokoknya, dasar bocah… kamu tau berapa lama aku nunggu kamu?”

“Berapa lama?”

“Hampir tiga minggu aku nge-kost di sini. Aku kira kamu nggak bakal balik, bangsat.”

“Hah?”

Terus selama tiga minggu di apartemenku, dia ngapain?

Pantas saja apartemenku bau… bau kayak laki-laki jomblo.

Dan dari penampakannya, sampah berserakan di mana-mana.

Dia sama sekali nggak beres-beres.

“Aku sampai gemeter lihat kandang babi begini.”

“Ahaha, iya. Kamu harusnya beresin kayak biasanya.”

“Bangsat, ini semua gara-gara kamu!”

Aku menunjuk kaleng bir yang menggelinding dekat kakiku.

“Lagipula, kamu ngapain di rumahku? Masih kaya orang aneh aja, pakai pita di celana dalam.”

“Ini…”

Dia nyaris nggak pakai apa-apa.

Cuma kaus tanpa lengan warna putih dan celana dalam hitam.

Dia melihat ke bawah, ke celana dalamnya yang ada pita merah lalu memandangku lagi dengan wajah serius.

“Pita itu poin penting. Cantik banget.”

“…Kamu nggak pakai celana panjang?”

“Terus kenapa? Itu kan di dalam. Tapi kamu tetap bisa lihat pita merahnya, kan?”

Apa?

“Aku memang pakai ini buat kamu lihat. Kalau bukan buat diliatin, buat apa ada pita?”

“Huh.”

Omong kosong. Tapi entah kenapa terdengar masuk akal… jadi aku tidak bisa membantah.

“Ya sudah. Jelasin kenapa kamu ada di sini.”

“Kenapa lagi. Aku kangen kamu.”

“Cuma itu?”

“Uhh… sekitar tiga persen?”

“Oh please.”

“Dan juga. Huhu, Nuna mu ini datang jauh-jauh buat lihat kamu. Harusnya kamu bersyukur.”

Melihat makanan sisa di lantai, aku sama sekali nggak merasa perlu bersyukur.

Aku melepas seragam tempurku, menggantungnya, lalu ganti baju tanpa rasa sungkan.

Kami sudah lama bertarung bareng, tahu hampir semua hal satu sama lain.

Dia melirik tubuhku saat aku ganti baju, memiringkan kepala, lalu berkata:

“Oho. Ada yang aneh dari kamu.”

“Apa lagi?”

“Ototmu.”

“Apa?”

Baru kupikirkan sekarang.

Sejak jadi ‘pemburu protagonis’, aku cuma ke rumah sakit satu kali.

Saat itu pun aku belum ngerti cara kerja skill-ku dengan benar.

Bagaimana kalau kekuatan yang kuserap dari para protagonis memberi efek samping ke tubuhku?

Aku bahkan tidak pernah memikirkannya…

“Ototmu kayak karya seni.”

“…Hah?”

“Beneran. Lihat. Kamu paham nggak seberapa berubahnya kamu? Gila. Tonenya gila banget. Walaupun, ya… wajahmu tetap kusut.”

Dia mendengus sambil mengejek, dan aku tak bisa membalas.

Taylor selalu punya wajah cantik, kalau aku adu soal penampilan, aku bakal kalah telak.

Sementara itu dia makin mendekat, meneliti otot dadaku dengan ekspresi super serius.

Aku menatap diriku sendiri di cermin besar… dan jujur, aku hampir nggak merasa ada perbedaan sama sekali.

Gimana caranya dia bisa melihat perubahan sekecil itu?

“Boleh nggak… nyentuh dikit? Demi kenangan lama?”

“Nggak.”

Aku mendorongnya pelan, lalu berkata,

“Kalau kamu datang ke sini, berarti ada kasus penting, kan?”

“Betul.”

Untuk Taylor Nine, seorang S-Rank datang ke Korea, pasti ada urusan besar.

“Kasusnya belum selesai setelah tiga minggu tanpa aku?”

“Seperti dugaanku, kamu pasti habis pergi ke tempat aneh, ya? Kamu nggak nonton berita?”

“Aku nggak tahu apa pun, jadi jelasin.”

“Ada dungeon ‘cacat’ muncul di lepas pantai Incheon.”

Aku langsung mengernyit.

