Chapter 33.2: Magic Red Tower (4)
Begitu kembali ke Magic Red Tower, Eugene langsung menerima panggilan dari Lovellian. Kebetulan sekali, karena memang dia berniat menanyakan soal Eward.
‘Kalau dipikir-pikir, ini pertama kalinya aku masuk ke ruangan Kepala mage,’ batinnya.
Sesuai jabatannya sebagai Master tower, Lovellian berhak menempati seluruh lantai paling atas. Tanpa undangan langsung dari Master tower, mau seberapa banyak pun mana yang kau tuangkan ke lift, tetap mustahil bisa naik sampai ke sana.
‘Aku bisa nebak kenapa dia manggil aku,’ Eugene berpikir.
Pasti karena magic yang ia tunjukkan di depan Hera. Waktu itu, Hera hampir pingsan saking kagetnya melihat golem kebanggaannya roboh telentang.
Eugene pun, meski tak separah Hera, ikut terkejut. Walaupun di kehidupan sebelumnya dia belum pernah dengar soal logam bernama carbium, faktanya dia berhasil menjatuhkan golem yang terbuat dari material sekuat itu dengan magic pertamanya.
Itu artinya, kekuatan magic nya jauh lebih besar dari perkiraannya sendiri. Jujur saja, Eugene tak terlalu berharap banyak, mengingat itu percobaan pertama. Tapi dengan kekuatan seperti itu, rasanya magicnya sudah bisa dipakai untuk pertarungan beneran. Selama dia makin terbiasa mengucapkan mantra dan memperbanyak jumlah magic yang bisa dipakai, pasti ada banyak hal seru yang bisa dia lakukan.
‘Tapi nggak mungkin dia cuma manggil aku buat muji,’ Eugene melanjutkan tebakannya.
Rasanya dia bakal dapat semacam hadiah. Instingnya bilang begitu, dan firasat itu bikin senyumnya mengembang.
Setelah keluar dari lift, Eugene berjalan di lorong. Dari pintu besar yang terbuka di ujung lorong, terlihat Lovellian berdiri dari kursinya sambil tersenyum ramah menyambut.
“Perjalanan ke sini tidak menyulitkanmu, kan?” sapa Lovellian sopan.
“Kalau aku tahu Anda mencariku, aku pasti nggak akan pergi keluar dulu. Mohon maaf,” Eugene ikut basa-basi.
“Tidak perlu minta maaf begitu. Aku yang mendadak memanggilmu. Silakan duduk dulu.”
Kali ini bukan sekadar firasat lagi, Eugene yakin. Nada suara Lovellian penuh dengan penghargaan.
‘Nanti saja tanya soal Eward, setelah terima hadiahnya,’ Eugene memutuskan.
Dia tak ingin terkesan sedang menginterogasi. Bagaimanapun, meski dia anggota keluarga utama Lionheart, tetap terasa kurang ajar bila anak seumuran dirinya seenaknya mengorek macam-macam pada mage tua itu.
‘Umurnya berapa, ya? Kayaknya aku pernah dengar dia hampir seratus tahun….’
Bahkan kalau ditambah usianya di kehidupan lalu, Eugene tetap lebih muda. Menyadari itu, dia merasa aneh, dari semua orang yang ditemuinya sejauh ini, cuma Lovellian yang benar-benar lebih tua darinya.
“Um… ngomong-ngomong, boleh aku tahu kenapa aku dipanggil?” Eugene akhirnya bertanya.
Tak ada gunanya melaporkan hal-hal kecil soal adaptasinya di tower. Lagian, semua aktivitas di tower pasti sudah sampai ke telinga Lovellian.
“Pertama-tama, coba lihat ini,” Lovellian menjentikkan jarinya. Sebuah surat rekomendasi melayang keluar dari laci dan jatuh di depan Eugene.
“...Surat rekomendasi?” mata Eugene membelalak.
‘Apa ini ke Akron? Nggak mungkin….’ Ia susah payah menahan keterkejutannya.
Nama itu sudah sangat terkenal sejak tiga ratus tahun lalu, Perpustakaan Kerajaan Akron, tempat di mana esensi magic kebanggaan Aroth disimpan. Koleksi buku magic di tower manapun tak akan pernah bisa menyaingi kualitas buku-buku yang ada di Akron.