Dungeon cacat, dungeon yang tidak bisa dinilai rank-nya.

Dungeon biasa memang sudah melenceng dari nalar manusia, tapi dungeon cacat jauh lebih tidak masuk akal, menyimpang dari semua teori yang pernah dipelajari manusia.

Sejak monster muncul 30 tahun lalu, dungeon cacat selalu menyebabkan kekacauan besar.

Dan sekarang… muncul di Korea?

“Perkembangan sejauh ini gimana?”

“Bukan cuma Asosiasi Hunter Korea, guild dari luar negeri juga datang bantu. Tapi sial… nggak ada satu pun yang bisa masuk.”

“Apa? Apa Itu masuk akal?”

“Aku juga nggak paham. Sumpah.”

Dia menggeleng, wajah suram.

“Kamu memang nggak punya kekuatan super, tapi kamu lumayan pintar, kan? Makanya aku datang nanya, mau kerja sama aku nggak.”

Di dunia ini, hunter otomatis dianggap superhuman, apa pun rank-nya.

Meskipun kadang itu terasa nggak adil.

Contohnya: kalau harus pilih tiga hunter, kamu bakal pilih siapa?

Hunter F-Rank atau Rank tinggi?

Logikanya, meskipun F-Rank itu pintar dan otaknya encer, lebih berguna mengambil orang yang bisa nembak laser dari tangan dalam situasi darurat.

Tapi kalau seseorang sudah berada di puncak superhuman…

Seperti Taylor Nine, hunter S-Rank, dia bisa menutupi peran lain sendirian.

Karena itulah dia sering datang mencariku dari waktu ke waktu.

“Tapi sebelum itu, masalahnya… kita bahkan nggak bisa masuk. Para bajingan sinting itu sepertinya berniat memaksa ‘time over’.”

Kalau sebuah dungeon nggak berhasil dibersihkan sampai batas waktu, dunia di dalam dan luar akan tersinkronisasi.

Tapi bagaimana kalau keadaan di dalam dungeon jauh lebih buruk daripada bumi?

Artinya, lingkungan bumi bakal rusak parah.

Untuk dungeon jenis gua biasa mungkin masih aman.

Tapi pada kebanyakan dungeon berperingkat tinggi atau dungeon cacat, ekosistemnya langsung hancur setelah sinkronisasi.

Dengan kata lain, bisa jadi kita harus merelakan sebagian laut Incheon setelah ‘time over’.

“Pemerintah Korea pasti nggak bakal ngizinin itu terjadi.”

“Tentu saja. Tapi mau gimana? Nggak ada satu pun yang bisa masuk.”

“Bukannya organisasi Cooperative of International Anomaly sudah turun tangan? Mereka kan pakarnya.”

“Mereka ada di sini. Tapi mereka juga udah mulai putus asa. Sebenarnya… hal kayak gini tuh lumayan umum.”

Memang benar. Dungeon cacat sering kali tidak mungkin ditembus, dan sekalipun berhasil masuk, jebakan di dalamnya terlalu absurd sampai-sampai hampir mustahil dibersihkan.

Aku pun pernah melihat beberapa dungeon cacat sebelumnya, tapi tak satu pun yang berhasil kutembus.

“…Jujur aja, aku juga nggak yakin apa yang bakal berubah kalau aku datang.”

“Aku tau. Masuk ke dungeon cacat itu nyaris mustahil. Jadi kebanyakan yang ngumpul di sini cuma ayam-ayaman yang penakut. Aku tau kamu juga nggak bakal masuk, jadi anggap aja kamu datang buat ngisi formasi. Lagi pula, aku udah muak liat para pengecut yang cuma numpang pamer. Tiap kali liat mereka, sumpah, rasanya pengin kubekap satu-satu.”

“Kamu masih temperamental banget.”

Aku mempertimbangkan apakah aku harus ikut atau tidak.

Dungeon cacat.

Biasanya aku nggak pernah masuk sebelum punya perlengkapan tingkat 1.

Bahkan dungeon A-Rank saja terlalu berat kalau hanya bermodalkan perlengkapan tingkat 2.

Ditambah kemampuan fisikku masih E-Rank.

Mungkin nggak masalah kalau aku cuma jadi komandan di bagian belakang.

Tapi… aku habis pakai banyak banget peluru dari mega shooter waktu terakhir, jadi dompetku benar-benar menderita sekarang.

“Kalau kamu datang dan nunjukin muka, kamu tetap digaji. Dan kalau nanti dungeon kebuka, kamu bisa pulang naik bus. Sekali jalan, dapet dua manfaat.”

Hmm. Memang nggak ada ruginya.

***

Keesokan harinya.

Seodam dan Taylor Nine berangkat menuju Pantai Eurwangni di Incheon.

Tempat ini terkenal ramai di semua musim.

Tiga puluh tahun lalu, ketika dungeon cacat muncul dan time over, sinkronisasi lingkungan melahirkan fenomena misterius: “karang perak.”

Sinkronisasi dungeon dengan dunia nyata tidak selalu membawa hasil buruk.

Eurwangni adalah salah satu contoh keberuntungan, alam jadi lebih bersih dan hutan-hutan alami tumbuh subur.

Sekarang, Eurwangni yang dulu tempat wisata itu benar-benar kosong dari warga sipil.

Puluhan drone pengintai beterbangan di udara, tentara mondar-mandir, dan helikopter militer terlihat sesekali melintas.

Banyak tenda sementara dan bangunan akomodasi darurat berdiri di mana-mana, bahkan Seodam merasa fasilitasnya agak terlalu bagus untuk situasi darurat begini.

Merasakan angin laut yang dingin menusuk, Seodam menarik rapat kerah mantelnya.

Masalahnya, mantel aether tingkat 3 yang ia pakai sama sekali nggak punya fungsi pemanas.

Sementara Taylor Nine, perbandingannya jauh berbeda.

Dia berpakaian super ringan.

Hot pants hitam yang nyaris mencapai pangkal paha, jaket baseball biru berbulu, dan topi baseball biru.

Di punggungnya tergantung sebuah tongkat baseball perak.

Seodam tahu benar bahwa meskipun terlihat seperti mau main baseball di lapangan kampung, pakaian dan tongkat itu sebenarnya adalah perlengkapan tingkat 1, bahkan mungkin named grade.

Meski kebanyakan baju aether punya tampilan standar, perlengkapan named sering terlihat seperti barang biasa.

Dan mungkin pakaian Taylor punya sistem pengatur suhu yang berkali-kali lebih canggih daripada punya Seodam.

Tidak seperti dirinya, S-Rank superhuman seperti Taylor bisa mengatur suhu tubuh tanpa alat.

“Hut!”

Para tentara memberi hormat saat melihat kartu identitas hunter F-Rank miliknya dan S-Rank milik Taylor Nine.

Namun fokus mereka bukan pada Seodam, jelas karena Taylor.

Bahkan tanpa kekuatan super pun, pesona Taylor jelas bakal menarik perhatian siapa pun.

“Ah, banyak banget kumbang di sini. Padahal mereka bahkan nggak masuk ke dungeon.”

Taylor menggerutu ketika para hunter mulai melirik ke arahnya.

Sambil mengunyah permen karet, wajahnya dipenuhi rasa kesal, sebagian karena aturan larangan merokok di area operasi, sebagian lagi karena para hunter yang numpang pamer.

Kadang ada hunter yang mendekatinya.

“Bisa nggak kamu minggat? Bajingan, apa yang kamu liat, hah?”

“Situasi begini, kamu masih sempet godain cewek? Kamu hunter apa kelinci? Masih pengen mempertahankan barang itu di bawah, atau mau kupotong sekalian?”

“Siapa lo manggil-manggil nama gue, hah?!”

…Dan semuanya kabur setelah kena tembok baja bernama Taylor Nine.

“Oh, liat tuh. Kumbang hitam jurusan penipu datang.”

Seodam mengikuti arah pandang Taylor.

Di sana ada puluhan hunter yang memakai ban lengan Lost Day.

Tiga di antaranya adalah hunter S-Rank.

Biasanya para S-Rank ini diperlakukan seperti selebritas di Korea.

Tapi bagi si hunter veteran Taylor Nine (nama aslinya Ahn Huigon), mereka cuma sekumpulan serangga.

“Hei, siap ngerusak citra para penipu itu lagi?”

Akhir-akhir ini Lost Day memang dihantam isu keterlibatan mereka dalam kasus mutan.

Taylor menganggapnya lucu, tapi dia tahu citra mereka cepat atau lambat akan pulih.