“...Aku rasa ini terlalu berlebihan untukku terima sekarang,” Eugene sebenarnya ingin melompat kegirangan, tapi ia menahan diri.
Ucapan itu pun bukan basa-basi belaka. Bahkan tiga ratus tahun lalu, Akron sudah punya status yang tak sembarangan. Tidak semua orang bisa masuk ke sana.
“Aku tidak sependapat denganmu.” Lovellian menggeleng pelan. “Menurutku, justru sekarang adalah saat yang tepat bagimu untuk masuk ke Akron, Eugene.”
“Kenapa Anda berpikir begitu?”
“Karena kau belum terlalu dalam mempelajari magic,” jawab Lovellian.
“Bukannya itu alasan kenapa aku harusnya nggak pantas masuk ke Akron?”
“Tidak. Justru karena kau belum terikat terlalu dalam, kau masih punya banyak kemungkinan. Mengganti Circle dengan inti, mudah diucapkan, tapi mustahil bagi orang seumuranmu. Namun kau berhasil melakukannya.”
Eugene sempat bingung harus menunjukkan ekspresi apa, percaya diri? Atau rendah hati?
“...Terima kasih banyak,” akhirnya ia memilih jalan tengah.
Ia menunduk sopan, tapi jarinya bergetar menahan semangat, dan senyum bangganya masih sempat terlihat.
Lovellian memberi nasihat, “Ada banyak buku luar biasa di Akron. Mungkin kau tak bisa langsung mendapat manfaatnya, tapi kalau kau terus membacanya dan menyimpan isi buku-buku itu dalam kepalamu, itu akan memperluas dasar pengetahuanmu. Suatu hari nanti, pengetahuan itu akan jadi fondasi agar magicmu benar-benar bersinar.”
Menyebut koleksi Akron sebagai “luar biasa” bahkan terdengar meremehkan. Di sana tersimpan magic kuno sejak era mitos, bersama tulisan-tulisan para bijak yang paling dihormati sepanjang sejarah Aroth.
“...Ada satu hal yang ingin kutanyakan.” Eugene ragu sejenak sebelum melanjutkan, “Apa di Akron juga ada buku karya Lady Sienna?”
“Tentu saja.” Lovellian tersenyum bangga. “Meski ada juga buku-buku karyanya di Red Tower maupun Green Tower, salah satu dari tiga jilid asli Witch Craft yang ditulis Sienna di masa tuanya disimpan di Akron.”
Witch Craft dianggap salah satu seri buku terpenting dalam sejarah Aroth. Di dalamnya, Sienna merangkum seluruh pengetahuannya, membagi intisari kebijaksanaannya ke dalam tiga jilid. Karena itulah, Witch Craft menjadi harta nasional Aroth, dan tidak diizinkan ada salinan lain.
Lovellian mengenang, “Meski yang boleh dilihat publik hanya jilid pertama, buku itu saja sudah berisi ilmu yang tak bisa kau temukan di teks magic manapun. Aku sendiri… haha… saat pertama kali membacanya, aku sadar semua magic yang kupelajari seumur hidupku sebelumnya hanyalah permainan anak-anak.”
“...Ah…!” Eugene terkesima.
“Meski aku tak bisa menjamin surat rekomendasi ini pasti bisa ditukar jadi izin masuk Akron, aku ingin dengar dulu pendapatmu, Eugene. Apa kau setuju aku mengajukannya untukmu?”
“Tentu saja aku setuju. Hanya saja… aku agak khawatir, jangan-jangan kekuranganku malah bikin masalah untuk Tower Master.”
‘Tentu saja aku setuju, dasar banyak tanya! Mana mungkin aku nolak!’ Eugene menunduk dalam, menyembunyikan pikirannya yang sebenarnya.
“Bikin masalah, katamu? Haha! Jangan khawatir. Hal seperti ini sama sekali tidak merepotkanku,” Lovellian tersenyum tipis.
Ada nada samar dalam suaranya, seakan menahan desah panjang. Eugene sempat melirik wajahnya, menangkap emosi yang tak sepenuhnya terbaca.
“...Master Lovellian,” Eugene memanggil ragu.
“Ada apa?”
“Itu… aku ingin bicara soal saudara ku, Eward.”
Setelah memastikan surat rekomendasi sudah ia terima, Eugene merasa waktunya tepat. Lovellian bukan tipe orang yang akan menarik kembali kata-katanya hanya gara-gara sedikit tersinggung.