Karena Yoo Haram, master guild Lost Day, adalah salah satu dari hanya tiga superhuman SS-Rank di Korea.

“Bajingan-bajingan itu… suatu hari bakal kubantai.”

“Kenapa kamu kesal? Mereka belum ngapa-ngapain ke kamu.”

Wajah Taylor langsung berubah seperti iblis yang baru mendengar lelucon paling bodoh di dunia.

“Mereka udah ngerusak hidup kamu, dan kamu bilang nggak marah?! Kamu nggak emosi?!”

“Tentu aku marah.”

Bukan berarti Seodam nggak dendam.

Hanya saja… sekarang belum waktunya.

Saat mereka berjalan menuju area pintu dungeon, ponsel Seodam bergetar.

[Incoming Call – Celeste]

“Huh?”

Benar juga, riwayat panggilan bisa dicek setelah kembali ke bumi.

Ia berpikir sebentar apakah harus mengangkatnya atau tidak… lalu menggeleng.

Dekat dungeon, apa pun bisa terjadi, dia tak mau ambil risiko.

Saat hendak menolak panggilan itu, dia melihat sesuatu yang membuatnya terdiam.

[Missed Calls – 56]

‘…Apa ini?’

‘Serius?’

‘…Nggak. Sudahlah.’

Sebagian besar panggilan tak terjawab itu dari Celeste.

‘Apa aku lupa ngembaliin sesuatu ke dia?’

Sepertinya tidak.

Ia sempat berniat menelepon balik, tapi kemudian mematikan ponselnya.

Karena mereka sudah sampai di depan dungeon.

“Itu… agak aneh?”

Dungeon biasanya muncul di berbagai lokasi, tapi bentuknya hampir selalu mirip:

Lubang hitam.

Retakan seperti portal.

Dari luar, kita bisa mengintip sedikit ke dalam.

Namun yang berdiri di depan Seodam sekarang adalah sebuah pintu raksasa yang melayang di udara.

Ini pertama kalinya ia melihat hal seperti ini.

“Jadi ini dungeon cacatnya. Aku juga baru lihat. Waktu itu bukan munculnya di perahu dayung?”

“Oh, yang itu? Kamu hampir mati jatuh.”

“Diam.”

Saat Seodam hendak melihat pintu itu lebih dekat, pintu yang melayang seperti fatamorgana, tentara dan agen dari Cooperative of International Anomaly mendekati mereka.

“Maaf, bisa beri tahu tujuan Anda?”

“Minggir. Dia mau buka pintunya.”

“He..apa…?”

Seodam menatap Taylor dengan ekspresi tak percaya.

Taylor malah cekikikan.

“Oh, hunter Taylor Nine. Terima kasih sudah membantu lagi hari ini.”

“Yoi. Semangat ya.”

Untungnya para agen menganggap itu gurauan.

Taylor Nine memang suka memarahi orang-orang di sini setiap hari, menanyakan kapan ia bisa masuk dungeon. Entah bagaimana, sikap brutalnya justru membuatnya populer.

Ketika hunter lain sibuk selfie dan nongkrong, Taylor bersikap seperti siap menghancurkan dungeon dengan pukulan tunggal kalau diberi kesempatan.

Tak ada yang membenci S-Rank yang benar-benar bekerja.

“Jadi, kamu punya ide apa?”

Taylor bertanya tanpa harapan besar.

Jangankan Seodam, bahkan organisasi spesialis pun tak bisa melakukan apa pun.

Jadi dia tidak mengharapkan apa-apa.

Seodam pun hendak menggeleng.

Namun tiba-tiba, sebuah pesan muncul di benaknya.

 < Ini adalah jalan menuju Istana magic Kekaisaran Julexa yang telah runtuh. >

Kekaisaran Julexa?

Saat pertanyaan itu muncul, sebuah pesan lain mengikuti.

< Dunia ini sudah menyelesaikan ‘Epilog’-nya, dan tidak ada lagi ‘Protagonis’. >

“Hah…?”

Seodam berkedip, menatap pintu raksasa itu.

Pola-pola rumit menghiasi permukaannya, seperti memiliki prinsip tertentu.

Aneh, tapi terasa… familiar.

Ya.

Itu adalah magic circle.

magic circle yang jelas ia kenali.

0 komentar:

Posting Komentar

My Instagram