“Sejak pertama kali datang ke Aroth… aku kebetulan mendengar kabar. Katanya Eward tidak fokus berlatih magic, malah sering pergi ke jalanan gelap menikmati hiburan malam.”
“Ah….” Lovellian menghela napas.
Seperti yang diduga, Lovellian memang sudah tahu soal kelakuan Eward.
“Walau aku bukan saudara kandungnya, sebagai kerabat yang membawa nama Lionheart, aku tetap khawatir padanya. Di rumah pun, Patriark dan Nyonya juga sangat mengkhawatirkan Eward,” Eugene membujuk.
“Ini… sulit kujelaskan,” Lovellian tampak frustrasi, menggaruk kepalanya. “Eugene, sejauh apa kau tahu soal Eward?”
“...Katanya dia bergaul dengan succubus yang bekerja di Bolero Street.”
“Itu benar,” Lovellian mengaku sambil mendesah. “Aku juga sudah tahu, bahkan sudah menegurnya beberapa kali. Tapi aku tidak bisa menghentikan Eward dari kenakalannya itu.”
“...” Eugene menunggu penjelasan.
“Succubus… memang termasuk ras demon malam yang terkenal. Dulu, sebelum Helmuth dibuka, banyak orang mati karena mereka menghisap habis energi hidup korbannya.”
Fakta itu sudah Eugene kenal baik.
“Tapi setelah Helmuth dibuka, sikap para demon king dan rakyat demonnya banyak berubah. Succubus pun begitu. Mereka masih menyerap energi hidup, tapi tidak sampai membunuh, karena itu dilarang keras oleh Ratu Succubus yang tinggal di Helmuth.”
“Itu tetap tidak membuat hubungan cabul saudara ku jadi pantas,” Eugene menyela tegas.
“Ya, kau benar.” Lovellian terdiam sebentar, lalu menatap Eugene dengan ekspresi getir. “Tolong, berikan sedikit simpati untuk Eward.”
“...Hah?” Eugene terbelalak.
Lovellian melanjutkan, “Empat tahun lalu, Eward meninggalkan rumah utama dan datang ke Aroth dengan banyak harapan. Tapi sayangnya, bakatnya tak sepadan dengan harapan itu.”
“...” Eugene mendengarkan.
“Dia banyak mengalami kegagalan. Aku dan Samuel, ah, Samuel itu mage yang mengajar Eward. kami berusaha membantu, memberi bimbingan, bahkan buku-buku berguna. Tapi tetap saja dia sulit bangkit dari frustrasinya.”
Disiplin, pada akhirnya, memang harus ditumbuhkan dari diri sendiri. Tekanan orang sekitar tak cukup untuk membuat seseorang fokus. Apalagi, dengan statusnya sebagai putra sulung Lionheart, Eward tertekan oleh ekspektasi besar.
“Kami sempat berpikir, ‘Bukankah lebih baik memberinya waktu bernapas sebentar?’ Karena kalau dipaksa, bisa-bisa dia hancur.”
Eugene bisa paham maksud Lovellian. Selama empat tahun tinggal di rumah utama, dia tahu betapa Tanis begitu keras, dan Ancilla liciknya bukan main. Cyan dan Ciel lahir dengan bakat dan ambisi. Mereka memang ingin jadi Patriark atau Matriark berikutnya, baik demi memenuhi harapan orang maupun ambisi pribadi.
Lalu Eward? Dari kecil, dia memang kurang inisiatif, lebih suka magic daripada pedang. Tapi sejak Cyan dan Ciel lahir, Tanis terus-menerus mengingatkan posisinya sebagai pewaris pertama. Begitu kecewa di Aroth, wajar bila dia enggan pulang ke rumah yang terasa mencekik itu.
Tapi Eugene tetap sulit menerima: Bagaimanapun juga, succubus itu keterlaluan.
Meski bisa dimaklumi, cara Eward melampiaskan tekanan dengan demon jelas kelewatan. Bagaimanapun, demon tetaplah demon, tak mungkin hidup damai bersama manusia. Eugene atau Hamel sudah terlalu paham hal itu.
“Aku mengerti,” ucap Eugene akhirnya, mengangguk. Untuk saat ini, aku harus lihat sendiri.
Meski tahu Eward memang kasihan, Eugene tidak bisa begitu saja menutup mata pada cara saudara nya melampiaskan diri.